Minggu, 04 Desember 2016

Menjadi Driver atau Passenger?

Menjadi Driver atau Passenger? 
Kutipan dari Buku Self Driving, Rhenald Kasali.

Dalam bukunya yang berjudul Self Driving, Rhenald mengutip Sastrawan George Bernard Shaw, "Only two percent of the people think, three percent of the people think they think; and ninety five percent of the people would rather die than think."

Hanya ada dua persen. d-u-a-p-e-r-s-e-n. Mari kita simak. Hanya ada dua persen dari seluruh guru yang benar-benar menjadi pendidik, yakni guru kreatif yang membentuk manusia, tiga persen menjadi administrator dan sisanya menjadi guru kurikulum.

Hanya 2% dari pengajar di perguruan tinggi yang meraih S3 dan dari ratusan doktor hanya 2% yang aktif melakukan publikasi dan menjadi guru besar. Dari jumlah itu, hanya 2% yang benar-benar melakukan apa yang mereka tulis dan berdampak bagi masyarakat.

Di banyak negara, hanya 2% yang membangun usaha dari nol menjadi pengusaha menengah dan besar. (Indonesia sendiri belum sampai 2%). Lalu, dari kalangan profesional yang bekerja di perusahaan modern, hanya 2% yang menjadi pemimpin atau menjadi eselon di pemerintahan. Di antara pemimpin itu pun, hanya 2% yang benar-benar melakukan perubahan.

Diperkirakan dari seluruh wartawan, hanya 2% yang menjadi penulis yang dikenal luas. Hanya 2% dari profesi artis yang menghasilkan album yang terkenal atau jadi monumental.

Ke mana yang lain? Benar! Terperangkap dalam mentalitas penumpang yang memilih menunggu ketimbang berinisiatif. Tak merasa perlu mengeksplorasi jalan-jalan baru sehingga hanya tahu jalan yang itu-itu saja. Tak merasa perlu "merawat" kendaraan hidupnya, sehingga boleh "mengantuk", bahkan "tertidur" selama perjalanan kariernya.

Apakah kendaraan kita? Segala sesuatu yang ada pada diri kita, yang menjelma menjadi kekuatan mencipta, berkarya, berprestasi, atau berkreasi. Dalam bukunya, dia menyebut kendaraan ini sebagai gabungan antara kompetensi, kecekatan, dan perilaku.

Sudah jelas, ini adalah semua pilihan. Sebagai manusia yang merdeka, kita bebas memilih. Kita bisa memilih, mau tetap duduk manis, menjadi penumpang di belakang, atau mengambil risiko sebagai driver di depan?

Driver adalah sebuah sikap hidup. Sebuah kesadaran yang dibentuk oleh pengalaman dan pendidikan. Sebuah kesadaran penuh untuk memanfaatkan mandat kehidupan yang diberikan kepadanya.

Masih kata Rhenald, semua adalah pemegang mandat kehidupan. Saat lahir, surat tersebut dipegang orang tua. Setelah dewasa, mandatnya dikembalikan. Pemiliknya dapat memilih untuk menjelajahi kehidupan itu dengan penuh tantangan atau diam saja sebagai penumpang.

Ada yang menggunakan surat mandat itu untuk tumbuh dan berkarya. Sedangkan yang lain menyimpan surat kuasa itu di dalam sakunya sebagai dokumen pribadi. Keduanya sama-sama punya mandat tetapi keberadaannya berbeda. Dan tentu saja hidupnya berbeda.

Kendati sebagian orang bilang ini adalah nasib, kata Rhenalad, ini adalah pergulatan hidup yang diawali ada atau tidaknya kesadaran mandataris itu sendiri. 

(Saat membaca buku ini, aku menjadi sadar ternyata aku masih masuk dalam kelompok manusia yang 95%). 

Salam.
Ropesta Sitorus.

#PestaBaca 2016 nomor 25.
#Jakarta #4Desember2016

Senin, 17 Oktober 2016

Gadis Pakarena : Cinta Tak Mengenal "Tetapi"


Judul Buku: Gadis Pakarena
Penulis: Khrisna Pabichara
Penerbit: Dolphin
Cetakan I: Juli 2012
Jumlah halaman: 180 halaman

----

Definisi cinta bisa bermacam-macam. Namun, menurut Khrisna Pabichara, sesungguhnya cinta tak mengenal kata tetapi. Cinta bisa menembus segala sekat dan batas, baik yang nyata maupun batasan yang diikat oleh adat istiadat. Cinta juga tak mengenal prasyarat. Ya, agaknya itulah yang dicoba diketengahkan Khrisna dalam bukunya, Gadis Pakarena.

