Dalam buku ‘Soe Hok-Gie, Sekali Lagi; Buku, Pesta dan Cinta
di Alam dan Bangsanya’ Rudy Badil membongkar ingatannya tentang percakapan
terakhir dengan Soe. Ketika itu, di Puncak Semeru, Selasa, 16 Desember 1969,
hari belum terlalu gelap.
Namun, karena kondisi darurat, cuaca yang sedang buruk yakni
gerimis dan berkabut, tim pendaki dari Mahasiswa Pecinta Alam (Mapala), Fakultas
Sastra UI buru-buru turun dari 3.676 meter di atas permukaan laut, puncak
Mahameru.
Rudy menyapa Soe Hok Gie yang sedang duduk termenung. Yang disapa
malah menyempatkan menitipkan batu dan daun cemara untuk teman-teman perempuannya.
“Nih gue titip ya, ambil dan bawa pulang
batu Semeru , batu dari tanah tertinggi di Jawa. Simpan dan berikan ke
cewek-cewek,” kata Luky Badil mengutip ucapan Hok-Gie ketika itu.
Teman sependakian lainnya, Wiwiek alias Wijana juga sempat
ngobrol dengan Soe. “Wiek bawa ke Jakarta daun cemara ini, itu daun cemara dari
hutan tertinggi di di Pulau Jawa kasih buat cewek-cewek kita di kampus
Rawamangun,” kata dia sambil menitipkan sejumput daun cemara.
Ternyata itu adalah obrolan mereka yang terakhir kalinya
Hok-Gie sebelum dia ditemukan tewas. Entah wanita mana yang ia maksud ketika
mengatakan “cewek-cewek”. Yang jelas, Soe Hok-Gie pria intelek aktivis 1966
memang dikenal punya banyak teman akrab mahasiswi sastra UI.
Pada tahun-tahun terakhir hidupnya, ada tiga wanita yang
akrab dengan Soe, yakni Kartini Pandjaitan, Luki Sutrisno Bekti, dan juga Nessy
Luntungan Rambitan. Kartini Pandja
Luki Sutrisno Bekti, sudah dekat dengan Soe sejak 1967-1969.
Dia menyebut Hok-Gie adalah orang yang menyenangkan dan sangat perhatian pada
banyak orang, sehingga ia sering jadi tempat curhat. Bagai seorang dokter yang
buka praktek, orang harus bikin janji dulu jika ingin bicara serius dengan dia.
Pria kurus cungkring bermata cipit ini ternyata selain
piawai di kancah politik dan sastra budaya, ia juga dikenal sangat humanis.
Kepeduliannya yang tinggi membuatnya punya banyak teman.
“Dia orang yang pandai mendengarkan dan menanggapi keluh
kesah teman-temannya, teman curhat yang baik. Teman perempuan maupun laki-laki
tak sungkan curhat pada Hok-Gie,” ujar Luki Bekti seperti dimuat di buku ‘Soe
Hok-Gie, Sekali Lagi; Buku, Pesta dan Cinta di Alam dan Bangsanya’.
Sosok Soe, di tengah kesibukannya yang segudang, tetap sabar
dan penuh perhatian. “Kadang saya bepikir bagaimana Hok-Gie bisa membagi waktu
dan perhatiannya buat begitu banyak permasalahan, politik, sosial, budaya dan
terutama untuk begitu banyak orang. Dan setiap orang merasa menerima perhatian
yang besar dari Hok-Gie,” kata dia lagi.
Selain curhat, Hok-Gie juga biasanya dicari karena pandai
dan tidak pelit membagi ilmu. Bagi temannya ia bagaikan ensiklopedi berjalan,
tempat bertanya banyak hal mulai dari mata kuliah, sejarah, sastra, hingga
persoalan cinta.
Namun, sampai kini, “cewek-cewek” yang mendapat titipan batu
dan daun cemara Gunung Semeru dari Soe Hok Gie itu masih tetap jadi misteri.
*Mengenang 44 Tahun Kematian Soe Hok Gie
WarungBuncit, 16 Desember 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar