Senin, 22 Februari 2016

Cerita dari Blora - Pramoedya Ananta Toer




"Engkau harus berani bercerita tentang hancurnya pengharapan. Orang harus berani merasakan penderitaan orang lain. Kesenangan? Kesenangan adalah tanda bahwa kematian mulai meraba jiwa manusia."

"Dalam pengembaraan di dalam hutan itu ada juga aku berpikir pikir tentang penderitaan. Dan aku berpendapat bahwa penderitaan itu adalah isi dari keangkaraan. Keangkaraan adalah ruang yang menyediakan tempat buat penderitaan itu."

"Biarlah. Dari pengalaman2 pahit ini, aku mendapat pelajaran - kita semua bisa mengatasi semua ini bila bisa menghilangkan diri sendiri. Anggaplah diri sendiri tak ada, dan segala kesengsaraan pun jadi tak ada."

===

Dibandingkan dengan puluhan (mungkin ratusan?) karya Pram lainnya, buku ini rasanya tidak terlalu populer. Saya sempat melihat-lihat di media sosial dan sangat jarang yang mengunggah foto buku ini.

Kutipan pertama yang kuketik di atas, tampaknya adalah curahan hati Pram sendiri-- yang dijuluki pengarang humanis dalam kadar tinggi-- yang disampaikan dengan meminjam tokoh seorang pengarang dalam kisah "Hadiah Kawin".

Dalam buku setebal 324 halaman ini, Pram menyajikan kisah para korban penindasan, kekerasan dan kekuasaan yang sewenang-wenang. Mengajak orang lain masuk ke sudut terdalam di pikiran para tokoh di dalam 11 cerita pendek yang dia buat.

Kisah Cerita dari Blora ditulis dengan setting pada masa Revolusi. Problematik sosial di kampungnya 65 tahun lalu itu, rasa-rasanya masih relevan dengan kondisi saat ini.

Bisa kita lihat sendiri, meskipun Indonesia telah merdeka, masih banyak jiwa-jiwa yang tertindas di Tanah Air mereka sendiri. Banyak orang yang dikucilkan seperti dalam kisah "Anak Haram". Menderita tertekan akibat hal yang dipilihnya secara sadar maupun atau status2 sosial yang bukan pilihannya (siapa yang dapat memilih untuk dilahirkan dari rahim tertentu?).

Masih banyak juga orang yang mengalami kondisi seperti dalam "Pelarian yang Tak Dicari". Terjebak dalam profesi-profesi yang bertentangan dengan norma-norma umum karena dorongan berbagai faktor, semisal kondisi perekonomian.

Kisah "Inem" pun banyak terjadi. Para anak yang menjadi korban kekerasan di tengah keluarga mereka sendiri. Mungkin masih ada yang terjebak dalam kawin paksa padahal masih tergolong belia. Dan masyarakat di sekitar korbannya bersikap tak acuh dan tetap diam meski melihat ketidakadilan demi menjunjung norma kesopanan. (Masih ingat kisah Angeline di Bali?) Ya, itu hanya salah satu.

===

Aku mungkin belumlah seperti pembaca Pram lainnya yang mampu menganalisa karya-karyanya sampai kekedalaman sejarah dan lain sebagainya.

Membaca karya Pram bagiku lebih seperti kesempatan untuk flashback ke masa lalu. Beberapa kisahnya seperti memiliki kedekatan dengan saya secara personal di masa lalu.

Beberapa kali saya harus berhenti sebentar, mengalihkan pandangan dari buku dan lantas ‘ditarik’ ke masa silam. Terkadang, saya juga berhenti membaca demi memvisualisasikan pedihnya hati tokoh dalam cerita itu. Berusaha turut merasakan penderitaan dan hancurnya pengharapan mereka.
Kisah yang mengangkat kemuraman seperti ini, rasa-rasanya akan memiliki kedekatan personal dengan pembacanya.
Sebab, satu yang pasti, bahwa “mengalami sengsara dan kehilangan pengharapan, adalah tahapan yang sangat mungkin dirasakan tiap manusia, pada suatu waktu di dalam perjalanan hidupnya.

