Senin, 17 Oktober 2016

Gadis Pakarena : Cinta Tak Mengenal "Tetapi"


Judul Buku: Gadis Pakarena
Penulis: Khrisna Pabichara
Penerbit: Dolphin
Cetakan I: Juli 2012
Jumlah halaman: 180 halaman

----

Definisi cinta bisa bermacam-macam. Namun, menurut Khrisna Pabichara, sesungguhnya cinta tak mengenal kata tetapi. Cinta bisa menembus segala sekat dan batas, baik yang nyata maupun batasan yang diikat oleh adat istiadat. Cinta juga tak mengenal prasyarat. Ya, agaknya itulah yang dicoba diketengahkan Khrisna dalam bukunya, Gadis Pakarena.

Cerita cinta dalam buku ini sarat muatan kearifan lokal yang digali Khrisna dari akar budaya tempat kelahirannya, Makassar. Lewat rangkaian kata-katanya yang menghanyutkan, ayah dua putri ini memotret tradisi masyarakat Bugis dan menjadikannya sebagai kekuatan cerita. Membaca bukunya tak sekedar memberikan hiburan, tapi juga pengetahuan akan tradisi budaya Bugis.

Khrisna membagi karyanya dalam 14 bagian cerita pendek. Tak hanya cinta antara sepasang kekasih, Khrisna juga menyajikan kisah cinta bapa kepada anaknya, cinta anak kepada ibunya, atau cinta kepada sesama saudara. Dalam bertutur, Khrisna kebanyakan meleburkan dirinya menjadi tokoh aku.

Khrisna piawai membuat pembaca tercengang, sedih. Ia cuek saat menggantungkan ceritanya begitu saja dan memberikan kesempatan bagi pembaca untuk mengintrepetasikan kelanjutannya sedemikian rupa.

Mengutip pernyataan M. Aan Mansyur, penyair yang memberikan pujian pada buku ini, kisah dalam Gadis Pakarena ini memang tak membawa pembaca kemana-mana. Dia hanya mengajak pembaca menikmati kisah kehidupan Bugis yang melankolik dan muram. Menyelami ketegangan dalam cerita, yang seolah-olah membawa pembaca antara kembali ke hulu atau muara "sungai kebudayaan". "Tapi tak ada kisah yang betul-betul sampai di hulu atau di hilir".

Kisah "Laduka" misalnya, tentang seorang Bugis yang merantau ke kota besar saat anaknya masih dalam kandungan. Laduka pulang kampung demi permintaan putranya yang akan disunat. Ia memang bertemu dengan anak dan istrinya, tapi, mereka ia telah menjadi jasad. Hanya sampai di sana. Tak diketahui seperti apa respon istrinya dan orang-orang yang menyambut kedatangan Laduka.

Beberapa cerita pendeknya juga perlu perhatian khusus untuk dipahami. Sehingga, meski bisa diselesaikan dalam tempo cepat, tak jarang perlu waktu lama untuk merenungkan. Dalam memotret, ia tak hanya menyajikan keindahan Khrisna juga menyoroti belenggu adat istiadat yang pada bagian tertentu tak lagi sesuai dengan kekinian.

Misalnya dalam kisah "Rumah Panggung di Kaki Bukit" dan "Silariang" pembaca dihadapkan dengan kasta dalam percintaan. Perbedaan kasta ini rupanya masih melekat erat dalam kehidupan masyarakat. Kalau tak terlahir dalam kasta bangsawan, maka seseorang harus punya harta, tingkat pendidikan dan gelar agama yang tinggi agar tak dianggap rendah. Tapi itu belum cukup, ada saja prasyarat tertentu untuk membatasi mobilisasi orang dari kasta satu ke kasta lainnya.

Persoalan kasta ini tak hanya ada dalam budaya Bugis, tapi juga pada bagian masyarakat lain, meski disebut dengan istilah yang berbeda. Lewat ceritanya, Khrisna ingin menekankan, bahwa alasan kasta ini kerap menjadi hambatan dalam urusan percintaan. Memisahkan dua kekasih. Menebarkan aroma permusuhan dan dendam menahun di hati yang tertolak karena kasta.

