Selasa, 17 Desember 2013

Misteri Cewek Terakhir Soe Hok Gie dari Puncak Mahameru



Dalam buku ‘Soe Hok-Gie, Sekali Lagi; Buku, Pesta dan Cinta di Alam dan Bangsanya’ Rudy Badil membongkar ingatannya tentang percakapan terakhir dengan Soe. Ketika itu, di Puncak Semeru, Selasa, 16 Desember 1969, hari belum terlalu gelap. 

Namun, karena kondisi darurat, cuaca yang sedang buruk yakni gerimis dan berkabut, tim pendaki dari Mahasiswa Pecinta Alam (Mapala), Fakultas Sastra UI buru-buru turun dari 3.676 meter di atas permukaan laut, puncak Mahameru. 

Rudy menyapa Soe Hok Gie yang sedang duduk termenung. Yang disapa malah menyempatkan menitipkan batu dan daun cemara untuk teman-teman perempuannya. “Nih gue titip ya, ambil dan  bawa pulang batu Semeru , batu dari tanah tertinggi di Jawa. Simpan dan berikan ke cewek-cewek,” kata Luky Badil mengutip ucapan Hok-Gie ketika itu. 

Teman sependakian lainnya, Wiwiek alias Wijana juga sempat ngobrol dengan Soe. “Wiek bawa ke Jakarta daun cemara ini, itu daun cemara dari hutan tertinggi di di Pulau Jawa kasih buat cewek-cewek kita di kampus Rawamangun,” kata dia sambil menitipkan sejumput daun cemara.

Ternyata itu adalah obrolan mereka yang terakhir kalinya Hok-Gie sebelum dia ditemukan tewas. Entah wanita mana yang ia maksud ketika mengatakan “cewek-cewek”. Yang jelas, Soe Hok-Gie pria intelek aktivis 1966 memang dikenal punya banyak teman akrab mahasiswi sastra UI.

Pada tahun-tahun terakhir hidupnya, ada tiga wanita yang akrab dengan Soe, yakni Kartini Pandjaitan, Luki Sutrisno Bekti, dan juga Nessy Luntungan Rambitan. Kartini Pandja
 
Luki Sutrisno Bekti, sudah dekat dengan Soe sejak 1967-1969. Dia menyebut Hok-Gie adalah orang yang menyenangkan dan sangat perhatian pada banyak orang, sehingga ia sering jadi tempat curhat. Bagai seorang dokter yang buka praktek, orang harus bikin janji dulu jika ingin bicara serius dengan dia.

Pria kurus cungkring bermata cipit ini ternyata selain piawai di kancah politik dan sastra budaya, ia juga dikenal sangat humanis. Kepeduliannya yang tinggi membuatnya punya banyak teman.

“Dia orang yang pandai mendengarkan dan menanggapi keluh kesah teman-temannya, teman curhat yang baik. Teman perempuan maupun laki-laki tak sungkan curhat pada Hok-Gie,” ujar Luki Bekti seperti dimuat di buku ‘Soe Hok-Gie, Sekali Lagi; Buku, Pesta dan Cinta di Alam dan Bangsanya’.

Sosok Soe, di tengah kesibukannya yang segudang, tetap sabar dan penuh perhatian. “Kadang saya bepikir bagaimana Hok-Gie bisa membagi waktu dan perhatiannya buat begitu banyak permasalahan, politik, sosial, budaya dan terutama untuk begitu banyak orang. Dan setiap orang merasa menerima perhatian yang besar dari Hok-Gie,” kata dia lagi.

Selain curhat, Hok-Gie juga biasanya dicari karena pandai dan tidak pelit membagi ilmu. Bagi temannya ia bagaikan ensiklopedi berjalan, tempat bertanya banyak hal mulai dari mata kuliah, sejarah, sastra, hingga persoalan cinta.

Namun, sampai kini, “cewek-cewek” yang mendapat titipan batu dan daun cemara Gunung Semeru dari Soe Hok Gie itu masih tetap jadi misteri. 

*Mengenang 44 Tahun Kematian Soe Hok Gie
WarungBuncit, 16 Desember 2013

Soe Hok Gie yang Manis....