#AyoMembaca. 
#Pestabaca2016 nomor 4

Salam hangat. 

Minggu, 21 Februari 2016

Perjalanan Pertama ke Pulau Penjalin, Pulau Tak Berpenghuni di Anambas

Hari masih pagi saat kami tiba di Kota Tarempa, Ibukota Kepulauan Anambas, Provinsi Kepri. Hawa yang lumayan segar langsung terasa. Dermaga yang tidak terlalu besar itu tampak mulai ramai. Banyak orang yang turun dari kapal. Beberapa tukang panggul hilir mudik menawarkan jasa untuk membawa barang bawaan penumpang. 

Kami tak langsung turun dari kapal. Sambil menggendong tas ransel besar masing-masing, kami naik ke bagian ruang kemudi kapal. Memadang dari geladak sambil mengambil beberapa foto.

Panorama yang baru sekali itu kulihat membuat kantukku segera menguap. Sisa-sisa penat akibat perjalanan naik kapal selama hampir 20 jam dari Tanjungpinang pun terasa langsung hilang melihat kontur pulau yang sebagian besar berupa perbukitan dan ditumbuhi jutaan pohon aren itu.



Dari dermaga, kami berjalan kaki menuju Tarempak Beach. Penginapan yang hanya berjarak beberapa ratus meter dan terletak langsung menghadap ke pantai. Kami hanya check in dan menaruh tas-tas berat di dalam kamar.

“Setelah ini siapkan baju untu basah-basahan ya. Kita akan main ke pulau,” aba-aba dari Ditto, anggota Humas Pelni yang menemani kami saat media tour bersama Pelni naik KM Bukit Raya ke Anambas, beberapa waktu lalu.

Celana panjang langsung berganti dengan celana pendek, kami bergegas keluar dari penginapan.  Dengan menumpang dua kapal cepat, kami “berlayar” sambil menyapukan pandangan ke sekeliling Anambas.

Sejauh pandangan mata, yang tampak hanya gugusan pulau-pulau yang tak putus-putus. Pulau itu rata-rata punya batuan raksasa seperti yang jamak ditemui di pantai Belitung. Aku penasaran sebenarnya untuk melihat pulau-pulau tersebut.

Sayangnya kami tak sempat singgah ke pulau-pulau itu karena harus mengejar waktu supaya tidak pulang terlalu sore. Kapal cepat masih terus melaju menuju ke arah utara.


“Selamat datang di Pulau Penjalin,” kata Yusmadi, Sekretaris Dinas Pariwisata Kebudayaan Pemuda dan Olahraga Kepulauan Anambas setelah menempuh perjalanan sekitar 45 menit - 1 jam.

Hmm, ini toh pulau Penjalin. Bentuk pulau yang melengkung mengingatkan pada setting pantai di film The Beach yang dibintangi Leonardo DiCaprio. Tekstur pasirnya yang putih sangat lembut ibarat tepung bikin ingin berguling-guling di atasnya.

Pulau ini adalah pulau terluar Indonesia yang berbatasan dengan Malaysia, Singapura dan Vietnam. Dia ibarat sebuah kolam renang raksasa karena kondisinya ombaknya yang relative tenang.




Saat kami tiba, gerimis mendadak turun. Kami berteduh sejenak di semacam bale-bale yang sudah hampir lapuk. Tak ada rumah penduduk karena memang pulau ini tak berpenghuni.

Gerimis reda, kami menyalakan perapian. Aroma ikan bakar segera memenuhi hidung. Tak perlu bumbu yang aneh-aneh dan komplit. Cukup kecap manis dan cabe rawit.

Dipadu manis dan pedas cabe rawit, benar-benar juara. Rasanya sangat lezat karena ikannya memang segar. Satu ikan ukuran besar dalam sekejap ludes saya santap sambal duduk-duduk di atas pasir putih dan memandang ke laut yang hijau turkois. (Apalagi makannya bareng sama abang itu, eh #abaikan intermezo).


Puas makan ikan bakar, saya nyebur ke laut. Tak perlu snorkeling jauh-jauh, hanya berenang sekitar lima meter dari bibir pantai, saya sudah menemukan terumbu karang alami dan ikan-ikan yang cantik.

