Selasa, 26 November 2013

Aku Ingin Menua Bersamamu.

Aku membayangkan kita menua bersama.
Kugamit lenganmu, lalu kita melangkah.
Berjalan bersisian kita saling menguatkan.
Kita sama-sama tau hidup ini tak mudah.

Terkadang kita tersesat,
Jalan di hadapan terjal menghadang,
Di tempat baru yang menakutkan,
Manusia-manusia egois siap mengancam.

Tapi kita tak ragu.
Kau genggam tanganku erat.
Senyummu penuh kasih mengalirkan kekuatan.
Ku tetap percaya padamu, pun kau sebaliknya.

Kita lewati hari-hari berdua,
Hingga rambut penuh uban, dan tubuh perlahan kehilangan daya.
Tak jadi soal meskipun paras remaja kita mulai bersalin keriput.
Kita bahagia.

Ah, indahnya bila tumbuh dan menua bersamamu, kekasih.

Inspired by: Sepasang manusia lanjut usia yang bertanya arah ke Pasar Minggu. Wajahnya menyiratkan kebingungan, mungkin masih baru di Jakarta. Tapi indah sekali melihat pak tua itu menggandeng erat tangan istrinya saat melangkah turun dari bus Transjakarta. :)

Pancoran, Minggu 11 Agustus 2013. (8:40pm)

Hey! Untukmu yang Di Sana

Hey! Apa kabarmu? Lama tak kudengar celotehan nakalmu yang biasanya selalu membuat terpingkal-pingkal. Atau gugusan semangat yang kau letupkan lewat kata-kata penuh inspirasi, membelah, menyebar dan menabrakkan diri untuk kemudian secara magis menumbuhkan semangat yang sama. Semua ceritamu, dari yang tak penting sampai yang teramat penting pasti kau beritahu.

Hey! Di mana kau sekarang? Dulu rasanya selalu mudah menemukanmu. Meski terpisah ruang dan waktu, dengan menitipkan pesanku pada bayu, kau pasti langsung membalas rindu. Tak perlu tunggu lama, kau pasti ada menyapa dalam tawa pun pesan penuh galau ciri khasmu.

Hey! Siapa yang ada bersamamu? Memikirkan ini membakar cemburu. Membayangkan dulu, semua ceritamu tak ada yang luput menjadi topik cerita kita, termasuk kekasih-kekasih khayalanmu. Dulu, itu biasa, karena semua itu, tak peduli ada ataupun tiada, tak pernah membuatmu lantas menjauh.

Hey! Kenapa kau menjauh? Dulu, tiba-tiba saja kau dekat, entah apa yang membawamu merapat. Sekarang, angin mana yang membawa kapalmu menjauh, tak tau. Kau berlayar, tanpa kabar, tak berjejak. Andaisaja kau beritahu, ombak ganas mana yang menghempaskan kapalmu. Adakah kau telah karam di kedalaman laut biru?

Hey! Ribuan pesan telah kukirimkan. Kutitip pada bayu yang sama dengan yang senantiasa membelaimu, sejuk. Pada bintang gemintang nun jauh di sana, yang kerap kau pandangi dari jendela kamarmu. Sebagai sahabat senantiasa ku yakin mereka kan setia, dan ku harap kau sedia tuk sekejap mendengar pesannya, bahasa kalbuku.

Hey! Jika kau berkenan pun enggan kembali, titipkan jualah pada bayu dan bintang yang sama. Aku yakin mereka kan bercerita.


*Warung Buncit, 4 Februari 2012 (12:26am)

Pecundang Kala Petang

Apa yang kau harapkan dari sepotong senja?
Saat semua yang kau kerjakan terasa sia-sia.

Pagi-pagi kau sudah bergegas ingin menyelesaikan sisa tugas semalam.
Kau berjanji bangun lebih awal lalu mulai menebarkan jala.

Penantianmu berbuah hasil, tapi bukan buah yang manis dan ranum.
Tak apalah, pikirmu, sambil berharap masih ada buah kedua, ketiga dan seterusnya.

Lalu matahari mulai bergeser.
Dia menelan bayanganmu sendiri hingga tak bersisa di jalan setapak.
Kau pun berjalan, setengah berlari, menahan perih di perutmu yang merintih.

Mentari bergeser ke barat, kau ke selatan.
Anak-anak cahaya berlesakan. Ia hampir meninggalkanmu.

Pada akhirnya ia memang meninggalkanmu.
Kau menantinya, berharap ia kembali lagi.

Matahari makin berlari ke Barat.
Kau mulai gusar tak kunjung bertemu yang dinanti.
Asamu pun mulai menguap tak terkendali.

Hei.
Langit sudah mulai gulita.
Entah pada siapa akan kau alamatkan kecewa.
Kau pun hanya bisa menahan gemeletuk gigi-gigimu yang penuh amarah.

Setengah gila kau berlari.
Tapi sekejap kau datang lagi.
Berharap ada keajaiban di sisa petang hari.

Eh, tapi, apakah yang kau harapkan pada sepotong petang?
Petang yang membuatmu merasa seperti pecundang!

Kantor Wali Kota Jakarta Selatan- 2 Oktober 2013 (7:34pm)

Tak Berjudul

Ayah atau Ibumu.
Dia yang paling ingin kau bahagiakan.
Dia juga orang yang paling mungkin membuatmu sedih tak berkesudahan.

Biasanya dia selalu menjadi sumber energimu. Yang membuatmu bercahaya dan tegak menatap dunia.

Lalu suatu kali energinya padam, ia hanyut dalam nestapa.
Kau ingin mengembalikan energinya tapi kau sendiri pun hilang pegangan.
Tak kuasa kau bertahan.

Maka kau pun ikut tersapu dalam kegelapan.
Tak ada lagi terang yang jadi mercusuarmu.
Tak lagi ada pandu kemana kau akan melabuh.

Warungbuncit, 3 Oktober 2013. (4:10pm)

Surat-surat kita

Tadi pagi kita bersurat
Di dalamnya kuselipkan harap
Semoga semesta bersepakat.
Agar kita bisa seatap.

**
Katamu kau sedang menuliskan surat
Isinya sajak-sajak yang menggugat.
Kau tanya, "kenapa malamku selalu pekat"

**
Suatu petang kau datang
"Mampukah kau mencintaiku walau bintangku tak benderang?"
Tak ada kata, hanya anggukan senang.

OTW Jatibening, 5 Oktober 2013 (7:34pm)

Berakhir Pekan di Museum

Tadi pagi habis berenang (Cieee. maksudnya cebur-cebur main air. Hehe), akhirnya kesampaian juga rencana kami nonton teater "Tenggelamnya Kapal Tek Sing" oleh Teater Koma di Museum Nasional Indonesia.

Jumlah penontonnya banyak, rata-rata usia sekolah. Ada yg datang sendiri, ada yg rame-rame dari sekolahnya. Beberapa guru murid dan orangtua yg juga terlihat mendampingi. Kami duduk melantai di lantai 4 gedung baru museum itu.

Pementasan sepanjang 15-20 menit itu berlangsung interaktif. Anak-anak tertawa riang. Sesekali muka mereka serius sambil mencatat poin-poin penting di kertasnya.

Pentas teater itu kurasa menarik. Paling tidak ini cara alternatif untuk mengajar sejarah (dan dongeng) pada anak-anak agar tidak monoton. Selain itu anak-anak juga bisa mengenal seni teater sejak muda.

Nah, efek positif lainnya yakni bonding antara ibu-anak-guru bs lebih erat. Untuk jangka panjang, (mudah-mudahan) bisa menumbuhkan minat berkunjung ke museum. Bagus kan ya?

Kalau pementasan teater sudah selesai, anak-anak (dan orangtua, terutama ibu2) bs ikut workshop bikin aneka kerajinan tangan, seperti merajut, origami, bikin boneka mini (gak tau istilahnya), melukis mainan, banyak lagi. Pokoknya menarik. Satu kunjungan ke museum bs dapat ilmu banyaakk.

Ya, kurasa acara begitu lebih baiklah, daripada anak-anak itu diajak ke mall saja tiap akhir pekan. Semoga saja bs digelar rutin.

(Andai di kampung saya juga dulu ada yang beginian.. :D)

Warung Buncit, November 24, 2013

Jumat, 15 November 2013

Teater Koma, IBU: Ibu Pemberani dari Masa Perang



Ibu B'rani berjalan sendiri. foto by: Image Dynamics
Wanita itu bernama Ibu Brani. Di tengah perang yang sarat dengan mesiu, kelaparan, daging yang sudah berbelatung serta bau kematian, dia justru mencium peluang bisnis. Dia mengambil untung dari tengah perpecahan yang terjadi di negaranya tanpa memedulikan kehancuran dan kebobrokan yang terjadi.

Ibu Brani menarik gerobak berisi barang-barang dagangan lalu hidup berkelana bersama ketiga anaknya. Sikapnya dingin. Malah ia berharap perang tak pernah berakhir dan menyumpahi perdamaian yang menurutnya merugikan usahanya.

