Rabu, 06 Agustus 2014

67 Tahun Hari Bakti TNI AU: Pagi Terasa Senang, Sore Berganti Duka

Betapa hatiku takkan pilu,
Telah gugur pahlawanku.
Betapa hatiku tak akan sedih,
Hamba ditinggal sendiri.

Telah gugur pahlawanku,
Tunai sudah janji bakti.
Gugur satu tumbuh s'ribu,
Tanah air jaya sakti.



Yogyakarta-Instrumen "Gugur Bunga" itu terus mengalun dimainkan grup pemusik berseragam biru. Nadanya liris. Wajah peziarah tertekuk menahan haru. Harum melati menyelimuti indera penciuman. Lalu ingatan pun dipaksa mundur.

Selasa 29 Jiuli 1947, saat matahari belum bersinar, deru pesawat sudah membisingi Lanud Maguwo. Tiga unit pesawat milik TNI AU, yang didapat dengan cara mempermak pesawat peninggalan Jepang yang sudah rusak, berhasil diterbangkan tepat pukul 05.00 pagi.

Misi pagi itu adalah membalas perbuatan Belanda. Saat itu bau perang masih sangat kentara meskipun status Indonesia sudah merdeka.

Tiga pesawat itu berupa satu unit pesawat Guntai dan dua pesawat Cureng, pesawat kecil yang hanya muat dua orang. Mereka ditugaskan oleh pimpinan AURI membalaskan serangan pesawat-pesawat militer Belanda pada delapan hari sebelumnya di wilayah Jawa dan Sumatera.

Sebanyak 400 kilogram bom diangkut oleh pesawat Guntal yang dipiloti Mulyono yang membawa air gunner Dulrachman. Arah tujuannya ke Semarang. Di belakangnya menyusul dua unit pesawat Cureng yang dipiloti Sutardjo Sigit dan Suharmoko Harbani.

Pesawat itu juga membawa bom 50 kg yang digantung di masing-masing sayapnya, dan peti-peti berisi bom bakar. Bom-bom dijatuhkan. Tangsi-tangsi militer Belanda yang ada di Semarang, Ambarawa, dan Salatiga mereka porak porandakan dengan bom yang ada.

Pagi itu rasa senang dan bangga merebak ke tiap sanubari insan pertiwi. Keharuan sangat terasa karena para pejuang yang masih berstatus KAdet Udara I alias pelajar di sekolah pilot itu kembali dengan selamat. Misi operasi udara pertama berhasil, meski saat itu mereka belum punya pengalaman terbang dalam operasi tempur udara.

Bahkan pesawat yang digunakan juga tanpa uji kelaikan, tanpa lampu penerangan dan radio komunikasi, yang ada hanya lampu senter. Landasan udara Maguwo juga tak punya penerangan. Bekal para prajurit hanya rasa cinta pada tanah air.

Sayang seribu sayang, rasa senang itu tak bertahan lama. Belanda yang sudah diserang ternyata sangat marah dan balas menyerang. Siang harinya satu unit pesawat terdengar berputar-putar di atas langit Yogyakarta. Mereka mencari “markas” penyembunyian tiga pesawat tempur yang ternyata disimpan dengan cara ditutupi pakai pohon dan daun-daun kelapa.

Karena tak dapat, pesawat Dakota VT-CLA menjadi korban. Pesawat yang terbang untuk misi kemanusiaan itu membawa obat-obatan sumbangan Palang Merah Malaya untuk PMI jadi sasaran tembak dua pesawat pemburu milik Belanda, P-40 Kitty Hawk.

Rasa suka cita pada pagi hari berubah jadi duka mendalam sore hari. Tiga orang perintis AURI, A. Adisutjipto, Abdul Rachman Saleh, Adi Soemarmo Wirjokusumo yang juga ikut dalam pesawat Dakota tewas seketika. Pesawat yang mereka tumpangi jatuh di selatan Yogyakarta, tepatnya di desa Ngoto, Bantul.

67 tahun berlalu. Dua peristiwa bersejarah pada 29 Juli, itu kini selalu diperingati setiap tahunnya. Awalnya hari kematian Bapak Penerbangan Indonesia itu dikenang sebagai Hari Berkabung AURI. Namun mulai 28 Juni 1962 diubah menjadi Hari Bakti AURI.

Peringatannya dilakukan setiap tahun oleh seluruh warga TNI secara terpusat di Lanud Maguwo yang kini telah berganti nama jadi Lanud Adisutjipto. Rangkaian kegiatannya selalu dimulai dengan ziarah ke monumen Ngoto.

Monumen yang kini diganti nama jadi Monumen Perjuangan TNI AU itu didirikan persis di lokasi jatuhnya pesawat. Di sana juga disemayamkan empat jenazah, yakni pahlawan Adisutjipto dan Abdulrachman Saleh beserta istri mereka.

6 Agustus 2014. 67 tahun Hari Bakti TNI AU. Musik masih terus mengalun perlahan. Peziarah yang dimulai dari KASAU Marsekal TNI Ida Bagus Putu Dunia meletakkan untaian bunga melati di atas pusara hitam. Lalu anak Adisutjipto dan anak Abdul Rachman Saleh yang rambutnya sudah terlihat memutih juga menaburkan bunga mawar merah.

Aroma melati kuat terasa. Walau tak ada yang menangiskan kematian, hati kami masih diliputi haru akan jasamu wahai pahlawan.