Airnya sagat jernih. Di pantai itu ombak dan arus dalam airnya sangat tenang. Berbeda dengan pengalaman sebelumnya ketika snorkeling di Bali, Sabang ataupun di salah satu pantai di Sorong, Papua. Mungkin karena Pulau Penjalin berjarak tak terlalu jauh dari gugusan pulau-pulau lain.

Saya menikmati bercengkrama dengan ikan warna-warni dan bintang laut warna biru. (ini sih saya bercengkrama di dalam pikiran :D) . Beberapa belas menit mengapung-apung, saya kembali ke tepi pantai, mencomot ikan bakar yang masih tersisa sambil bercengkrama. Sebelum pulang, saya sempatkan nyebur sekali lagi ke laut yang airnya terasa dingin.

Bagi saya yang masih menikmati lautan dengan sebatas snorkeling (karena sedikit trauma waktu diving di Pulau Weh, Sabang), sejauh ini Pulau Penjalin masih jadi juara. Panoramanya ciamik. 

“Kayaknya seru di sini buat prewed dan bulan madu ya,” kata salah satu teman saya yang juga blogger travel ternama di tanah air.
Ini foto Pulau Penjalin yang versi pro. Indah bukan? Lokasi kami ada di sebelah kiri yang ada tumpukan batu-batu itu. :D (Foto by Barry Kusuma, dipinjam dari koleksi Dinas Pariwisata)

Yah, mungkin ada yang berminat? Saya sih lebih pengen camping di sana jika ada kesempatan datang lagi.

Sabtu, 13 Februari 2016

Kucing Abu-abu yang Menunggu di Depan Pintu


Kucing itu mengintip dari celah daun pintu yang kubiarkan terbuka sedikit. Kedua kaki depannya ditekuknya, lalu dia duduk di depan pintu. Tak dinampakkannya seluruh badannya padaku. Hanya kaki dan sebagian kepalanya yang terlihat dari posisiku yang sedang duduk bersandar di dinding, 50 cm dari pintu.

Huss, kataku mengusirnya. Kupikir dia akan takut pada suara manusia. Tapi kucing abu-abu itu bergeming. Dia tetap duduk. Kugoyangkan daun pintu dan berlagak mengusirnya,  kucing itu masih tetap diam. Hanya matanya yang dipicingkannya sedikit. 

Sudahlah, pikirku. Mungkin dia tertarik karena mencium aroma cumi-cumi yang jadi santap siangku. Sambil makan, aku perhatikan raut wajah kucing itu. Dia seperti menunggu. Polahnya tetap tenang, tanpa berusaha memaksa masuk ke kamar. Dia seperti cukup optimistis bahwa aku akan merelakan sejumput makananku baginya.

Tapi pikiranku melayang-layang. Aku sebenarnya tidak terlalu suka kucing. Stigma yang melekat bahwa kucing itu suka mencuri. Dan aku sangat benci pada pencuri. Kucing itu juga manja. Senang sekali dia bermanja-manja. Kucing juga arogan. Yah, setidaknya itu yang kulihat dari beberapa kucing peliharaan ibuku.

Meski tidak terlalu suka, bukan berarti benci. Ya setidaknya, setiap kali pulang kampung aku menyempatkan memberi makan kucing-kucing ibuku. Membiarkan mereka berkeliaran di dalam rumah. Hanya pada malam hari kucing tersebut tidak diperbolehkan menginap di ruang tamu.

Dari kucing-kucing ibu di kampung, pikiranku kembali ke kucing abu-abu, tamu tak diundang di depan rumahku. Terjadilah percakapan monolog di dalam pikirakanku.

“Barangkali dia sedang lapar. Baiklah kuberikan dia sedikit cumi-cumi ini.”

“Kalau kau memberikan sekali, dia akan ketagihan. Dia akan datang dan datang lagi, lalu kau akan dibuat repot.”

“Ya belum tentu juga, toh aku juga jarang makan siang di rumah.”

“Mungkin bukan siang, tapi bisa pagi atau malam. Kan kucing-kucing liar banyak sekali di rumah ini. Satu kau beri sekarang, besok yang lain akan datang.”