Dalam Silariang, sepasang kekasih terpaksa kawin lari karena tak kunjung mendapat restu. Namun kawin lari tak semata melarikan diri dan menikah di kampung orang. Ada harga diri yang harus dibayar mahal. ".. Itu artinya mencoreng aib di kening kerabat keluarga sang gadis dan aib itu berarti siri, harga diri yang tak terbeli dan harus ditebus dengan nyawa. Sementara keluarga lelaki yang ditinggalkan akan menanggung pacce, malu tak terperi. Tetapi bukankah cinta mesti diperjuangkan?" (Halaman 95)

Selain kasta, ia juga tak berusaha menutupi tentang penggunaan mitos dan ilmu hitam di masyarakat. Misalnya dalam "Haji Baso" yang mengisahkan pada kekuatan batu bertuah kulau bassi serta dalam "Pembunuh parakang" tentang pembunuhan manusia berilmu hitam yang bisa mempercepat proses kematian manusia lainnya.

Kisah berlatar Indonesia Timur bisa dibilang masih belum sebanyak kisah berlatar Sumatera dan Jawa. Kesadaran itulah yang membuat pengarang novel Sepatu Dahlan ini memilih memotret budayanya untuk memperkaya khazanah sastra. Tak salah pula jika buku ini langsung masuk dalam nominasi Khatulistiwa Literary Award 2012, meski tidak keluar sebagai pemenang. Buku ini sebelumnya pernah terbit dengan judul Mengawini Ibu tahun 2010. Untuk edisi dengan judul baru ini, Khrisna menambahkan dua cerpen yang tidak ada di buku sebelumnya.

Jangan khawatir “tersesat” saat membaca buku ini, karena Khrisna tak alpa memberikan catatan kaki di setiap istilah yang ia kenalkan. Jangan pula memandangnya sebelah mata. Buku setebal 180 halaman ini memang bisa dilahap dlam waktu cepat, tapi perlu waktu untuk merenungkan kisahnya. Itu sebabnya, beberapa pembaca bahkan menyebut, membaca Gadis Pakarena mirip dengan kuliah sejenak untuk memahami budaya Makassar.



Minggu, 16 Oktober 2016

Hypocrisy

Hypocrisy.

I found this word last night on my friend’s blog. He is an lecturer who teach in a private university far away in North Sumatera. Yesterday I casually looked for his blog and found his newly published article title “Hypocrisy”. He implicitly wrote about problems that affect his life lately. I don’t know what the problem really was, but I guess it was related with his work mate and surrounding.

After read about his not-so-long article, I felt curious. I took my Oxford Learner’s Pocket Dictionary. Try to make sure the definition of hypocrisy, “making oneself appear better than one really is”. I was not satisfied. I tried to search it more through the online Indonesian Dictionary at google. It was said “berpura-pura” or “munafik”.

Then I try to visualize what my friend trying to express through his writing. Somedays on the last month, he made a status on Facebook, “after all this world is just like a theater for everyone to play their role.” I tried to ask him via direct message about what has happened. He said he has a big disappointment, but couldn’t tell me at the time. 

Now, I’m glad that he has written about it. There are two reasons. First, keeping a problem (without being able to share it with other) for quite long time will make a person being sick and sicker. Second, writing is a therapy. Writing feelings gradually eases emotional trauma. I hope that he could feel better after trying to write his unspoken problems. 

Now, what I’m going to say more is that his writing somehow gives inspiration to me. Driving by the curiosity, I keep searching the other article related with hypocrisy. I found another blog owned by a guy from Malang. That guy quoted Pramoedya Ananta Toer, a well-known author from Indonesia, who said “bangsa ini hipokrit” on his book. Then he began to describe through Toer’s analysis that Indonesian are hypocrite because of colonial effect. 

I tried to contemplate and remember my job in a slimming therapy center. The first month I work there, I really want to quit the job. Why? Because I realized my job was really contrary with myself. I began to train myself to be a hypocrite person. I have to be able smile nicely, very friendly, especially to those who are potential to be our customer. When I try to make a phone call and ask them to buy our treatment, I have to be able to steal their heart so they would like to give millions of money for us. 

I didn’t like doing that. Day by day I felt more disappointed about myself. But I have to do that, because it was my job. Everybody also did the same. My bosses, my colleagues. It was quite long for me to be able to quit from that situation. I sought a job where I could earn money without being hypocrite. I didn’t choose to be PNS even tough my parents pushed me, because I found many of PNS are so very hypocrite. I choose to be journalist, since at the time I thought it’s an ideal job where I could work independently and don’t need to be a hypocrite. 

To shorten this story, did I found this i-wish-to-be-an-ideal-job was really far from hypocrite human being? No, not at all. Sadly, I also found pretty hypocrite people in this field of job. There are many bosses of media who always ask their worker to not take any bribes while they took it. Yes they do not take pity money, but snatch the big number of rupiah or dollars or in other form such as five star hotels, business class or jet plane, shopping abroad, or company’s share. 

