Minggu, 29 April 2012

surat padamu kawan

kawan..

pernahkah kau merasa sedih??

merasa perih??

merasa jatuh??

merasa tak enak??

merasa selalu salah??

dan sama sekali tak hebat..

tak bermanfaat..

yang kau lihat dari dirimu hanya yang negatif saja..

apakah yang akan kau rasakan??

kecewa..

marah..

tak berarti..

payah..

itulah kawan..

itulah yang kurasakan malam ini..

saat kepercayaan diriku mendadak hancur..

musnah..

tak tahu bagaimana harus bersikap menyambut matahari besok..

"Salah itu biasa, tapi biasa salah menjadi binasa"

Ciumi Aromamu, Hidupkan Asaku

Aku bahagia. 


Setelah sekian lama merindu, akhirnya aku bisa bertemu denganmu lagi.


Duduk dekat mu.


Merasakan kembali kehangatan aroma tubuhmu.


Aroma yang telah lama ku rindui. 


Yang tak ada duanya di antara semua yang ku kenal. 


Menghidupkan asa yang lama telah meredup.


Ahh, sungguh ku menikmati momen itu.


Ku hirup nafas dalam-dalam.


Walau hanya beberapa detik aku menciumi bau mu.


Ku harap aroma itu bisa tinggal lebih lama. 


Usah hilang lagi.

Rabu, 25 April 2012

Asa dalam Aroma

Memasuki kamar ini, rasanya aku seperti ingin menghirup sisa udara yang kau tinggalkan. Seakan aroma tubuhmu ada di dinding, melekat di kasur dan segala bantal tempatmu merebahkan kepala.  Ingin ku tidur di tempatmu beristirahat kemarin malam, berharap aku dapat menyelami sebagian dari segala angan dan mimpimu yang mungkin ada tertinggal di peraduan ini.

Aroma ini begitu kuat, melekat dalam ingatan. Setiap kali aku menghirup udara di sini aku kembali teringat padamu. Terasa nyaman! Sungguh kau adalah sosok yang sangat kukagumi dan sangat berarti dalam hidupku. Segala masa lalu yang pernah tercipta dan tergores dalam ingatanku ada kenangan tentangmu, tentang kita. Memang hubungan kita ini adalah hubungan yang aneh, sulit untuk ku deskripsikan dengan kata-kata.

Keheningan malam ini seakan memacu ingatanku untuk bergerak cepat, mundur dalam tiap lembaran masa lampau. Kau dan aku begitu dekat. Saat itu aku teramat polos jika tak ingin dikatakan lugu. Semua yang ada dalam diriku, tak ada yang layak dibanggakan. Tapi kehadiranmu sungguh bagaikan api yang membakar segala syaraf-syarafku, aku ingin maju. Aku ingin jadi orang pintar, tak ingin selamanya jadi orang bodoh.

Kau bilang aku perlu belajar banyak hal. Kau ajarkan bahwa yang ini perlu, dan yang itu tidak perlu. Kau bilang yang ini baik dan yang itu tidak baik. Kau juga yang selalu membuat aku merasa berharga, merasa bahwa aku layak mendapat perhatian saat yang lain tampak tidak menyangiku sama sekali. Kau menjaga dan bahkan menaikkan harga diriku. Kau mencintaiku dengan caramu sendiri.

Aku pun begitu padamu. Aku menyayangimu sepenuh hatiku. Segala hormatku, cintaku, dan harapanku ku tumpukan padamu. Kaulah yang menjadi acuanku dalam hubunganku dengan orang lain, pendidikanku dan mungkin masa depanku. Aku berharap hubungan kita bisa berjalan semanis itu selalu, kau ada di sisiku dan aku pun begitu padamu.

Tapi saat itu, kosmis tidak mendukung harapanku. Waktu terus berjalan maju. Kau katakan padaku ingin menggapai cita-citamu. Kau bilang ingin belajar di luar kota, tapi ternyata kau keluar pulau. Menyeberangi lautan. Jarak dan waktu telah merenggut kau dariku. Bahkan, terakhir kau katakan padaku kau ingin juga untuk meraih cita2mu ke luar negeri, keluar dari benua yang ku diami sekarang.

Tak kau sadari dan tak terkatakanku betapa hancur hatiku saat kau memutuskan untuk pergi. Segala asaku seakan menguap bersama angin malam menjadi titik2 embun. Mungkin kau tak melihat air mataku dan perihnya rasaku. Ingin kupinta kau untuk tetap di sini, bersamaku, tapi kulihat kau juga merasa hancur saat itu. Kegagalanmu saat itu membuatmu sedih dan aku harus berpura-pura tegar mendukungmu karna ku tak mau merengek seperti anak kecil dan menghalangimu kebebasanmu meraih segala cita.