“Jadi kalau begitu, apa yang harus kulakukan. Aku kasihan. Mungkin dia punya anak yang harus disusui. Mungkin dia sedang hamil. Atau dia mungkin belum makan apa-apa seharian?”

“Makan sajalah dulu. Kucing itu manja. Kau kan pernah dengar kata orang-orang tua dahulu, mereka melarang bayinya terlalu sering digendong, sebab kalau dia jadi manja akan menyusahkan. Kau dengar juga kan, jika pengemis di jalanan kau berikan uang sekali, mereka akan semakin manja dan tidak berpikir untuk berusaha.”

“Loh, kenapa jadi merembet ke mana-mana. Kucing ya kucing, pengemis ya pengemis. Itu berbeda. Aku memang lebih sering menolak memberikan uang dan lebih memilih memberikan makanan. Jika mereka bekerja atau katakanlah menjual sesuatu, lebih baik membeli dagangannya. Itu akan membuat mereka lebih merasa punya harga diri dan semaki termotivasi.”

“Nah itu kamu tahu. Lagi pula, memangnya masih cukup lauk dan nasimu untuk kau berikan? Kau kan tadi ingin menyisakannya untuk makan malam untuk menghemat pengeluaranmu.”

“Kucing tentu berbeda dengan manusia. Lagipula, aku tak tahu benarkah pemikiran yang kupegang selama ini? Kenapa kita harus berpikir kalau memberi akan membuat manja dan semakin menyusahkan? Kenapa harus menahan menyisihkan sedikit hanya karena mengkhawatirkan masa depan?”

“Maksudmu bagaimana?”

“Iya, aku mempertanyakan kenapa aku harus mendengarkanmu saat ini. Hal-hal yang kau sebut itu sering menghambatku setiap kali aku merasa tergerak akan sesuatu.”

“Oke, kalau begitu, lakukanlah apa yang kau mau. Apa yang akan kau perbuat?”

Kucing abu-abu itu masih duduk di depan pintu. Tak berani dia masuk, mungkin dia sadar ia hanyalah tamu tak diundang.

Aku melihat nasi di piringku. Ternyata sudah mau habis. Tapi masih ada sisa cumi-cumi beberapa potong lagi. Sayur kangkung juga masih ada. Ku sendok sedikit nasi putih dari ricecooker. Memang nasi yang ku masak kubatasi untuk makan siang dan malam. Kutinggalkan secukupnya untuk jatah makan malamku.

Semua lauk dan sayur yang masih tersisa kuaduk di piring. Nanti masih bisa beli lauk malam, pikirku. Kupotong-potong cuminya agar lebih mudah dimakan. Sambil mencampurkannya kulirik ke pintu. Ternyata kucing abu-abu sudah tidak terlihat di sana.

Aku tak tau siapa namanya, jadi kupanggil saja dia meong. Meong-meong, kataku agak kencang.
Tak ada tanda-tanda si kucing akan kembali. Ku cari ke tangga, tidak ada. Ku cari ke balkon, juga tidak di sana. Dia tidak ada di bawah jemuran. Tak ada di garasi di lantai 1. Tak ada di lorong-lorong kamar. Aku mendadak lesu. Terbersit sedikit penyesalan.

“Kenapa terlalu lama aku mendengarkan pikiran daripada bertindak spontan?” 


Warung Buncit. 

Aku Ingin Jadi Pembaca yang Rakus



Aku berharap sekali bisa menjadi pembaca yang dengan rakus melahap segala macam literatur. Hari-hari terakhir, aku berusaha kembali menanamkan kebiasaan lama. Kebiasaan membawa buku dalam tas dan sebisa mungkin membukanya, kapanpun ada waktu.

Saat-saat menunggu di halte bus, dalam perjalanan, di kamar kos, di kamar mandi. Dulu kebiasaan baik itu sempat kulakoni. Saat masih bekerja di Medan. Dengan pola pekerjaan di perusahaan swasta yang rutinitasnya sudah terpola, aku bisa menyelipkan waktu membaca saat di angkot. Kemudian di jam-jam tertentu saat klien sedang sepi, aku mengeluarkan buku, koran, majalah atau apapun yang terjangkau mata dan tangan.

