Senin, 15 Oktober 2012

Menjajal Malela, Niagara van Tanah Sunda


Tempat penginapan di bibir jurang. Menghadap langsung ke air terjun.
Warung itu adalah satu-satunya bangunan yang kami temui tepat setelah rute terakhir dengan jalan bebatuan, berkelok, naik turun. Tapi itu belum akhir perjalanan. Kami masuk ke warung, mengisi perut yang kosong semalaman karena belum sempat makan. Dari jam digital di handphone, kami baru sadar saat itu sudah pukul 02.30 dinihari.

Di langit, mega-mega hilang diganti dengan kerlip jutaan bintang. Pemandangan mahal yang sangat jarang ditemui di kota metropolitan penuh polusi seperti Jakarta. Ya, wisata alam Curug Malela ini ada di ketinggian Gunung Halu, Bandung barat, tepatnya di ujung desa Cicadas, kampung Manglid, Kecamatan Rongga. Dari Jakarta, situs ini bisa ditempuh sekitar enam jam perjalanan jika memilih akses langsung lewat Padalarang.

Namun, trip kami memakan waktu sekitar 8 jam karena sempat terkendala pecah ban. Selain itu hujan deras yang mengguyur sepanjang perjalanan membuat pengemudi harus ekstra hati-hati. Lazuardi alias Ade, guide sekaligus organizer yang merangkap sopir kami sudah mewanti-wanti bahwa ini bukan jalan-jalan biasa karena rute yang ditempuh benar-benar offroad dan butuh adrenalin.

Perjalanan memang tak semulus yang dibayangkan. Pada awalnya perjalanan dari desa ke desa lainnya serta areal perkebunan teh masih normal. Lalu jalanan yang berliku, terjal, tidak rata bahkan berlubang besar sungguh membuat deg-degan. Beberapa kali kami menahan nafas sekaligus berdoa agar bisa melalui tanjakan terjal nan licin. Saking rusaknya jalan, untuk menempuh jarak sekitar 3-4 kilometer dari Cicadas, desa terakhir yang paling dekat dengan Curug Malela, pun memakan waktu hingga satu jam. Kadang, saat medannya parah, beberapa penumpang di mobil lain turun agar beban mobil tak terlalu berat.

Hampir satu jam berselang, kami berjalan kaki sekitar setengah jam dari warung menuju perkemahan. Mobil diparkir di depan warung karena jalannya tak memungkinkan dilalui kendaraan roda empat. Jalan setapaknya tak sulit dilalui karena sudah dilapisi semen bertangga-tangga. Samar-samar di kejauhan kami mendengar suara gemuruh debur air yang jatuh dari ketinggian.

Dan ujaran Ade malah membangkitkan harapan. "Tenda kita langsung menghadap ke air terjun, jadi pemandangannya itu perpaduan sawah-sawah, tebing, jurang, dan air terjun," kata dia sambil menuruni anak tangga. Kami jadi makin tak sabar ingin segera melihat, sayangnya hari masih gulita. Iseng kami mencoba menembakkan sorot senter di tangan, tapi sinarnya tak mampu menyorot si Curug Malela.

Rasanya ingin sekali pagi segera datang menggantikan malam. Angan dikepala sudah membayangkan untuk segera menikmati rupa air terjun yang digadang-gadang sebagai Niagara mini itu. Tapi waktu lambat bergulir. Hari masih pukul 04.00 pagi dan fajar belum menyingsing. Dinginnya udara membuat kami masuk tenda dan meringkuk di bawah sleepingbag.

Di depan tenda beberapa orang dari rombongan kami, yang menamakan diri turis akhir pekan, masih terjaga duduk mengelilingi api unggun. Seorang teman mulai mengeluarkan kambing guling yang sudah dibakar sebelum kami tiba. Sambil bercengkrama, mereka menikmati kambing guling yang dicocol ke dalam sambal giling.

***

Mungkin karena begitu lelahnya, saya jadi ketiduran. Saat terbangun, hari sudah terang benderang padahal masih pukul 07.00 pagi. Beberapa teman sudah sibuk berfoto-foto dan menikmati pagi. Ada yang masih sibuk memotong kambing guling yang ternyata masih belum habis. Ada juga yang masih lelap di dalam homestay di sebelah tenda kami. Saya merasa kecolongan oleh fajar yang sudah tinggi dan tak lagi menyisakan kabut pagi.

Panorama di depan tenda.


Kami bergegas, menyiapkan kamera ingin segera mengabadikan Malela di kejauhan. Medan sepanjang satu kilometer berupa tanah basah, pematang sawah yang licin, dua buah jembatan kecil, turunan terjal, pohon-pohon serta rimbunan perdu yang lebat. Aroma tanah dan daun yang basah serta sejuknya udara benar-benar menyegarkan. Setelah jembatan, jalan setapak yang kami lalui ternyata sudah di lapis beton juga. Seorang teman menyeletuk, "Ini mah namanya jalan-jalan ala wisatawan, sensasi trekkingnya kurang menantang."

Setengah jam berjalan, gemuruh air makin terdengar kuat, petanda kami sudah hampir sampai. Dan dari balik rimbunan perdu, wajah si Curug tersingkap. Kami berdecak kagum, memandang takjub betapa indahnya ciptaan Tuhan itu. Rupa curug Malela sangat menawan sekaligus tampak garang karena efek dinding bebatuan hitam.

Rupa Malela yang garang sekaligus rupawan.


Tak berlebihan kalau beberapa situs pelancong dan website pemerintah menyebut-nyebutnya Niagara dari Tanah Sunda. Dalam bahasa Sunda, curug berarti air terjun, sedangkan nama Malela diambil dari bahasa Kawi, yang berarti baja. Hal ini menggambarkan tebing batu dari jenis Breksi berwarna gelap yang tampak berdiri kokoh dan jadi tempat jatuhnya aliran air sungai Ci Curug. Dengan peta topografi ketinggian sekitar 50 meter dan lebar sekitar 70 meter, Curug Malela mungkin mirip Niagara, tapi dalam wujud yang mini.

Saya dan beberapa teman mulai beratraksi melompat dari satu batu besar ke batu besar lain mendekat ke tengah Curug. Sensasi percikan air yang ditiup angin terasa menampar wajah kami. Segar sekali. Segala lelah dan penat pun langsung sirna seketika. Lalu semua sibuk sendiri menikmati panorama. Ada yang mengabadikan pemandangan dari balik lensa kamera. Ada juga yang malah memanfaatkan kontur alam Curug Malela jadi latar untuk foto praweddingnya. Dan hasilnya, jangan ditanya. Sangat memukau! Satu hal yang tak ketinggalan yakni foto narsis ria, kami mulai sibuk jepret sana sini dengan aneka gaya. Hahaha.

Dibidik dari lensa IR sang fotografer kawakan.

Beda dengan sebelumnya, rasanya waktu cepat sekali bergulir. Hari makin siang dan panas menyengat. Pengunjung Malela juga sudah mulai ramai oleh beberapa kawula muda. Rupanya wilayah ini tak lagi hanya terkenal di kalangan petualang, tapi sudah familiar bagi para wisatawan, terutama penggemar wisata air terjun. Pemerintah yang sudah mulai berbenah sejak tiga tahun silam juga memudahkan wisatawan dengan membuat jalan setapak dari beton. Sehingga para pengunjung tak perlu bersusah payah trekking di jalur yang terjal lagi licin.

Sayangnya, tak seperti wisata air terjun biasanya, kali ini kami tak berani mandi-mandi di curug. Di samping arus airnya yang deras dan debitnya bertambah karena hujan semalamnya, kami mengurungkan niat demi melihat airnya yang berwarna kecoklatan dan banyak sampah berserakan. Tentu saja ini jadi mengganjal, mengingat Curug Malela ini sebenarnya ada di kawasan hutan. Ternyata aliran kalinya telah digunakan untuk menghanyutkan sampah-sampah penduduk dari daerah yang lebih dulu dilaluinya. Selain itu, pengunjung Malela rupanya juga kerap menyisakan sampahnya di tepian sungai, hingga mengurangi kemolekan Malela.