Tapi, hanya aku yang tau bahwa setelah kepergianmu yang dulu, tak ada lagi yang bisa membuat aku tetap bersemangat. Tak ada lagi yang membakar asaku setiap hari dan  menghiburku saat aku sedih. Tak ada lagi yang bernyanyi denganku, tak ada lagi yang membelaku saat mereka semua memusuhiku. Tak ada senyuman hangat dan sorot mata penuh semangat yang mencerahkan hariku. TAK ADA!! Karna hanya kau yang pernah melakukannya.

Sejak itu, aku mulai putus asa. Aku sangat rindu padamu, tapi aku tak tahu bagaimana mengatakannya. Aku sedih, aku menangis, Tapi air mataku tak ada yang menghapus. Aku pun tak mampu, maka aku membiarkannya mengalir sesukanya. Hari-hariku menjadi kelabu, apalagi semangat belajarku. Aku sangat membutuhkanmu, atau paling tidak orang yang mampu menggatikan hadirmu. Tapi tak kutemui itu sampai sekarang. TAK ADA!! Karna aku pernah berkata, hanya kau orang yang pernah membuatku nyaman.

Lama berselang, waktu mulai membalut lukaku. Perih itu mulai mengering, namun tetap membekas. Sejujurnya aku tak ingin kelihatan lemah di depanmu. Aku sulit mengatakan, namun sebenarnya ku tidak puas dengan keadaanku sekarang. Jika saja kau dulu tetap ada, paling tidak aku bisa tetap mempertahankan cita-citaku karna kutahu ada kau yang mendukungku dan mengarahkanku ke jalan yang kita berdua sama2 inginkan.

Penyesalan itu memang tak baik. Kau pernah mengatakannya padaku, suatu waktu dulu. Maka itu aku tak ingin larut dalam penyesalan. Aku pun tak ingin menyalahkan kau. Ini salah keadaan yang dulu. Bukan!! Ini memang sudah ditakdirkan. Kita bertemu dan berpisah.
*****

Namun, saat waktu mempertemukan kita kembali untuk yang berikutnya, aku dilanda kebingungan. Aku masih mengagumimu, bahkan menyukaimu. Kau masih tetap panutanku. Kau masih dan makin bersinar, sementara aku masih redup. Diam-diam, aku masih seperti yang dulu, walaupun aku tak ingin menunjukkannya secara langsung, seperti yang dulu, saat aku bisa bermanja-manja padamu. Aku takut kau tak suka padaku. Aku takut kau tak mau menerimaku saat aku datang padamu. Aku telah bilang bahwa kau memang sudah hebat, walaupun kau pernah bilang secara pribadi padaku, bahwa kau merasa gagal.

Cita-citamu yang dahulu tidak berhasil kau capai, katamu.  Tapi aku tetap merasa aku tak patut denganmu.
Kau tahu, aku selalu bersusah payah menyembunyikan rasaku padamu. Di usiaku yang sekarang bisa dikatakan dewasa, aku harus berpura-pura dewasa. Walaupun sesungguhnya, aku masih terlalu kekanak-kanakan. Aku masih berharap dapat bermanja padamu, seperti yang dulu terbiasa ada. Mungkin rasa yang ada itulah yang menyebabkan aku sampai sekarang masih menutup hati pada pria-pria yang mencoba mendekatiku. Aku telah menjadikanmu semacam standar bagi mereka. Jika aku tidak bisa denganmu, maka pria manapun yang jadi penggantimu harus sepertimu, minimal. Harus menyayangiku seperti caramu.

Aku tahu, kelihatannya aku  memang sudah mulai kehilangan kewarasanku, karnamu. Karna semua rasa yang dulu ada. Aku tergila-gila padamu. Aku sangat senang melakukan apa yang kau mau aku lakukan untukmu. Kau tahu, aku sangat senang saat kita punya kesempatan untuk pergi berduaan seperti kemarin sore. Aku bisa bercerita banyak padamu. Tidak.. tidakk.. sebenarnya aku berusaha mendengar sebanyak mungkin ceritamu.

Kau tidak tahu,, tapi aku sangat rindu dan ingin menanyakan cerita hidupmu selama 12 tahun semenjak kita berpisah. Aku ingin tahu segala perjalananmu, susah dan sedih hidupmu. Aku ingin tahu semua. Sejujurnya aku ingin tahu dan mendengar darimu apakah kau akan mengatakan bahwa kau merindukanku selama renggang waktu yang lama itu. Aku ingin mendengar apakah aku pernah hadir dalam pikiranmu?