Semakin banyak membaca, semakin banyak yang tidak aku pahami. Saat itu, aku dan temanku, Ingrid suka membahas buku yang baru kami baca. Cuma sekedar saling sharing poin2 yang kami rasa menarik. 

Dulu, semakin banyak membaca, aku juga menjadi semakin rakus membeli buku. Berhubung tempat kerjaku saat itu ada di mal terbesar di Medan (ketika itu), kami selalu tahu jika ada promo buku murah. Tak sungkan kami mengobrak-abrik buku obral di dalam rak.

Maklum, dengan gaji yang sangat terbatas waktu itu, kami akan lebih bergembira setiap kali ada obral. Dengan Rp100.000 – Rp200.000, kami sudah bisa membawa pulang banyak buku. Begitulah, sampai-sampai aku menyadari kecepatanku membaca buku ternyata kalah dengan kecepatanku membeli buku. (ini jelas tak pantas ditiru)

Sekarang, aku merindukan kembali ke masa-masa tersebut. Oh, bukan. Maksudku, merindukan diriku yang dulu yang tahan membaca dalam berbagai kondisi.

Sekarang, kau taulah. Sejak zaman gadget yang seperti magnet dan menempel hampir 25 jam sehari (oke, ini berlebihan), cukup sulit untuk meluangkan waktu membaca (ada yang setuju?). Tapi tidak ada yang mustahil. Pasti bisa. Apalagi, entah kenapa, sinyal di kosku akhir-akhir ini tidak karuan sehingga hpku menjadi semakin jarang connected ke internet. Ya ini ada untungnya juga. Syukurlah. Ini seperti mendukung keinginanku untuk lebih mengalihkan perhatian dari hp ke buku bacaan.

Aku ingin menjadi pembaca yang rakus. Rakus di sini maksudku bukan rakus dalam membeli (maklumlah, kondisi isi kantongku masih kembang kempis dengan sejuta rencana di kepala harus pintar-pintar membaginya). Yang kumaksud, yaitu tadi, melahap bacaan dari berbagai jenis aliran, dari berbagai bidang, dari berbagai zaman.

Aku sudah memasang target berapa buku yang harus kuhabiskan tahun 2016 ini. Sudah kucatat pula buku apa yang harus ku buru ketika memiliki uang sisa. Semoga saja sedikit demi sedikit target tersebut bisa tercapai. 

Kenapa harus menjadi pembaca yang rakus? Karena aku merasa belakangan menjadi semakin bodoh. Semakin unmotivated. Semakin kurang bergairah dan seperti tak punya arah. Nah, dengan sedikit memulai kembali membaca beberapa buku, aku dapat merasa semangatku perlahan –lahan mulai bangkit lagi. Kalian setuju kan, setiap selesai membaca rasa-rasanya level semengat kita akan bertambah. Semoga dengan semakin rakus membaca, pikiranku dapat kian tercerahkan. 

Soal bagaimana buahnya nanti, ya kita lihat saja. Tentunya akupun berharap ada buah dalam karya nyata. Kata orang, ada korelasi yang baik antara membaca dengan menulis. Semoga saja begitu nanti. Kalau sudah terealisasi, akan kusampaikan padamu nanti, di kemudian hari. 

Konsekuensi dari keinginanku ini, aku pasti akan lebih banyak menyendiri lagi. Mungkin tak akan terlalu sering nongkrong bareng lagi. Atau ngobrol ngalor ngidul lagi. Tak apalah. Toh aku sudah terbiasa (dan sudah terlalu lama) sendiri. (Eh, ini bagian akhirnya kok kayak lagu yaa) hahahaha.
 
Selamat Bermalam Minggu.


Percayalah, ini hanya akting.. hehehe.. (Foto by: Femi Diah)

Jumat, 12 Februari 2016

Sedikit Tentang Lelaki Harimau



"Lebaran kemudian datang lagi, tapi Nuraeni tak menantinya dengan bunga-bunga di jiwa, selebihnya tak lain adalah api beku yang mengeluarkan segala kejudesannya. Ia berjanji untuk tak bertanya perihal surat dan tak hendak mendengar penjelasan macam mana pun."