Kawah Jonggring  Seloko di Puncak Mahameru (puncak Gunung Semeru), meletus lagi, memuntahkan uap hitam yang menghembus membentuk tiang awan. Gerimis masih turun. Cuaca bulan desember yang memang penuh hujan. Gerimis membawa debu-debu. Dingin yang teramat sangat, seakan membekukan tulang-tulang.


Di tengah kabut, Rudy Badil bersama Maman Abdurachman alias Maman terseok. Setengah memerosot, mereka menuruni dataran lereng yang terbuka penuh pasir bebatuan. Dilihatnya sosok Soe Hok-Gie yang sudah duruan turun dari puncak, sedang duduk termenung. Gayanya khas: lutut kaki terlipat ke dada dan tangan menopang dagu.

Badil menyapa Soe. Sore itu, Selasa Pon 16 Desember 1969. Dia sebenarnya sangat ingin merayakan ulang tahunnya yang ke 27 yang jatuh pada tanggal 17 Desember, di puncak tanah tertinggi di Jawa. Tinggal beberapa jam lagi sebelum keinginannya terpenuhi. Cuaca makin buruk, bau uap belerang menyengat, menyesakkan paru-paru. Soe Hok Gie, dan rekannya, Idhan Lubis menghembuskan nafas terakhirnya di puncak gunung tertinggi.  

Hari ini, 44 tahun yang lalu, Soe Hok Gie berpulang padaNya. Walau sudah lama tiada, namanya masih dikenal dan dikenang publik sebagai sosok aktivis muda yang intelek, berani, kritis. Dia termasuk salah satu orang yang ikut andil menumbangkan Orde Lama.

Tapi, ketika rekan seperjuangannya banyak yang mulai berkompromi dan larut dalam bulan madu dengan pemerintah di Orde Baru, Soe memilih menjauhkan diri dari politik. Salah satu pernyataannya: “Bagiku sendiri politik adalah barang yang paling kotor. Lumpur-lumpur yang kotor. 
Tapi suatu saat di mana kita tidak dapat menghindari diri lagi, maka terjunlah.”

Ah, Soe Hok Gie yang manis. Dia dikenal oleh hampir semua aktivis. Tapi, andai sekarang dia masih ada, kira-kira apa yang akan dilakukannya? Akankah dia masih idealis atau menjadi apatis? 

Warung Buncit, 16 Desember 2013

Kisah Cinta Soe Hok Gie dan Mahasiswinya Boru Batak, si “Janda Gunung Ceremai”


Sosok Soe Hok-Gie sebagai inteletual yang kritis dan pencinta alam sudah banyak dikupas. Yang tak kalah menarik adalah membahas kisah cintanya. Ia memang orang yang  ‘gila’ baca, doyan sastra. Seni dan politik pun jadi ‘makanannya’ sehari-hari. Tapi selain lekat dengan buku, pesta dan seni, dia pun dikenang sebagai orang yang penuh sabar, cinta, dan perhatian, baik kepada alam maupun sesama makhluk hidup.
sumber grafis
Soal asmara, hati pria penyuka sajak dan puisi ini sempat terpaut pada beberapa gadis. Dia dekat dengan ‘kembang kampus’ di Fakultas Sastra UI, beberapa di antaranya malah berstatus sebagai mahasiswinya. Salah satu yang sempat ia taksir adalah mahasiswinya sendiri, Ker alias Kartini Sjahrir. Wanita batak bernama asli Nurmala Kartini Pandjaitan ini ia gelari “Janda Gunung Ceremai”.

Ker blak-blakan menyampaikan kisahnya dengan Gie dalam surat-suratnya di buku ‘Soe Hok-Gie, Sekali Lagi; Buku, Pesta dan Cinta di Alam dan Bangsanya’. Dia sempat protes karena namanya disamarkan jadi ‘Sunarti’ dalam buku Catatan Seorang Demonstran demi privacy.