Cerita cinta dalam buku ini sarat muatan kearifan lokal yang digali Khrisna dari akar budaya tempat kelahirannya, Makassar. Lewat rangkaian kata-katanya yang menghanyutkan, ayah dua putri ini memotret tradisi masyarakat Bugis dan menjadikannya sebagai kekuatan cerita. Membaca bukunya tak sekedar memberikan hiburan, tapi juga pengetahuan akan tradisi budaya Bugis.

Khrisna membagi karyanya dalam 14 bagian cerita pendek. Tak hanya cinta antara sepasang kekasih, Khrisna juga menyajikan kisah cinta bapa kepada anaknya, cinta anak kepada ibunya, atau cinta kepada sesama saudara. Dalam bertutur, Khrisna kebanyakan meleburkan dirinya menjadi tokoh aku.

Khrisna piawai membuat pembaca tercengang, sedih. Ia cuek saat menggantungkan ceritanya begitu saja dan memberikan kesempatan bagi pembaca untuk mengintrepetasikan kelanjutannya sedemikian rupa.

Mengutip pernyataan M. Aan Mansyur, penyair yang memberikan pujian pada buku ini, kisah dalam Gadis Pakarena ini memang tak membawa pembaca kemana-mana. Dia hanya mengajak pembaca menikmati kisah kehidupan Bugis yang melankolik dan muram. Menyelami ketegangan dalam cerita, yang seolah-olah membawa pembaca antara kembali ke hulu atau muara "sungai kebudayaan". "Tapi tak ada kisah yang betul-betul sampai di hulu atau di hilir".

Kisah "Laduka" misalnya, tentang seorang Bugis yang merantau ke kota besar saat anaknya masih dalam kandungan. Laduka pulang kampung demi permintaan putranya yang akan disunat. Ia memang bertemu dengan anak dan istrinya, tapi, mereka ia telah menjadi jasad. Hanya sampai di sana. Tak diketahui seperti apa respon istrinya dan orang-orang yang menyambut kedatangan Laduka.

Beberapa cerita pendeknya juga perlu perhatian khusus untuk dipahami. Sehingga, meski bisa diselesaikan dalam tempo cepat, tak jarang perlu waktu lama untuk merenungkan. Dalam memotret, ia tak hanya menyajikan keindahan Khrisna juga menyoroti belenggu adat istiadat yang pada bagian tertentu tak lagi sesuai dengan kekinian.

Misalnya dalam kisah "Rumah Panggung di Kaki Bukit" dan "Silariang" pembaca dihadapkan dengan kasta dalam percintaan. Perbedaan kasta ini rupanya masih melekat erat dalam kehidupan masyarakat. Kalau tak terlahir dalam kasta bangsawan, maka seseorang harus punya harta, tingkat pendidikan dan gelar agama yang tinggi agar tak dianggap rendah. Tapi itu belum cukup, ada saja prasyarat tertentu untuk membatasi mobilisasi orang dari kasta satu ke kasta lainnya.

Persoalan kasta ini tak hanya ada dalam budaya Bugis, tapi juga pada bagian masyarakat lain, meski disebut dengan istilah yang berbeda. Lewat ceritanya, Khrisna ingin menekankan, bahwa alasan kasta ini kerap menjadi hambatan dalam urusan percintaan. Memisahkan dua kekasih. Menebarkan aroma permusuhan dan dendam menahun di hati yang tertolak karena kasta.

Dalam Silariang, sepasang kekasih terpaksa kawin lari karena tak kunjung mendapat restu. Namun kawin lari tak semata melarikan diri dan menikah di kampung orang. Ada harga diri yang harus dibayar mahal. ".. Itu artinya mencoreng aib di kening kerabat keluarga sang gadis dan aib itu berarti siri, harga diri yang tak terbeli dan harus ditebus dengan nyawa. Sementara keluarga lelaki yang ditinggalkan akan menanggung pacce, malu tak terperi. Tetapi bukankah cinta mesti diperjuangkan?" (Halaman 95)

Selain kasta, ia juga tak berusaha menutupi tentang penggunaan mitos dan ilmu hitam di masyarakat. Misalnya dalam "Haji Baso" yang mengisahkan pada kekuatan batu bertuah kulau bassi serta dalam "Pembunuh parakang" tentang pembunuhan manusia berilmu hitam yang bisa mempercepat proses kematian manusia lainnya.

Kisah berlatar Indonesia Timur bisa dibilang masih belum sebanyak kisah berlatar Sumatera dan Jawa. Kesadaran itulah yang membuat pengarang novel Sepatu Dahlan ini memilih memotret budayanya untuk memperkaya khazanah sastra. Tak salah pula jika buku ini langsung masuk dalam nominasi Khatulistiwa Literary Award 2012, meski tidak keluar sebagai pemenang. Buku ini sebelumnya pernah terbit dengan judul Mengawini Ibu tahun 2010. Untuk edisi dengan judul baru ini, Khrisna menambahkan dua cerpen yang tidak ada di buku sebelumnya.