Kupikir sakit hati--karena tak pernah mendapat surat yang dijanjikan oleh sang kekasih--inilah biang keroknya, sumber segala sengkarut yang di kemudian hari selalu mewarnai rumah tangganya bersama Komar.

Sakit hati berkepanjangan, rasa curiga yang dibiarkan tanpa ada penjelasan ini membuat kestabilan jiwanya jadi terganggu. Kondisi psikologisnya yang belakangan jadi terganggu akhirnya menular ke semua orang terdekatnya, suami dan anak2nya.

Celakanya, hampir semua tokoh yang di buku ini suka memendam masalah dalam pikirannya. Mereka tak pernah mengkomunikasikannya, tak pernah membicarakannya. Mereka menutupi luka batinnya lewat perbuatan kasar.

Merenungkan ini membuatku sedih. Tapi bagaimanapun, kondisi ini masih banyak terjadi di dunia nyata, meski mungkin dengan tingkat kekejian yang berbeda2.

Anw, soal alur cerita yang dibuat penulisnya, menurutku sangat menarik. Dia menyampaikan adegan klimaks lebih dulu di awal cerita lalu membiarkannya menjadi misteri. Berikutnya, pembaca ditarik ke rentetan peristiwa lampau yang mempengaruhi kepribadian para tokoh. Sedikit demi sedikit, dengan berbagai kejutan, misteri itu pun terpecahkan di paragraf yang paling akhir.

Ini novel kedua Eka Kurniawan yang memikat, setelah Cantik Itu Luka. Sudah diterjemahkan ke beberapa bahasa.

#Ayomembaca
#Pestabaca2016 nomor 3

Salam.

Senin, 08 Februari 2016

Desember yang Menyenangkan



Halo, selamat malam? Apa kabar? Aku senang. Seminggu terakhir pada pekan pertama Desember lalu, adalah hari-hari yang paling membahagiakan menurutku. Kenapa? Karena pada beberapa hari itu, aku punya kesempatan mengenalmu.

Hari Senin, kita bertemu sejak pukul 10 hingga pukul 4 subuh hari Selasa. Mengobrol sepanjang waktu. Tertawa bersama. Awalnya duduk berhadap-hadapan saat masih berdua, lalu ganti posisi menjadi duduk bersisian ketika dua temanmu yang lain datang. Kita bertukar cerita. Berbagi impian. Kau menyemangatiku untuk mengambil S2 atau setidaknya meneruskan mimpi-mimpi yang dulu ada dan kini sedang redup.

Kau menceritakan beberapa bagian yang sangat penting dalam hidupmu, termasuk soal keluarga dan almarhum abang serta tentang orang tua dan adikmu yang pada akhirnya membuatmu nekat melanjutkan sekolah dan bertekad ingin lanjut sampai S3. Aku memuji tekad dan semangatmu dan mengatakan, mungkin kau kelak akan menjadi BJ Habibie kedua yang dibanggakan bangsa ini. Tampaknya kau tak terlalu suka kukatakan demikian, tapi potensimu sangat besar.

Lalu pada hari Jumat, kita bertemu mulai pukul 2 sore hingga pukul 2 dini hari. Lagi-lagi bercerita ditemani beberapa cangkir kopi di kedai kopi Giyanti. Kemudian kita pindah ke Taman Suropati, ke rumah makan Sunda di Jalan Cikini, lalu di MCD dan Burger King di Pasar Festival. Kita sharing cerita, tawa dan juga pandangan tentang hidup, musik, masa depan, serta pernikahan.

Entah mengapa, obrolan kita hari itu sedikit serius. Tapi tidak apa, aku masih menikmatinya. Hal yang sudah jarang kulakukan di tengah kehidupan dan rasa  yang kian dangkal selama empat tahun terakhir di Jakarta. Dulu aku senang melakukannya bersama sahabat-sahabat yang sudah kukenal akrab.