Tapi, kau malah secara tidak sengaja melukai hatiku kembali. Saat kita bersama itu, kau malah memintaku membantumu untuk memilihkan hadiah yang akan kau berikan pada insan bernama wanita. Aku tak tau apakah kau mencintai wanita itu, meskipun kau katakan belum pasti bisa mendapatkan hatinya. Tapi, kau berani berkorban hadiah yang sangat mahal itu pada gadis yang akan segera berangkat ke negeri yang jauh di belahan bumi yang lain. Aku tak berhak melarangmu. Toh, siapalah aku bagimu??
Aku katakan padamu, semoga  ia menyukai pilihanmu dan menerima cintamu. Kau tak tahu, sebenarnya kata-kata itu bagaikan pedang yang menyayat perasaanku sendiri. Itu palsu, kamuflase. Rasanya aku bagaikan membunuh diri sendiri. Tapi mungkin rasa ini memang harus dibunuh!!

Ah, aku ingat, satu-satunya yang bikin aku senang, saat kau menanyakan berapa usiaku saat ini? Aku bilang telah mencapai 22 tahun. Aku maklum jika kau bahkan tak ingat usiaku. Aku paham itu, karna kau sangat sibuk dalam mengejar karirmu sehingga bahkan usiamu sendiri pun tak kau sadari telah beranjak jauh.
Dan lagi setelah itu, kau bertanya apakah aku telah punya pacar atau belum. Kujawab “belum”, karna memang itulah adanya. Kau menyarankan agar aku segera pacaran, mumpung usiaku masih muda dan tiga tahun lagi bisa menikah. Ahh.. sebenarnya aku kecewa pada diriku sendiri. Andai saja aku bisa jujur saat itu bilang bahwa sebenarnya aku menunggu kau.

Tapi lidahku terlalu kelu untuk dapat bercerita banyak. Aku hanya mendengar ceritamu saja. Kau bilang bahwa kau telah berkali-kali ditolak wanita. Aku tidak tahu tipe wanita seperti apa yang telah membuatmu kecewa itu. Mungkin, mereka yang bodoh telah menolak cinta yang kau tawarkan. Atau mungkin, gadis kota yang kau incar itu sesungguhnya bukan yang tepat untukmu. Jika demikian, aku bersyukur mereka menolak, sehingga kau tidak terperangkap pada gadis metropolitan, pedandan yang keranjingan berhedon ria.

Berikutnya, kau bilang akan segera menikah tahun depan. Aku bingung karna saat kutanya, kau bilang sebenarnya kau belum punya calonnya. Aku senang tapi sedih. Aku sedih tapi senang. Aku bingung. Jujur aku ingin mendukungmu, karna kata orang bahwa cinta itu tak harus memiliki. Dan cinta yang terbesar adalah memberikan dukungan kita pada orang yang kita sayangi dan merasakan bahagia saat mereka bahagia dengan apapun itu yang menjadi pilihannya.

Namun di sisi lain, aku ingin jujur padamu. Tak ingin lagi cinta yang kupendam ini menyisakan luka atau membuat luka yang baru. Karna kudengar juga mereka bilang, bahagia yang paling besar saat kita bisa jujur dan berdamai dengan diri sendiri. Artinya, tidak menyimpan kebohongan atau kepura-puraan. Itulah hidup yang paling enak.

Tapi, bagaimana bisa aku memutuskan itu? Hubungan ini terlalu rumit. Tak semudah yang mereka bayangkan. Jika ini dilanjutkan akan sangat berbahaya, bagimu, bagiku, ataupun mereka yang lain. Jika ini dipendam, dibunuh, dan dibakar dalam sekam mungkin hanya aku yang akan mati perlahan-lahan. Karna cinta ini dengan sendirinya akan seperti sekam dalam hatiku. Perlahan-lahan akan membuat aku gila dan menggilaimu lantas kemudian mati terbakar, menjadi abu oleh keabu-aan cinta itu sendiri.

Bahkan saat aku ada dikamar ini, sendirian, tak henti-hentinya aku membayangkanmu. Aku menarik nafas panjang dan dalam-dalam berharap segala aroma tubuhmu yang melebur dalam oksigen dapat kubawa masuk kedalam paru-paruku, meresap dan menjalar ke tiap nadiku. Kau bisa bayangkan, aku akan menjadi gila jika aku kehilangan aroma tubuhmu.

Mencium aromamu dan merasakan jejakmu disini menjadi semacam morfin yang melegakan segala penatku. Membuatku sejenak melupakan bahwa mencintaimu semakin dalam, hanya akan mengorek sisa luka lama, menjadi semakin dalam. Tapi terserahlah.

Malam ini aku ingin tidur dan memeluk bantal yang kemarin kau peluk. Menyelimuti diriku dengan selimut yang kau gunakan menutup tubuhmu semalam. Biarkan saja aku memeluk dan mencintaimu dalam imajinasiku. Kau tak perlu tahu, mereka juga sebaiknya tak usah tahu. Bukankah itu lebih baik???