Tak peduli siapa lawan dan kawan, ia gampang memihak siapa saja pemenang perang. Baginya persoalan itu semudah mengganti bendera di gerobaknya. Seperti namanya, ia juga tak pernah gentar menghadapi tentara. Tapi saat dua putranya Elip dan Keju Swiss direkrut menjadi tentara, Ibu Brani mulai bimbang.
Ibu B'rani bersama ketiga anaknya - Foto by: Image Dynamics
Namun sisi kemanusiaannya sebagai ibu yang tak berdaya tampak jelas ketika Keju Swiss ditangkap musuh dan hampir di dor di depan matanya. Dia dilema betul antara memilih ambisi pribadi dan terpaksa tidak mengakui Keju Swiss sebagai anak demi menyelamatkan dirinya. Namun tragis baginya, dua putranya dan Katrin, putrinya yang tuna wicara, akhirnya tewas karena perang. 

Itulah lakon teater Koma bertajuk ‘Ibu’ yang berlatar belakang perang di wilayah Eropa selama 30 tahunan pada abad 17. Karya dramawan Jerman BErtolt Brecht (1898-1956) ini aslinya berjudul Mutter Courage und ihre Kinder (Mother Courage and Her Children).

Nano Riantiarno, sutradara sekaligus pemilik Teater Koma menyadurnya kembali dan mengadaptasinya menjadi rasa Indonesia. Percampuran Jerman dan Indonesia disajikan lewat kostum, lagu, juga ornament seperti padi, tebu, terong, bawang, cabe, ketela, ubi kayu yang ada di pentas. Selain itu istilah dan nama pemain yang juga disesuaikan dengan lidah Indonesia. 
Kisah perang berbau agama di Eropa itu memang bisa dibilang jauh dari Nusantara, dari segi waktu pun dari segi masalah. Namun persoalan perang ini ditarik menjadi perang yang bisa terjadi di mana pun, terutama yang menyangkut kekuasaan. Penonton diajak merenungkan apakah memang ada yang benar-benar meraih untung dalam perang?
Foto by: Image Dynamics

Dalam konteks kekinian, lakon ini diarahkan pada pemilu 2014 yang menurut Nano, juga termasuk ‘perang’ dalam bentuk berbeda. Maka “Ibu” tak lagi sekedar ibu biologis tapi dipersonifikasikan dalam makna yang lebih luas, bisa menjadi Negara dengan rakyatnya. “Siapakah Ibu kita sekarang ini??? ini pertanyaan yang sungguh serius, kata Nano.

**
Jumat (1 Nov) kemarin, atas kebaikan hati temanku, Imaniuri, aku bisa menonton lakon berjudul “Ibu’. Aku kegirangan dan langsung meluncur ke TIM begitu dapat BBM konfirmasi dari dia. Tak pedulilah aku harus menonton sendirian dan kenyataan terpaksa pulang pukul 12 malam. Yang penting aku terhibur dan bisa melihat pertunjukan idola. 

Foto by: Image Dynamics
Ini adalah ketiga kalinya aku menonton Teater Koma. Pertama kali Sie Jin Kwie di Negeri Sihir (2012), Sampek Engtay (Maret 2013). Di luar itu, aku juga beruntung bisa menikmati pementasan Gandamayu (Teater Garasi-2012), dan Sang Kuriang (Paduan Suara Parahyangan diangkat dari naskah musikal karya alm. Utuy Tatang Sontani – Feb 2013).

Sebagai orang yang masih baru terhitung jari menonton teater, aku tak bisa memberikan banyak kritik, selain rasa senang dan takjub saja menyaksikan Teater Koma. Aku tak akan menganalisanya dari segi seni dan tetek bengeknya. Sebab aku masih sangat awam dalam hal itu. Yang dapat kukatakan aku selalu terkesima setiap kali pulang menonton pertunjukan mereka. Aku puas dengan akting, dengan musik dan lagunya, dengan tata cahaya panggung dan keserasian gerak pemainnya. 