Jangan khawatir “tersesat” saat membaca buku ini, karena Khrisna tak alpa memberikan catatan kaki di setiap istilah yang ia kenalkan. Jangan pula memandangnya sebelah mata. Buku setebal 180 halaman ini memang bisa dilahap dlam waktu cepat, tapi perlu waktu untuk merenungkan kisahnya. Itu sebabnya, beberapa pembaca bahkan menyebut, membaca Gadis Pakarena mirip dengan kuliah sejenak untuk memahami budaya Makassar.



Minggu, 16 Oktober 2016

Hypocrisy

Hypocrisy.

I found this word last night on my friend’s blog. He is an lecturer who teach in a private university far away in North Sumatera. Yesterday I casually looked for his blog and found his newly published article title “Hypocrisy”. He implicitly wrote about problems that affect his life lately. I don’t know what the problem really was, but I guess it was related with his work mate and surrounding.

After read about his not-so-long article, I felt curious. I took my Oxford Learner’s Pocket Dictionary. Try to make sure the definition of hypocrisy, “making oneself appear better than one really is”. I was not satisfied. I tried to search it more through the online Indonesian Dictionary at google. It was said “berpura-pura” or “munafik”.

Then I try to visualize what my friend trying to express through his writing. Somedays on the last month, he made a status on Facebook, “after all this world is just like a theater for everyone to play their role.” I tried to ask him via direct message about what has happened. He said he has a big disappointment, but couldn’t tell me at the time. 

Now, I’m glad that he has written about it. There are two reasons. First, keeping a problem (without being able to share it with other) for quite long time will make a person being sick and sicker. Second, writing is a therapy. Writing feelings gradually eases emotional trauma. I hope that he could feel better after trying to write his unspoken problems. 

Now, what I’m going to say more is that his writing somehow gives inspiration to me. Driving by the curiosity, I keep searching the other article related with hypocrisy. I found another blog owned by a guy from Malang. That guy quoted Pramoedya Ananta Toer, a well-known author from Indonesia, who said “bangsa ini hipokrit” on his book. Then he began to describe through Toer’s analysis that Indonesian are hypocrite because of colonial effect. 

I tried to contemplate and remember my job in a slimming therapy center. The first month I work there, I really want to quit the job. Why? Because I realized my job was really contrary with myself. I began to train myself to be a hypocrite person. I have to be able smile nicely, very friendly, especially to those who are potential to be our customer. When I try to make a phone call and ask them to buy our treatment, I have to be able to steal their heart so they would like to give millions of money for us. 

I didn’t like doing that. Day by day I felt more disappointed about myself. But I have to do that, because it was my job. Everybody also did the same. My bosses, my colleagues. It was quite long for me to be able to quit from that situation. I sought a job where I could earn money without being hypocrite. I didn’t choose to be PNS even tough my parents pushed me, because I found many of PNS are so very hypocrite. I choose to be journalist, since at the time I thought it’s an ideal job where I could work independently and don’t need to be a hypocrite. 

To shorten this story, did I found this i-wish-to-be-an-ideal-job was really far from hypocrite human being? No, not at all. Sadly, I also found pretty hypocrite people in this field of job. There are many bosses of media who always ask their worker to not take any bribes while they took it. Yes they do not take pity money, but snatch the big number of rupiah or dollars or in other form such as five star hotels, business class or jet plane, shopping abroad, or company’s share. 

How can we produce any independent news if we have given our nose to the stakeholder? Of course it will be hard, for not saying impossible. Then all things are just lip services. There is no more a really-free-of-interests journalism. And even worse, they using people, I mean their reporter for their own interests. These things made me feel disappointed. So if you hope that media are all honest and far from hypocrisy, think bout it again. 

From my cases, I think that people being hypocrite because we have too many desires and can’t control them. A person who is not hypocritical at first could be hypocritical if he let himself drawn in a system. Why he’s not just drawn himself out of it? Well, this is not as easy as saying, especially if he let himself being trapped in his own desires of goods or prosperity.  

Let me give examples. When I really want to work as an honest and independent journalist, I can firmly reject the money given to me. Hundreds or millions of rupiah, I never think twice to say no. I’m happy to do that because I think I could keep my integrity. But, now days, I must be honest that rejecting bribes sometimes leave me in a contrary thought. A half of myself still want to keep my integrity, but there is another half that begin to think “taking that would not being a big problem because your friend or your boss also do the same” or “I need money now to buy a, b, c and d” or “If I didn’t take this, the other will”. Of course, maintaining the integrity will getting harder when thought like this come to me. 

Well, hypocrisy of course not just related with money. It’s just a simple sample. Many other advantageous like a fine grade at school, a promotion at work, or social recognition. These could make someone being hypocrite, realized or not. I didn’t say this to justify this hypocritical mental. But we can easily find people who act differently from their real character in any kind social living.