Dini hari kita berpisah. Aku dan temanku mengantarkanmu sampai ke kosan salah satu teman yang kau tumpangi selama beberapa hari di Jakarta. Sewaktu di jalan pulang itulah timbul sedikit penyesalan karena aku tidak mengucapkan selamat tinggal. Aku juga bahkan lupa bilang terimakasih.

Kemudian, di hari Sabtu, aku merasa belum mengucapkan terimakasih dan goodbye secara pantas sehingga kuputuskan untuk kembali menemuimu. Pukul 5 sore, aku datang ke acara perayaan Advent alumni kampusmu di salah satu gereja di bilangan Sudirman. Ku bawa dua bungkus kopi yang kau sukai dari Giyanti serta buku bacaan yang ingin kuhadiahkan kepadamu. Just a simple gift untuk merayakan hati yang senang. (Tapi belakangan ku pikir-pikir sepertinya kartu ucapan terimakasih yang kuselipkan, agak terlalu lebay ya? Haha.. Entahlah)

Hari terakhir itu kita tidak sempat berbicang banyak. Padahal sebenarnya aku ingin sekadar menyalam dan memelukmu, sambil ucapkan perpisahan. Tetapi hal itu tidak bisa kulakukan sebab saat di gereja, fansmu amat sangat banyak. Aku tahu mereka juga butuh perhatianmu, maka aku pun memilih langsung pulang.

Kau bilang kau sangat senang dan berterimakasih atas pemberian yang sederhana itu. Sebenarnya nilainya itu tidak seberapa. Tapi aku pun memberikannya dengan senang hati tanpa harapan untuk dibalas kembali. Aku senang kau mau menerimanya.

Ohya, perlu kutekankan kepada dirimu, terutama kepada diriku sendiri. Sejujurnya aku sangat berbahagia. Entah mengapa. Rasa-rasanya aku seperti bertemu teman lama yang sudah sangat kukenal. Kita bisa langsung akrab. Bahkan menghabiskan waktu berjam-jam berdua tanpa canggung. 

Diam-diam aku juga bangga mengenalmu. Ya, orang sepertimu sekarang sudah mulai langka. Pria yang tanggap, penuh insiatif. Kau juga luwes dan berpikiran terbuka. Tak sungkan menyapa orang-orang, sekalipun itu hanya supir taksi atau Kopaja yang kita tumpangi. Membantunya sebisamu memperbaiki pintu bus yang sedang nyangkut. 

Setiap kali berjalan di trotoar, aku perhatikan kau juga selalu berusaha untuk melindungi dengan cara mengambil posisi di sebelah kananku agar aku tidak terserempet kendaraan. Ketika hendak menyeberang jalan, kau mengambil posisi sebagai penuntun agar aku tidak tertabrak. Saat hendak naik ke taksi pun, kau menyempatkan membukakan pintunya.

Hei, sadarkah kau, hal-hal sederhana itu sungguh menghangatkan hati. Aku juga memperhatikanmu saat memungut kucing liar di taman Suropati lalu mengelus-ngelus kucing itu di pangkuanmu sambil bercerita tentang musik klasik, biola, serta piano yang ingin kau pelajari.

Diam-diam aku berbisik lirih di hatiku, betapa beruntungnya kucing itu. Betapa beruntungnya orang-orang yang ada di dekatmu. Semua pasti merasa aman, nyaman, bahagia. Kau adalah pria yang penuh kasih sayang.

Dari banyak pria yang menjadi temanku selama ini, kau terasa unik dan berbeda. Memang ada yang pintar main musik, ada yang pandai saat bicara tentang filsafat, ada yang pintar fotografi, ada yang senang membaca dan diskusi tentang banyak buku, ada yang asik jadi teman ngobrol sambil mengopi ataupun bir.

Tapi, bagaimana ya. Untuk menjelaskan perbedaannya, bolehlah ya aku meminjam analogi yang kau sampaikan waktu jalan kaki dari Giyanti menuju Taman Suropati.

Jika semua hal menarik yang kusebutkan itu diibaratkan bumbu dalam masakan Indonesia pada umumnya. Hanya ada satu atau dua “rasa” yang menonjol, misalnya ya pintar saja tetapi tidak terlalu peka atau tidak menunjukkan sikap bertanggungjawab.