How can we produce any independent news if we have given our nose to the stakeholder? Of course it will be hard, for not saying impossible. Then all things are just lip services. There is no more a really-free-of-interests journalism. And even worse, they using people, I mean their reporter for their own interests. These things made me feel disappointed. So if you hope that media are all honest and far from hypocrisy, think bout it again. 

From my cases, I think that people being hypocrite because we have too many desires and can’t control them. A person who is not hypocritical at first could be hypocritical if he let himself drawn in a system. Why he’s not just drawn himself out of it? Well, this is not as easy as saying, especially if he let himself being trapped in his own desires of goods or prosperity.  

Let me give examples. When I really want to work as an honest and independent journalist, I can firmly reject the money given to me. Hundreds or millions of rupiah, I never think twice to say no. I’m happy to do that because I think I could keep my integrity. But, now days, I must be honest that rejecting bribes sometimes leave me in a contrary thought. A half of myself still want to keep my integrity, but there is another half that begin to think “taking that would not being a big problem because your friend or your boss also do the same” or “I need money now to buy a, b, c and d” or “If I didn’t take this, the other will”. Of course, maintaining the integrity will getting harder when thought like this come to me. 

Well, hypocrisy of course not just related with money. It’s just a simple sample. Many other advantageous like a fine grade at school, a promotion at work, or social recognition. These could make someone being hypocrite, realized or not. I didn’t say this to justify this hypocritical mental. But we can easily find people who act differently from their real character in any kind social living.

So now, it back to us, whether we choose to be a hypocrite or not. There’s always a choice, of course with it’s own risk. I think, keeping the real character (or being a hypocrite human being) will be depend on how strong you can keep the integrity. And if you choose to retain integrity and don’t wanna get drawn in this hypocritical-social-mental, please underline that your way IS NOT GONNA BE EASY. You will find disappointment by disappointment.

But, I’m still curious to know, is this social mental are adopted by Indonesian people, as Toer’s said, as the effect of colonialism? Do people in other country  also have the same? Well, I wish there is a more scientific explanation, maybe from social psychology, about this habit / character and how to decrease that. Maybe there is way to eliminate or decrease this social mental sickness. I don’t know.   

Sedang Sulit Buka-bukaan (dalam Tulisan)

Menulis itu katanya perlu kejujuran. Aku sudah lama mandek menulis. Perkaranya bukan karena tidak punya waktu. Itu alasan klasik yang kubikin-bikin untuk menutupi alasan yang sesungguhnya. Sebenarnya ada banyak waktu (hey, bukankah semua orang di dunia mendapatkan jatah yang sama, 24 jam sehari) dan ada banyak ide yang ingin kutuangkan ke dalam tulisan.

Namun, saat kutelisik lebih dalam, ternyata dalam diriku ada semacam keengganan untuk dibaca orang lain. Aku merasa bila aku menuliskan sesuatu, apapun itu, orang lain akan mudah membaca pikiranku. Mengetahui isi hatiku. Mengenaliku. Bahkan menghakimi kehidupanku. Aku sedang tidak bisa buka-bukaan.

Gejala apakah ini?

Memang, sebenarnya aku ini tipenya cenderung tertutup. Aku hanya bisa terbuka kepada beberapa orang yang kuanggap bisa memahami atau membuatku nyaman. Nah, menulis menjadi sarana bagiku menuangkan uneg-uneg. Tapi itu dulu. Belakangan ini aku mogok menulis apapun, (kecuali menulis berita karena memang menjadi tuntutan pekerjaan. Padahal dulu, tanpa diminta aku dengan senang hati menulis resensi ataupun catatan perjalanan-perjalanan).

Aku menjadi sangat tidak produktif. Juga cenderung jadi lebih berhati-hati mau menulis, bahkan untuk hal remeh temeh seperti menulis status di media sosial. (Ohya, media sosial pun sebenarnya menjadi tidak terlalu menarik. Path, twitter tidak pernah lagi ku buka. Facebook pun hanya aktif sesekali saja).

Tetapi, ini tak bisa dibiarkan terus menerus. Kengganan ini bakal menimbulkan ketumpulan suatu hari kelak (sekarang saja sudah mulai terlihat gejalanya). Lagipula, bagaimana mungkin mau jadi penulis kalau tak siap jujur dengan pikiran sendiri. Mana ada penulis yang tak siap dibaca orang lain, bukan? Ya, agak anomali memang saya ini.  Ya sudahlah ya, marilah melatih diri menulis lagi.


R.
Jakarta.