Kar terkenang, pertama kali mereka bertemu. Hok-Gie berusia 26 tahun dan Ker 18 tahun, masih baru tamat dari sebuah SMA berasrama. Masuk dalam dunia kampus dan dekat dengan Soe yang dinamis, diumpamakan Ker membuatnya bagaikan burung yang lepas dari sangkar. 
Ker. Inang ini ternyata masih satu kampung sama ibuku, dari Hutanamora. hehehe.. sumber foto dan info

Soe kerap membuatnya terpingkal-pingkal ketika menyeletuk yang nyerempet-nyerempet urusan bawah puser. Mereka sering duduk berduaan, ngobrol, kadang di Warung Senggol UI, kadang di ruangan Soe. Ketika makan soto ayam di Salemba, Soe suka diam-diam menaruh hati ayam di mangkok Ker dan tak sungkan menghabiskan makanan sisa Ker.

“Boleh saya mengaku, saya senang kok Gie kamu makan sisa makanan saya, meskipun mungkin karena kamu lapar saja. Tapi saya melihatnya sebagai tanda kedekatan kamu,” kata Ker dalam surat terbukanya untuk Gie.

Selain makan, nonton film dan nonton pagelaran di TIM, Gie juga membawa wanitanya ini dalam petualangan. Meski dekat, ketika itu tak ada status pacaran di antara mereka, pasalnya Gie masih menaksir orang lain.

Suatu waktu pada Mei 1969, demi merayakan kaul menjadi sarjana, Gie mengajaknya mendaki gunung Ceremai. Ketika itu, menurut Ker, rambutnya yang panjang itu digulung sendiri oleh Gie supaya ia terlihat seperti laki-laki.

Pada masa-masa ini, Gie sedang galau karena wanita yang ditaksirnya menyatakan putus. Dalam kondisi patah hati, ia menjadi kacau balau. “Saya sedih melihat betapa patahnya hati kamu Gir, karena itu dengan senang hati saya bersedia menjadi “permen karet” kamu. Dengarin kamu curhat sepanjang jalan. Saya menyayangi kamu,” tulis Ker dalam surat keduanya.

Pulang dari mendaki Gunung, secara mengejutkan Gie tiba-tiba memberi gelar “janda Gunung Ceremai” kepada Ker. Entah apa maksud gelar yang diberikan Gie.  Ker juga sama sekali tak punya firasat akan datangnya maut yang menjemput Gie, tujuh bulan kemudian. Sebaliknya, ia hanya tertawa saja dengan gelar aneh itu.

Hari-hari berlanjut. Hubungan Gie dan Ker makin intens dan romantis. Juli tahun yang sama, ketika ia pulang ke Rumbai, Riau, Gie membekalinya sebuah buku harian warna biru, yang jadi sahabatnya selama mereka berjauhan. Tapi Gie juga sering menyuratinya, tentu dengan embel-embel yang kocak.

Pernah ia menempelkan kacang di dalam suratnya ketika ia bercerita tentang es kacang yang populer di rumahnya, di Kebun Jeruk. Lain waktu, aktivis yang suka mengkritik pemerintah itu juga menggambar telapak tangannya yang asli agar Ker bisa menyalaminya setiap saat.

Hubungan Ker dan Gie lebih dari teman biasa, meski tak pernah naik ke tahap lebih jauh. “Saya tahu bahwa sebenarnya kamu suka dan sayang pada saya. Tapi kamu tidak pernah berani secara terbuka mengatakan hal itu. Saya tahu dari bahasa badanmu bahwa kamu selalu ingin kita berdua dekat. Cuma kegetiran kamu pernah diputus oleh dia yang begitu kamu dambakan, membuat kamu selalu ragu-ragu,” kata Ker.

Kartini yang selalu memulai suratnya dengan kata-kata “Hok-Gieku yang manis” mulai menyadari hubungan mereka sulit diteruskan. Salah satu alasannya karena perbedaan budaya dan posisinya sebagai anak perempuan tertua dalam sebuah keluarga Batak. “Sementara kamu orang Cina, udah gitu enggak kaya, Cuma seorang intelektual, jadinya  dianggap enggak punya masa depan.”

Gie malah sempat mencomblangi Ker dengan sahabatnya sepergerakan zaman Orde Baru, Sjahrir alias Ciil. Dia sadar sahabatnya itu juga naksir pada wanita yang sama sehingga ia berkorban dan mengingkari perasaannya sendiri. Dia membujuk Ker menulis surat, yang isinya ia diktekan sendiri, untuk Ciil yang ketika itu sedang menimba ilmu di Amerika.