So now, it back to us, whether we choose to be a hypocrite or not. There’s always a choice, of course with it’s own risk. I think, keeping the real character (or being a hypocrite human being) will be depend on how strong you can keep the integrity. And if you choose to retain integrity and don’t wanna get drawn in this hypocritical-social-mental, please underline that your way IS NOT GONNA BE EASY. You will find disappointment by disappointment.

But, I’m still curious to know, is this social mental are adopted by Indonesian people, as Toer’s said, as the effect of colonialism? Do people in other country  also have the same? Well, I wish there is a more scientific explanation, maybe from social psychology, about this habit / character and how to decrease that. Maybe there is way to eliminate or decrease this social mental sickness. I don’t know.   

Sedang Sulit Buka-bukaan (dalam Tulisan)

Menulis itu katanya perlu kejujuran. Aku sudah lama mandek menulis. Perkaranya bukan karena tidak punya waktu. Itu alasan klasik yang kubikin-bikin untuk menutupi alasan yang sesungguhnya. Sebenarnya ada banyak waktu (hey, bukankah semua orang di dunia mendapatkan jatah yang sama, 24 jam sehari) dan ada banyak ide yang ingin kutuangkan ke dalam tulisan.

Namun, saat kutelisik lebih dalam, ternyata dalam diriku ada semacam keengganan untuk dibaca orang lain. Aku merasa bila aku menuliskan sesuatu, apapun itu, orang lain akan mudah membaca pikiranku. Mengetahui isi hatiku. Mengenaliku. Bahkan menghakimi kehidupanku. Aku sedang tidak bisa buka-bukaan.

Gejala apakah ini?

Memang, sebenarnya aku ini tipenya cenderung tertutup. Aku hanya bisa terbuka kepada beberapa orang yang kuanggap bisa memahami atau membuatku nyaman. Nah, menulis menjadi sarana bagiku menuangkan uneg-uneg. Tapi itu dulu. Belakangan ini aku mogok menulis apapun, (kecuali menulis berita karena memang menjadi tuntutan pekerjaan. Padahal dulu, tanpa diminta aku dengan senang hati menulis resensi ataupun catatan perjalanan-perjalanan).

Aku menjadi sangat tidak produktif. Juga cenderung jadi lebih berhati-hati mau menulis, bahkan untuk hal remeh temeh seperti menulis status di media sosial. (Ohya, media sosial pun sebenarnya menjadi tidak terlalu menarik. Path, twitter tidak pernah lagi ku buka. Facebook pun hanya aktif sesekali saja).

Tetapi, ini tak bisa dibiarkan terus menerus. Kengganan ini bakal menimbulkan ketumpulan suatu hari kelak (sekarang saja sudah mulai terlihat gejalanya). Lagipula, bagaimana mungkin mau jadi penulis kalau tak siap jujur dengan pikiran sendiri. Mana ada penulis yang tak siap dibaca orang lain, bukan? Ya, agak anomali memang saya ini.  Ya sudahlah ya, marilah melatih diri menulis lagi.


R.
Jakarta.

Rabu, 25 Mei 2016

Mencari Kata

Kau bisa katakan ini berlebihan.
Atau lancang.
Terserah.
Akan tetapi aku harus berterus terang.
Menyampaikan kegusaran yang ada.
Mengingatmu saja ternyata semenyakitkan ini.
Kerap terasa degub tiba-tiba di dalam dada. Laksana gurindam.
Kadang menderu.
Kadang memburu.
Menghimpit.
Sampai sesak.
Darah dipompa ke satu titik.
Bikin perih di ulu hati.
Maaf.
Tak kutemukan lagi kata.
Mereka sering lenyap dari tenggorokan.
Menguap di udara.

Cirebon, 26 Mei 2016

Senin, 22 Februari 2016

Cerita dari Blora - Pramoedya Ananta Toer




"Engkau harus berani bercerita tentang hancurnya pengharapan. Orang harus berani merasakan penderitaan orang lain. Kesenangan? Kesenangan adalah tanda bahwa kematian mulai meraba jiwa manusia."

"Dalam pengembaraan di dalam hutan itu ada juga aku berpikir pikir tentang penderitaan. Dan aku berpendapat bahwa penderitaan itu adalah isi dari keangkaraan. Keangkaraan adalah ruang yang menyediakan tempat buat penderitaan itu."

"Biarlah. Dari pengalaman2 pahit ini, aku mendapat pelajaran - kita semua bisa mengatasi semua ini bila bisa menghilangkan diri sendiri. Anggaplah diri sendiri tak ada, dan segala kesengsaraan pun jadi tak ada."

===

Dibandingkan dengan puluhan (mungkin ratusan?) karya Pram lainnya, buku ini rasanya tidak terlalu populer. Saya sempat melihat-lihat di media sosial dan sangat jarang yang mengunggah foto buku ini.

