Jumat, 19 Desember 2014

14 Quote Keren dari Basuki "Ahok" Tjahaja Purnama


Tahu Gubernur DKI Jakarta Basuki "Ahok" Tjahaja Purnama itu kan? Pria berkacamata minus dan sering terlihat galak kalau di media itu bisa sangat ramah loh. 
Nah, suatu saat dia memberikan ceramah di depan siswa SMA Santa Laurensia, Tangerang. Dia juga memberikan banyak petuah-petuah bagi kalangan muda. 
Berikut ini kusarikan pesan dan petuah dia untuk Anda para pembaca.

1. Harapan Saya Anak Generasi Muda, Anda Kalau Mau Sukses, Enggak Ada Pilihan. Harus Hidup Disiplin!
2. Disiplin Belajar, Disiplin Olahraga, Disiplin Makan.
3. Kalau Anda Mau Kreatif dan Keluarin Ide-Ide di Luar Pikiran Orang, Anda Harus Baca Kitab Suci.
4. Mau Kreatif, Baca Kitab Suci!
5. Anda Mau Kreatif, Harus Terkoneksi dengan Sang Kreator!
6. Sudah Tidak Ada Pilihan Lain!
7. Tiap Hari Mesti Baca!
8. Kalau Terus Baca Kitab Suci, Bisa Lebih Berakal Budi Dari Tua-tua di Rumah Ibadah.
9. Kalau Terus Baca Kitab Suci, Bisa Lebih Berhikmat dan Berpengertian Daripada Orang yang Lebih Tua dan Musuh-Musuh Anda.
10. Kalau Beli HP Kamu Harus Baca Buku Manualnya Biar Bisa Dioptimalkan, Manusia Pun Sama. Kitab Suci Adalah Manual Booknya Maka Harus Dibaca Biar Manusia Bisa Berfungsi Maksimal.
11. Harapan Saya Kalian Mau Jadi Politisi!
12. Minimal Jadi Pengusaha dan Politisi Yang Baik!
13. Jika Sistem Demokrasi, Enggak Kita Pilih Orang Baik, Maka Yang Enggak Baik yang Berkuasa.
14. Jika Ada Panggilan, ya Siapkan Diri!


Semoga bermanfaat.

Balai Kota. Jumat 19 Desember 2014





Jumat, 12 Desember 2014

500 Hari-Hari Summer & Tom Merusak Imajinasiku




“People change. Feelings change. It doesn’t mean that the love once shared  wasn’t true and real. It simply means that sometimes when people grow, they grow apart.”
 
Lima ratus hari-hari seorang wanita bernama Summer itu merusak imajinasiku Di akhir kisah cerita Tom dan Summer, narrator pria bersuara. Katanya, semua kejadian di bumi tak lebih dari sekedar kebetulan.
500 Days of Summer. Tiba-tiba saja film tentang pertemuan seorang laki-laki dan perempuan itu ditutup dengan menyisakan tanya besar soal cinta dan percintaan.
Film, yang baru selesai ku tonton semalam padahal sudah diputar sejak 2009, itu menyatakan tak ada keajaiban. Tak ada takdir. Tak ada energi kosmik yang akan membawamu pada orang yang ditakdirkan bersinggungan dengan hidupmu.
Ini bertentangan benar dengan apa yang ada dalam pikiranku, bahwa tak ada yang kebetulan. Bahwa ada peran besar sang creator yang mengaturnya. Bahwa tak ada satu pun yang terjadi tanpa sepengetahuan sang pencipta.
Sejak lama ku pahami bahwa hidup itu berarti perjalanan untuk menemukan mozaik-mozaik yang terserak. Mozaik itu sudah ada, tapi perlu usaha untuk menemukannya. Memang ada pilihan. Tapi pilihan hanya bicara soal jalan mana yang akan ditempuh.
Aku tak setuju bahwa semua kebetulan. Aku seperti melihat diriku dalam Tom, bukan Summer apalagi sang narator. Hei, tapi mungkinkah aku juga hanyalah korban seorang lagu pop, puisi, film dan novel saja???  

#yangsudahpengalamansilaberkomentar :D



Jumat, 05 Desember 2014

Ibuku, Omakku.

Kerutan mulai terlihat jelas di wajahnya yang tak lagi kenyal. Wajar saja. Usianya sudah memasuki 62 tahun dan sepanjang itu pulalah wanita itu bekerja keras menjalani hidupnya di dunia. Sebagai anak ke 4 dari 6 bersaudara, sebagai istri, sebagai ibu dari lima anak.

Wanita itu kupanggil Omak, sebutan Ibu dalam bahasa Batak. Dia wanita yang melahirkan aku, sebagai anak keempat yang lahir dari buah rahimnya. Menjalani kehidupan sebagai ibu dari lima anak tentu tak mudah. Tanpa pembantu, dia melakukan segala pekerjaannya sendiri.

Meski kerepotan, sejak aku mulai bisa mengingat, tak pernah ku lihat ibuku berdiam diri di rumah. Dia membereskan kebutuhan kami sehari-hari di rumah sekaligus menjalani “karirnya”. Ibuku berprofesi sebagai pedagang kacang ke pesta-pesta.

Pagi-pagi, dia bangun pukul 04.00 WIB. Ibarat sulap, dalam sekejap dia bisa menyelesaikan semua tugas-tugas rumah tangga. Ketika kami bangun, biasanya ibu duduk di perapian. Perapian kayu yang banyak asapnya. Di situ dia memanggang kacang tanahnya. Kadang sambil duduk terkantuk-kantuk.

Bila sudah matang, diajaknya aku mengangkat kacang itu dari perapian. Kemudian, dia masih menyempatkan menyisir rambut kami yang keriting berantakan. Merapikan dinas merah putih kami. Lalu memberikan segelas air tajin, sesuatu yang kami sebut sebagai susu beras.

“Minum ini ya. Biar kalian pintar. Yang rajin sekolah, kalian harus sampai sarjana biar enggak bodoh,” tukasnya suatu pagi, sambil menyodorkan segelas air tajin yang sudah dicampur gula.

Kami tak terlalu tahu saat itu apa khasiat dari pemberiannya itu. Bagi kami itu hanya satu bentuk kepahitan lantaran tak bisa membeli susu formula dari sapi yang mahal.

Pernah sekali, wanita yang tak pernah memoles wajahnya dengan lisptik dan bedak itu, marah besar padaku. Dia sangat kesal lantaran aku menolak pergi ke sekolah.  Alasanku saat itu karena uang jajan yang diberikan terlalu sedikit.

Uang kertas yang diberikannya pecahan Rp 500, saat itu sebenarnya sudah bisa membeli satu mangkuk mi yang enak. Aku yang masih duduk di kelas 2 SD merengek, sambil menyobek-nyobek uang bergambar monyet itu.

Tiba-tiba wanita yang kukenal jarang marah itu naik pitam. Jejak-jejak sapu lidi pun sukses menempel di betisku yang mungil. Itu kali pertama kuingat ibuku marah.

Soal sekolah, dia memang tak mau tawar menawar. Berulang kali disebutnya cita-citanya adalah ingin anak-anaknya semua mencicipi sekolah, hingga ke tingkat maksimal yang dia mampu.

“Aku tak mau kalian seperti aku. Kalau bisa janganlah kalian menjadi buruh tani seperti aku, yang harus mencangkul dan menanam padi hingga punggung jadi bungkuk,” ucapnya lirih, suatu malam saat menemani kami belajar pakai lampu minyak.

Saat itu ada aku dan adikku yang kini sudah almarhum. Adapun tiga abang-kakakku yang umurnya terpaut lumayan jauh sudah sekolah tingkat SMA dan dititipkan di rumah saudara.

Begitulah. Wanita Batak boru Panjaitan yang bertubuh kurus mungil itu terus bekerja keras. Menjadi buruh tani, menjunjung kacang dagangannya ke pesta-pesta adat, dan menabung mati-matian untuk uang sekolah anaknya.
Tatkala satu per satu anaknya mulai mampu mengenyam pendidikan tinggi, dendamnya telah terbayarkan. Dendam pada kemiskinan dan kebodohan lantaran tak bisa sekolah di jaman penjajahan.

“Aku memang tak tamat SD. Tapi dengan cangkulku, aku bisa menyekolahkan kalian sampai sarjana bahkan S2. Aku sudah merasa ikut menjadi seorang sarjana,” tuturnya lembut sambil mengelus kepalaku saat hari kelulusan dulu.

Bahagia terpancar jelas di wajahnya saat itu. Tak sia-sia dia membanting tulang, terpanggang panas matahari.

Kulihat kerutan itu makin tampak jelas di kulitnya. Tak hanya dahi, tapi pipi, dagu, tangan. Semua kerutan itu menyimpan rekam jejak kegigihannya saat berjuang untuk lima anak-anaknya. Kini tubuhnya makin bungkuk, kakinya tak lagi kuat berjalan jauh.

Ah ibu, masih tak kunjung ada yang bisa kubanggakan untuk menebus jerih payahmu.