Kelompok Teater yang genap berusia 37 tahun pada Maret 2014, seakan sudah memberikan jaminan di balik namanya. Karya pertunjukan mereka selalu berkualitas. Soal akting dalam lakon Ibu, Sari Madjid memang top. Bayangkan, naskah dia sebagai Ibu Brani mencakup 80 halaman dari total 100 halaman naskah drama dua babak itu. J Belum lagi belasan lagu lainnya yang harus dia hapal lirik dan nadanya. Tapi pemain kawakan seperti Rita Matu Mona, Budi Ros, Dorias PRibadi, Alex Fatahillah, Daisy Lantang, Supartono JW juga tampil maksimal.
Sari Madjid - Foto by: Image Dynamics
Oh ya, satu lagi aku juga suka dengan narasi dan lagunya yang sarat makna. Teater Koma memang dikenal suka menyelipkan kritik-kritik pedas di dalam dialognya. Tapi penonton juga sering dibuat terpingkal oleh dialog atau aksi yang jenaka. Kalau minat, lekaslah ke TIM, Jakarta. Pentas karya ke 131 Teater Koma ini masih berlangsung setiap hari hingga 17 November :)

Warung Buncit, 15 November 2013

Rabu, 06 November 2013

Resensi Bliss: Keajaiban Sihir dalam Adonan Roti


Judul: Bliss (The Bliss Bakery Trilogy #1)
Pengarang: Kathryn Littewood
Penerjemah: Nadia Mirzha
Penerbit: Mizan Fantasi 
Tahun: Februari 2013 (cetakan kedua)
Tebal: 308 halaman.

Kota kecil itu namanya Calamity Falls, terletak di salah satu sudut Oklahoma. Penduduknya cukup banyak, tapi tak terlalu ramai. Hanya sekitar ribuan saja. Namun semuanya hidup saling mengenal satu sama lain. Di salah satu sisi jalan berdirilah toko roti Follow Yoir Bliss yang sangat fenomenal, milik keluarga Rose.

Kuenya tenar sampai ke seisi kota, bahkan sampai ke daerah tetangga. Maklum, selain karena rasanya yang lezat, kue-kue itu juga disukai karena konon berdaya magis. Misalnya, orang gendut yang terperangkap di sumur tiba-tiba bisa menjadi seringan awan setelah makan kuenya.

Anak kecil yang hampir mati tersambar petir pun tiba-tiba sembuh setelah mengunyah macaroon buatan ibu Rose. Belum lagi Croissant Almod-nya bisa menyembuhkan demam pilek, lalu cheesecake labu yang bikin bocah sembuh dari flu babi.

Hanya ada satu kata, ajaib. Maka muncullah gosip-gosip tentang kue keluarga Rose. Dan gosip itu memang benar. Keluarganya yang bernama belakang Bliss itu adalah keturunan pembuat roti ajaib. Semua keajaiban itu diwariskan dari buyutnya lewat buku resep Bliss Cookery Booke. Keistimewaan buku itu tentu saja resepnya yang tak biasa.

Untuk membuat adonan kue-kue yang lezat itu, selain bahan umum seperti telor, tepung, gula, coklat juga ditambah sejumput sihir. Rosemary melihat sendiri ibunya mengaduk halilintar dalam adonan kuenya. Selain itu masih ada bahan-bahan tak lazim lainnya seperti nyanyian burung bul-bul di Jerman, ekor awan, halilintar, air liur gajah, nafas orang yang tak pernah berbohong.

Tapi orangtuanya meminta Rose merahasiakan tentang sihir itu. Mereka juga dilarang untuk mencoba-coba. Hanya ayah dan ibunya yang bisa memegang buku itu, sehingga Rose dan saudaranya jadi makin penasaran.
Suatu ketika, ibu dan ayah pergi selama seminggu. Seorang tamu tak diundang datang dan mengubah semuanya. Rose dan tiga saudaranya memutuskan bereksperimen dengan beberapa resep. Kue-kue enak bercampur sihir ciptaan Rosemary dan saudaranya pun jadi biang masalah ke seantero kota.

Kisah tentang kue, sihir, dan petualangan khas remaja ini dengan menarik disusun Kathryn Littlewood menjadi novel yang seru. Seperti pembuat roti, dia meramu cerita dengan karakter-karakter kuat, alur yang teratur namun penuh kejutan.

Hampir tak ada rasa bosan. Sebaliknya, pengisahannya seakan menyeret pembaca ke petualangan dunia anak remaja yang jenaka dan terkadang menegangkan. Ada banyak kejutan dan humor yang bisa dinikmati sambil membayangkan kue-kue nan lezat itu. Selain  menghibur novel ini juga sarat makna yang menekankan nilai kekeluargaan. Pas untuk bacaan anak-anak remaja (memperkaya fantasi) tapi juga enggak tabu untuk dibaca orang dewasa.

Ohya, menurutku penerjemahnya Nadia Mirzha juga patut dipuji. Novel setebal 308 halaman ini tentu bisa dinikmati karena dia piawai memilihkan kata-kata sehingga tak terasa janggal dan kaku. Menarik.