Kutipan pertama yang kuketik di atas, tampaknya adalah curahan hati Pram sendiri-- yang dijuluki pengarang humanis dalam kadar tinggi-- yang disampaikan dengan meminjam tokoh seorang pengarang dalam kisah "Hadiah Kawin".

Dalam buku setebal 324 halaman ini, Pram menyajikan kisah para korban penindasan, kekerasan dan kekuasaan yang sewenang-wenang. Mengajak orang lain masuk ke sudut terdalam di pikiran para tokoh di dalam 11 cerita pendek yang dia buat.

Kisah Cerita dari Blora ditulis dengan setting pada masa Revolusi. Problematik sosial di kampungnya 65 tahun lalu itu, rasa-rasanya masih relevan dengan kondisi saat ini.

Bisa kita lihat sendiri, meskipun Indonesia telah merdeka, masih banyak jiwa-jiwa yang tertindas di Tanah Air mereka sendiri. Banyak orang yang dikucilkan seperti dalam kisah "Anak Haram". Menderita tertekan akibat hal yang dipilihnya secara sadar maupun atau status2 sosial yang bukan pilihannya (siapa yang dapat memilih untuk dilahirkan dari rahim tertentu?).

Masih banyak juga orang yang mengalami kondisi seperti dalam "Pelarian yang Tak Dicari". Terjebak dalam profesi-profesi yang bertentangan dengan norma-norma umum karena dorongan berbagai faktor, semisal kondisi perekonomian.

Kisah "Inem" pun banyak terjadi. Para anak yang menjadi korban kekerasan di tengah keluarga mereka sendiri. Mungkin masih ada yang terjebak dalam kawin paksa padahal masih tergolong belia. Dan masyarakat di sekitar korbannya bersikap tak acuh dan tetap diam meski melihat ketidakadilan demi menjunjung norma kesopanan. (Masih ingat kisah Angeline di Bali?) Ya, itu hanya salah satu.

===

Aku mungkin belumlah seperti pembaca Pram lainnya yang mampu menganalisa karya-karyanya sampai kekedalaman sejarah dan lain sebagainya.

Membaca karya Pram bagiku lebih seperti kesempatan untuk flashback ke masa lalu. Beberapa kisahnya seperti memiliki kedekatan dengan saya secara personal di masa lalu.

Beberapa kali saya harus berhenti sebentar, mengalihkan pandangan dari buku dan lantas ‘ditarik’ ke masa silam. Terkadang, saya juga berhenti membaca demi memvisualisasikan pedihnya hati tokoh dalam cerita itu. Berusaha turut merasakan penderitaan dan hancurnya pengharapan mereka.
Kisah yang mengangkat kemuraman seperti ini, rasa-rasanya akan memiliki kedekatan personal dengan pembacanya.
Sebab, satu yang pasti, bahwa “mengalami sengsara dan kehilangan pengharapan, adalah tahapan yang sangat mungkin dirasakan tiap manusia, pada suatu waktu di dalam perjalanan hidupnya.

#AyoMembaca. 
#Pestabaca2016 nomor 4

Salam hangat. 

Minggu, 21 Februari 2016

Perjalanan Pertama ke Pulau Penjalin, Pulau Tak Berpenghuni di Anambas

Hari masih pagi saat kami tiba di Kota Tarempa, Ibukota Kepulauan Anambas, Provinsi Kepri. Hawa yang lumayan segar langsung terasa. Dermaga yang tidak terlalu besar itu tampak mulai ramai. Banyak orang yang turun dari kapal. Beberapa tukang panggul hilir mudik menawarkan jasa untuk membawa barang bawaan penumpang. 

Kami tak langsung turun dari kapal. Sambil menggendong tas ransel besar masing-masing, kami naik ke bagian ruang kemudi kapal. Memadang dari geladak sambil mengambil beberapa foto.

Panorama yang baru sekali itu kulihat membuat kantukku segera menguap. Sisa-sisa penat akibat perjalanan naik kapal selama hampir 20 jam dari Tanjungpinang pun terasa langsung hilang melihat kontur pulau yang sebagian besar berupa perbukitan dan ditumbuhi jutaan pohon aren itu.



Dari dermaga, kami berjalan kaki menuju Tarempak Beach. Penginapan yang hanya berjarak beberapa ratus meter dan terletak langsung menghadap ke pantai. Kami hanya check in dan menaruh tas-tas berat di dalam kamar.

“Setelah ini siapkan baju untu basah-basahan ya. Kita akan main ke pulau,” aba-aba dari Ditto, anggota Humas Pelni yang menemani kami saat media tour bersama Pelni naik KM Bukit Raya ke Anambas, beberapa waktu lalu.