***
Santai sejenak di atas bebatuan.

Kali Ci Curug tak hanya membentuk Curug Malela saja tapi masih ada enam curug besar lainnya, yakni Curug Katumiri, Manglid, Ngebul, Sumpel, Palisir, dan Pamengpeuk. Curug di aliran paling atas yakni Malela. Di tepat di seberangnya, tampaklah curug Manglid yang memiliki spot goa di belakang air terjun. Hanya saja, curug ini termasuk curug musiman, kadang kering kadang ada air terjunnya. Salah satu teman yang sering bepetualang berujar di dalam goa itulah dulu tempat persembunyian penduduk saat muncul gerakan DI/TII. Lalu, kebalikan curug Malela yang airnya jatuh terpisah, pada Curug Ngebul airnya malah jatuh mengumpul. Kalau punya waktu lebih, tak ada salahnya menyusuri curug-curug tersebut karena masing-masing mempunyai keunikan tersendiri.

Bicara soal wisata alam, Indonesia punya banyak spot yang tak kalah dengan pesona wisata di luar negeri. Masih banyak kekayaan alam khas negara tropis yang potensial jadi tujuan wisata namun belum tergarap dengan baik. Enam curug dan Niaraga mini di Tanah Sunda ini hanyalah segelintir.

Sayangnya kami belum sempat melipir ke curug itu karena terbatas waktu dan akses yang masih sulit. Belum puas kami berlenyeh-lenyeh di atas batu sambil berjemur, kami tersadar harus segera beranjak. Matahari tepat dia tas kepala ketika kami membereskan tenda dan kembali menuju pos terakhir, tempat mobil diparkir.

Siang itu sebenarnya medan trekking jadi terasa sangat berat karena berupa tanjakan dengan kemiringan hingga 70 derajat. Beberapa tukang ojek yang bergerak lincah di jalur offroad menawari saya tumpangan ojeknya. Tapi demi melihat jalur yang dilalui adalah jalan tanah dengan kemiringan yang sama, nyali saya langsung ciut. "Enggak Kang, saya jalan aja," kata saya seraya menggeleng.

Pilih tangga atau ojek??


Rasanya bergidik ngeri membayangkan duduk di boncengan motor berkecepatan tinggi dengan jalur yang menanjak dan licin. Tapi dalam hati saya mengumpat karena memilih jalan kaki. Perjalanan menjadi sangat lama karena berkali-kali saya berhenti sebentar untuk mengatur nafas dan menegak air mineral. Ah, saya merasa malu karena masih muda tapi sudah terengah-engah di dakian yang belum seberapa.

TIPS:
1. Siapkan fisik dan stamina, karena perjalanan menuju Malela akan membutuhkan jiwa petualangan.
2. Bawa jas hujan atau payung untuk berjaga-jaga saat turun hujan. Sebaiknya hindari musim hujan.
3. Jangan lupa bawa sunblock dan pelembab dan topi. Saat siang hari tempat ini sangat panas dan terasa gersang.
4. Jika menginap, bawalah senter dan baterai cadangan karena di homestay tidak ada listrik. Sumber energi yang tersedia ada di warung pos terakhir.
5. Lebih baik menggunakan kendaraan pribadi, sebab tidak ada kendaraan umum sampai ke Curug. Pastikan kondisi kendaraan yang dibawa benar-benar berstamina. Jalanan yang tak mulus selain memerlukan sopir yang piawai juga mobil yang prima.
6. Kalau bernyali lebih, cobalah petualangan offroad naik ojek. Memberikan sensasi petualangan yang berbeda.

Biaya-Biaya:

Biaya penginapan per malam Rp 75.000
Uang masuk ke curug Rp 15.000 per orang (jika menginap) atau Rp 10.000 per orang (jika tak menginap).
Biaya ojek dari/ke curug Rp 7.000-10.000 (tergantung kemampuan menawar).
Makan Rp 6.000-10.000 per orang sekali makan.

-----*****------