Warung Buncit, 6 November 2013
*
Bliss, buku pertama dari The Bliss Bakery Trilogy ini sudah saya ‘culik’ dari rak buku teman saya, Sukma, beberapa hari lalu. Namun baru dini hari kemarin sempatkan untuk membacanya. Dan, begitu lembaran pertama dibuka, sulit untuk berhenti membuka lembaran-lembaran berikutnya. Saya larut dalam petualangan seru Rose (padahal biasanya tak suka yang berbau sihir-sihir).

Catatan: Tidak disarankan membacanya saat lapar, bisa membuatmu kalap saat nanti melihat kue di toko sebelah. :)

Jumat, 01 November 2013

Mati Adalah Keuntungan!



Kalimat di atas dengan lantang dikatakan Ahok ketika ia tampil di Mata Najwa, Kamis (31/10) lalu. Tiga kata tersebut bukan asal disampaikannya tanpa sebab. Rupanya dia ingin jika mati kelak, dia dikubur di kampungnya, Belitong dan kutipan itu harus dituliskan di nisannya.

Ahok ternyata sudah berpesan pada istrinya apa yang harus dilakukan jika dia meninggal kelak. Dia sadar betul, risiko menjadi pemimpin yang tegas pasti membuat banyak orang yang tak suka. Tapi bukannya ciut, justru ia terlihat berani. Buktinya, kalimat yang dia pilih itu, “mati adalah keuntungan”.

Awalnya aku hanya terpukau sambil merenungkan kalimat Ahok itu. Aku mereka-reka dari mana dia mendapat kalimat bagus itu. Apakah murni hasil perenungannya sendiri atau dia kutip dari tokoh mana. “Berani sekali dia memilih kalimat bagus itu,” pikirku.

Baru pada keesokan harinya, aku mendapati ternyata kalimat itu adalah kutipan dari Surat Paulus kepada Jemaat di Filipi. (Filipi 1:21 -> Karena bagiku  hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan). Artinya, hidup di dunia ini tak sekedar bernafas tapi haruslah berbuah.

Mudah diucapkan memang, tapi tentu sangat tidak mudah untuk dilakukan. Sebab hidup bukanlah sekedar hidup di mana manusia bernafas, makan, berkembang biak. 

Begitu juga mati, yang disebut jadi keuntungan bukanlah yang sekedar asal mati. Tapi bagaimana agar Dia dimuliakan di dalam tubuh, baik oleh hidup maupun oleh mati kita.

Kembali ke Ahok, aku tak terlalu mengenalnya secara mendalam sehingga tak tahu seberapa religiusnya dia. Yang jelas, selama beberapa kali bertemu di kantornya, secara langsung maupun tidak, dia selalu menegaskan sikapnya yang anti korupsi. Padahal godaan yang mampir padanya jangan ditanya lagi berapa banyak.

Ada puluhan mungkin ratusan tawaran yang sangat menggiurkan singgah di meja-meja para kepala daerah.  Hanya dengan memberikan tandatangan untuk  ijin ini itu, miliaran rupiah singgah di dompet mereka. Ah, tak perlulah aku cerita tentang ini. Lihat saja jumlah duit yang disuapkan ke mulut para koruptor yang sedang ditangani KPK itu. Bisa mengamankan sampai tujuh turunan.

Tapi Ahok, sejauh yang kudengar, ogah terlibat dalam praktik busuk seperti itu. Tentu saja itu bukan hal yang mudah  untuk dilakukan di zaman sekarang.

Pria bernama asli Basuki Tjahaja Purnama itu memang dikenal keras. Stigma ini makin melekat erat sejak dia bergandengan dengan Jokowi memimpin DKI Jakarta. Dia blak-blakan. Tak ada kata main-main. Begitulah, setidaknya penilaian pribadiku pada dia.

Salah satu prinsipnya adalah menegakkan keadilan. Maka A dibilangnya A, B dibilang B. Putih dikatakan putih, hitam dikatakan hitam. Tak ada yang abu-abu, apalagi sekedar cari muka.

Ahok menjaga betul agar tidak masuk dalam lingkaran setan korupsi. Itu adalah salah satu buah yang ditunjukkan Ahok dalam hidupnya. (Agaknya, pria ini memang sangat religius sehingga dia percaya diri mengatakannya lantang dan mencomot kalimat itu untuk dituliskan di nisannya).

Bagaimana denganmu. Kalau bagimu, mati itu adalah apa?

Warung Buncit, 2 November 2013.