Celana panjang langsung berganti dengan celana pendek, kami bergegas keluar dari penginapan.  Dengan menumpang dua kapal cepat, kami “berlayar” sambil menyapukan pandangan ke sekeliling Anambas.

Sejauh pandangan mata, yang tampak hanya gugusan pulau-pulau yang tak putus-putus. Pulau itu rata-rata punya batuan raksasa seperti yang jamak ditemui di pantai Belitung. Aku penasaran sebenarnya untuk melihat pulau-pulau tersebut.

Sayangnya kami tak sempat singgah ke pulau-pulau itu karena harus mengejar waktu supaya tidak pulang terlalu sore. Kapal cepat masih terus melaju menuju ke arah utara.


“Selamat datang di Pulau Penjalin,” kata Yusmadi, Sekretaris Dinas Pariwisata Kebudayaan Pemuda dan Olahraga Kepulauan Anambas setelah menempuh perjalanan sekitar 45 menit - 1 jam.

Hmm, ini toh pulau Penjalin. Bentuk pulau yang melengkung mengingatkan pada setting pantai di film The Beach yang dibintangi Leonardo DiCaprio. Tekstur pasirnya yang putih sangat lembut ibarat tepung bikin ingin berguling-guling di atasnya.

Pulau ini adalah pulau terluar Indonesia yang berbatasan dengan Malaysia, Singapura dan Vietnam. Dia ibarat sebuah kolam renang raksasa karena kondisinya ombaknya yang relative tenang.




Saat kami tiba, gerimis mendadak turun. Kami berteduh sejenak di semacam bale-bale yang sudah hampir lapuk. Tak ada rumah penduduk karena memang pulau ini tak berpenghuni.

Gerimis reda, kami menyalakan perapian. Aroma ikan bakar segera memenuhi hidung. Tak perlu bumbu yang aneh-aneh dan komplit. Cukup kecap manis dan cabe rawit.

Dipadu manis dan pedas cabe rawit, benar-benar juara. Rasanya sangat lezat karena ikannya memang segar. Satu ikan ukuran besar dalam sekejap ludes saya santap sambal duduk-duduk di atas pasir putih dan memandang ke laut yang hijau turkois. (Apalagi makannya bareng sama abang itu, eh #abaikan intermezo).


Puas makan ikan bakar, saya nyebur ke laut. Tak perlu snorkeling jauh-jauh, hanya berenang sekitar lima meter dari bibir pantai, saya sudah menemukan terumbu karang alami dan ikan-ikan yang cantik.

Airnya sagat jernih. Di pantai itu ombak dan arus dalam airnya sangat tenang. Berbeda dengan pengalaman sebelumnya ketika snorkeling di Bali, Sabang ataupun di salah satu pantai di Sorong, Papua. Mungkin karena Pulau Penjalin berjarak tak terlalu jauh dari gugusan pulau-pulau lain.

Saya menikmati bercengkrama dengan ikan warna-warni dan bintang laut warna biru. (ini sih saya bercengkrama di dalam pikiran :D) . Beberapa belas menit mengapung-apung, saya kembali ke tepi pantai, mencomot ikan bakar yang masih tersisa sambil bercengkrama. Sebelum pulang, saya sempatkan nyebur sekali lagi ke laut yang airnya terasa dingin.

Bagi saya yang masih menikmati lautan dengan sebatas snorkeling (karena sedikit trauma waktu diving di Pulau Weh, Sabang), sejauh ini Pulau Penjalin masih jadi juara. Panoramanya ciamik. 

“Kayaknya seru di sini buat prewed dan bulan madu ya,” kata salah satu teman saya yang juga blogger travel ternama di tanah air.
Ini foto Pulau Penjalin yang versi pro. Indah bukan? Lokasi kami ada di sebelah kiri yang ada tumpukan batu-batu itu. :D (Foto by Barry Kusuma, dipinjam dari koleksi Dinas Pariwisata)

Yah, mungkin ada yang berminat? Saya sih lebih pengen camping di sana jika ada kesempatan datang lagi.

Sabtu, 13 Februari 2016

Kucing Abu-abu yang Menunggu di Depan Pintu


Kucing itu mengintip dari celah daun pintu yang kubiarkan terbuka sedikit. Kedua kaki depannya ditekuknya, lalu dia duduk di depan pintu. Tak dinampakkannya seluruh badannya padaku. Hanya kaki dan sebagian kepalanya yang terlihat dari posisiku yang sedang duduk bersandar di dinding, 50 cm dari pintu.

Huss, kataku mengusirnya. Kupikir dia akan takut pada suara manusia. Tapi kucing abu-abu itu bergeming. Dia tetap duduk. Kugoyangkan daun pintu dan berlagak mengusirnya,  kucing itu masih tetap diam. Hanya matanya yang dipicingkannya sedikit. 

Sudahlah, pikirku. Mungkin dia tertarik karena mencium aroma cumi-cumi yang jadi santap siangku. Sambil makan, aku perhatikan raut wajah kucing itu. Dia seperti menunggu. Polahnya tetap tenang, tanpa berusaha memaksa masuk ke kamar. Dia seperti cukup optimistis bahwa aku akan merelakan sejumput makananku baginya.

Tapi pikiranku melayang-layang. Aku sebenarnya tidak terlalu suka kucing. Stigma yang melekat bahwa kucing itu suka mencuri. Dan aku sangat benci pada pencuri. Kucing itu juga manja. Senang sekali dia bermanja-manja. Kucing juga arogan. Yah, setidaknya itu yang kulihat dari beberapa kucing peliharaan ibuku.

Meski tidak terlalu suka, bukan berarti benci. Ya setidaknya, setiap kali pulang kampung aku menyempatkan memberi makan kucing-kucing ibuku. Membiarkan mereka berkeliaran di dalam rumah. Hanya pada malam hari kucing tersebut tidak diperbolehkan menginap di ruang tamu.

Dari kucing-kucing ibu di kampung, pikiranku kembali ke kucing abu-abu, tamu tak diundang di depan rumahku. Terjadilah percakapan monolog di dalam pikirakanku.

“Barangkali dia sedang lapar. Baiklah kuberikan dia sedikit cumi-cumi ini.”

“Kalau kau memberikan sekali, dia akan ketagihan. Dia akan datang dan datang lagi, lalu kau akan dibuat repot.”

“Ya belum tentu juga, toh aku juga jarang makan siang di rumah.”

“Mungkin bukan siang, tapi bisa pagi atau malam. Kan kucing-kucing liar banyak sekali di rumah ini. Satu kau beri sekarang, besok yang lain akan datang.”

“Jadi kalau begitu, apa yang harus kulakukan. Aku kasihan. Mungkin dia punya anak yang harus disusui. Mungkin dia sedang hamil. Atau dia mungkin belum makan apa-apa seharian?”

“Makan sajalah dulu. Kucing itu manja. Kau kan pernah dengar kata orang-orang tua dahulu, mereka melarang bayinya terlalu sering digendong, sebab kalau dia jadi manja akan menyusahkan. Kau dengar juga kan, jika pengemis di jalanan kau berikan uang sekali, mereka akan semakin manja dan tidak berpikir untuk berusaha.”

“Loh, kenapa jadi merembet ke mana-mana. Kucing ya kucing, pengemis ya pengemis. Itu berbeda. Aku memang lebih sering menolak memberikan uang dan lebih memilih memberikan makanan. Jika mereka bekerja atau katakanlah menjual sesuatu, lebih baik membeli dagangannya. Itu akan membuat mereka lebih merasa punya harga diri dan semaki termotivasi.”

“Nah itu kamu tahu. Lagi pula, memangnya masih cukup lauk dan nasimu untuk kau berikan? Kau kan tadi ingin menyisakannya untuk makan malam untuk menghemat pengeluaranmu.”

“Kucing tentu berbeda dengan manusia. Lagipula, aku tak tahu benarkah pemikiran yang kupegang selama ini? Kenapa kita harus berpikir kalau memberi akan membuat manja dan semakin menyusahkan? Kenapa harus menahan menyisihkan sedikit hanya karena mengkhawatirkan masa depan?”

“Maksudmu bagaimana?”

“Iya, aku mempertanyakan kenapa aku harus mendengarkanmu saat ini. Hal-hal yang kau sebut itu sering menghambatku setiap kali aku merasa tergerak akan sesuatu.”

“Oke, kalau begitu, lakukanlah apa yang kau mau. Apa yang akan kau perbuat?”

Kucing abu-abu itu masih duduk di depan pintu. Tak berani dia masuk, mungkin dia sadar ia hanyalah tamu tak diundang.

Aku melihat nasi di piringku. Ternyata sudah mau habis. Tapi masih ada sisa cumi-cumi beberapa potong lagi. Sayur kangkung juga masih ada. Ku sendok sedikit nasi putih dari ricecooker. Memang nasi yang ku masak kubatasi untuk makan siang dan malam. Kutinggalkan secukupnya untuk jatah makan malamku.

Semua lauk dan sayur yang masih tersisa kuaduk di piring. Nanti masih bisa beli lauk malam, pikirku. Kupotong-potong cuminya agar lebih mudah dimakan. Sambil mencampurkannya kulirik ke pintu. Ternyata kucing abu-abu sudah tidak terlihat di sana.

Aku tak tau siapa namanya, jadi kupanggil saja dia meong. Meong-meong, kataku agak kencang.
Tak ada tanda-tanda si kucing akan kembali. Ku cari ke tangga, tidak ada. Ku cari ke balkon, juga tidak di sana. Dia tidak ada di bawah jemuran. Tak ada di garasi di lantai 1. Tak ada di lorong-lorong kamar. Aku mendadak lesu. Terbersit sedikit penyesalan.