Sementara kau adalah racikan masakan Italia yang dibuat dengan hati. Kau penuh dengan hal-hal positif itu yang keseluruhannya dapat terasa saat dicicipi. Komplit.

Kau itu berbeda dan sudah jarang ditemukan dalam peradaban, ya setidaknya dalam lingkunganku sekarang.

Itu sebabnya kehadiranmu kemarin sangat berkesan. Hanya beberapa jam yang kita habiskan bersama di Jakarta. Tetapi itu sudah cukuplah. Paling tidak, akan ada yang kuingat kelak. Bahwa jelang usiaku yang ke-27, aku pernah bahagia karena bertemu orang sepertimu.

Pria (yang entah bagaimana tiba-tiba berkacamata – kau bilang ingin menyamar sebab kau merahasiakan kedatanganmu ke Ibukota) yang pintar, asik diajak berbincang banyak hal, jago main musik, rendah hati, tidak sombong, tidak mengejar materi, matang, bertanggungjawab.

Aku juga sedikit bertanya-tanya mengapa kau mau menghabiskan waktumu berjam-jam denganku. Padahal, dari ratusan temanmu yang ada di Jakarta, aku yakin ada banyak sekali teman dekatmu yang juga ingin bersama-samamu.

Sebaliknya, aku juga heran mengapa aku juga rela-rela saja meluangkan waktu denganmu hingga dini hari dan subuh. Mungkin karena aku senang sepertinya. Semoga kau pun karena alasan yang sama dan bukan karena terpaksa. Hehe.

Dengan semua kebaikan hatimu, kehangatan dan semangat positif yang kudapatkan darimu, maka aku merasa wajib membalasnya. Itu sebabnya aku dengan sangat ringan hati, tanpa beban, ingin menghadiahkanmu sesuatu.

Buku itu kupilih sebagai makanan rohani, sedangkan kopi itu untuk jasmani. Kau bilang kau lebih suka membaca buku model Chicken Soup for The Soul. Namun, kemarin aku tidak memberikan buku kesukaanmu itu sebab aku tidak tahu yang mana yang telah atau belum kau baca. Aku tidak terlalu yakin kau menyenangi buku yang kupilih, makanya sejak awal kutekankan, kau dapat memberikannya kepada orang lain jika memang tidak terlalu suka. 

Sekali lagi kusampaikan, aku memberikannya dengan penuh sukacita. Jadi jangan berpikir aku mengharapkan atau menuntutmu memberikan timbal balik.

Saat ini aku sedang belajar untuk mencintai dalam artian yang lebih luas. Aku sedang belajar untuk menebarkan kasih sayang ke sekitarku seperti yang kau lakukan, tanpa harus berharap untuk bisa memiliki mereka yang dicintai.

Mencintai tidak harus menggenggam sekuat mungkin. Justru, katanya, upaya untuk mencintai juga harus dibareng dengan kesediaan melepaskan.

Aku juga sedang belajar untuk melepaskan kelekatan kepada pribadi atau sesuatu dan belajar untuk merasa cukup. Belajar memberi tanpa mengharapkan kembali. Memang ini sulit. Sebab pada dasarnya kedagingan itu tidak pernah merasa cukup dan selalu ingin lebih.

Padamu pun demikian. Aku berharap kau bisa berbahagia dalam tiap langkah yang menjadi pilihanmu, apapun itu. Hidup adalah petualangan, maka selamat menikmati petualanganmu.

Jika kelak di masa depan, kita bisa bertemu lagi, aku akan sangat mensyukurinya. Sebaliknya, jika ternyata tidak digariskan demikian, aku akan belajar untuk tidak bersusah hati karenanya.

Kita memang membuat janji untuk bertemu dua tahun lagi di salah satu negara, tetapi semua janji dan harapan kita hanya bisa terkabul jika memang Tuhan dan semesta alam mendukungnya.

Suratku sudah terlalu panjang, sepertinya. Sebelum kau terlalu bosan dan menahan kantukmu demi membacanya, baiklah kuakhiri sampai di sini saja.

Terimakasih telah pernah memberikan waktumu.

See you when i see you.