“Kenapa terlalu lama aku mendengarkan pikiran daripada bertindak spontan?” 


Warung Buncit. 

Aku Ingin Jadi Pembaca yang Rakus



Aku berharap sekali bisa menjadi pembaca yang dengan rakus melahap segala macam literatur. Hari-hari terakhir, aku berusaha kembali menanamkan kebiasaan lama. Kebiasaan membawa buku dalam tas dan sebisa mungkin membukanya, kapanpun ada waktu.

Saat-saat menunggu di halte bus, dalam perjalanan, di kamar kos, di kamar mandi. Dulu kebiasaan baik itu sempat kulakoni. Saat masih bekerja di Medan. Dengan pola pekerjaan di perusahaan swasta yang rutinitasnya sudah terpola, aku bisa menyelipkan waktu membaca saat di angkot. Kemudian di jam-jam tertentu saat klien sedang sepi, aku mengeluarkan buku, koran, majalah atau apapun yang terjangkau mata dan tangan.

Semakin banyak membaca, semakin banyak yang tidak aku pahami. Saat itu, aku dan temanku, Ingrid suka membahas buku yang baru kami baca. Cuma sekedar saling sharing poin2 yang kami rasa menarik. 

Dulu, semakin banyak membaca, aku juga menjadi semakin rakus membeli buku. Berhubung tempat kerjaku saat itu ada di mal terbesar di Medan (ketika itu), kami selalu tahu jika ada promo buku murah. Tak sungkan kami mengobrak-abrik buku obral di dalam rak.

Maklum, dengan gaji yang sangat terbatas waktu itu, kami akan lebih bergembira setiap kali ada obral. Dengan Rp100.000 – Rp200.000, kami sudah bisa membawa pulang banyak buku. Begitulah, sampai-sampai aku menyadari kecepatanku membaca buku ternyata kalah dengan kecepatanku membeli buku. (ini jelas tak pantas ditiru)

Sekarang, aku merindukan kembali ke masa-masa tersebut. Oh, bukan. Maksudku, merindukan diriku yang dulu yang tahan membaca dalam berbagai kondisi.

Sekarang, kau taulah. Sejak zaman gadget yang seperti magnet dan menempel hampir 25 jam sehari (oke, ini berlebihan), cukup sulit untuk meluangkan waktu membaca (ada yang setuju?). Tapi tidak ada yang mustahil. Pasti bisa. Apalagi, entah kenapa, sinyal di kosku akhir-akhir ini tidak karuan sehingga hpku menjadi semakin jarang connected ke internet. Ya ini ada untungnya juga. Syukurlah. Ini seperti mendukung keinginanku untuk lebih mengalihkan perhatian dari hp ke buku bacaan.

Aku ingin menjadi pembaca yang rakus. Rakus di sini maksudku bukan rakus dalam membeli (maklumlah, kondisi isi kantongku masih kembang kempis dengan sejuta rencana di kepala harus pintar-pintar membaginya). Yang kumaksud, yaitu tadi, melahap bacaan dari berbagai jenis aliran, dari berbagai bidang, dari berbagai zaman.

Aku sudah memasang target berapa buku yang harus kuhabiskan tahun 2016 ini. Sudah kucatat pula buku apa yang harus ku buru ketika memiliki uang sisa. Semoga saja sedikit demi sedikit target tersebut bisa tercapai. 

Kenapa harus menjadi pembaca yang rakus? Karena aku merasa belakangan menjadi semakin bodoh. Semakin unmotivated. Semakin kurang bergairah dan seperti tak punya arah. Nah, dengan sedikit memulai kembali membaca beberapa buku, aku dapat merasa semangatku perlahan –lahan mulai bangkit lagi. Kalian setuju kan, setiap selesai membaca rasa-rasanya level semengat kita akan bertambah. Semoga dengan semakin rakus membaca, pikiranku dapat kian tercerahkan. 

Soal bagaimana buahnya nanti, ya kita lihat saja. Tentunya akupun berharap ada buah dalam karya nyata. Kata orang, ada korelasi yang baik antara membaca dengan menulis. Semoga saja begitu nanti. Kalau sudah terealisasi, akan kusampaikan padamu nanti, di kemudian hari. 

Konsekuensi dari keinginanku ini, aku pasti akan lebih banyak menyendiri lagi. Mungkin tak akan terlalu sering nongkrong bareng lagi. Atau ngobrol ngalor ngidul lagi. Tak apalah. Toh aku sudah terbiasa (dan sudah terlalu lama) sendiri. (Eh, ini bagian akhirnya kok kayak lagu yaa) hahahaha.
 
Selamat Bermalam Minggu.


Percayalah, ini hanya akting.. hehehe.. (Foto by: Femi Diah)