Ker, si Janda Gunung Ceremai pun diliputi rasa takut melihat sikap GIe yang ragu-ragu. Beda budaya, satu Batak dan satu Tionghoa, membuat Gie yang selalu berani dalam segala hal jadi melempem. Ia tak kunjung menyatakan perasaan pribadi. Malah sambil memeluk erat Ker atau memegang tangannya, ia berucap di antara mereka tak ada apa-apa. (*ini seperti kisah di film-film)

Beberapa waktu sebelum kematiannya di puncak Mahameru, Gie akhirnya berani menyatakan perasaannya pada Ker. Dia mengajaknya mendaki ke Gunung Semeru pada Desember 1969 itu, namun tidak diizinkan oleh ibunda Ker. 

“Saya menunggu saja kamu kembali dari Semeru, dan kita kembali berjalan-jalan, membuat acara yang gila-gilaan, yang lucu, dan ketika kamu kembali, Hok-Gie ku yang manis… saya … adalah gadismu,” tulisnya. 

Sayang.. Penantian Ker tak berbuah manis. Soe memang kembali dari Semeru, tapi hanya dalam bentuk tubuh yang terbujur kaku. Ah, Hok-Gie yang manis.

*Mengenang 44 Tahun Kepergian Soe Hok Gie
Warung Buncit, 16 Desember 2013


Kamis, 05 Desember 2013

Dia Dilanku (Jangan Diambil) *

Dia mengenalkanku padamu, hai Dilanku.
Sosok kekasih khayali yang kemudian jadi milik kami.

Dilan.
Kau memang pria cuek yang mencintai dengan sederhana tapi bikin wanita merasa istimewa.
Berani bertaruh, dia, dia, dia, dan wanita manapun yang mengenalmu pasti langsung terpikat.
Berbunga hatinya teringat cinta remaja.

Kau menempati relung-relung sepi jiwa mereka.
Sesekali kau menawarkan getar-getar asmara.
Tapi seringkali kali kau hanya membangkitkan bayang semu saja.

Dilan.
Boleh ku bilang kalau sekarang aku rindu padamu?
Tidak. Maksudku pada dia.
Dia Dilanku, jangan diambil.

Jakarta, 27 November 2013

* Ceritanya, suatu ketika temanku Christina mengenalkan novel "Dilanku" karya Kang Pidi Baiq. Sejak itu, kita jadi sering memperbincangkannya, saat pagi hari, saat siang jelang makan, saat sore ketika jenuh kerja, bahkan saat malam sebelum tidur. hahaha. Segitunya ya. Habis Dilan itu lucu sih (kalau tak mau dibilang aneh).
Buat yang belum tau, aku membaca Dilan di sini.

Rabu, 04 Desember 2013

Perkenalan Pertama dengan Para Penjaga Angkasa Indonesia


17 Agustus 2013. Hari masih pagi, namun aktivitas di Terminal Haji Selatan Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, telah ramai. Ratusan kru teknisi berseragam hitam dengan aksen biru di bagian lengan dan berseragam merah aksen hitam tampak lalu lalang di lapangan terminal.

Di sana terparkir rapi 14 pesawat tempur, delapan di antaranya jet tempur Sukhoi, dan enam pesawat tempur jenis F-16. Di dalam lantai dua ruangan terminal, tampak anggota TNI Angkatan Udara yang sibuk dengan pekerjaannya masing-masing.

Pukul 09.00 WIB, masing-masing pilot, dimulai dari awak Sukhoi, lalu F-16, mulai masuk ke ruangan tempat segala perlengkapan terbang dipajang. Satu per satu mereka memakai G Suit dan pelampung dibantu dengan teknisi bagian alat dan perlengkapan. Sebelum menuju pesawat, ada juga yang menyempatkan berdoa dan berwudhu sejenak.

Sekitar 20 menit kemudian, mereka menuruni tangga terminal menuju pesawat yang parkir di area landasan pacu. Satu per satu menenteng tas berisi helm dan juga masker oksigen. Tak lupa, mereka juga menyelipkan kaca mata hitam untuk menghalau silau sinar matahari yang pagi itu memang sangat terik

Satu per satu mesin pesawat tempur Sukhoi mulai dinyalakan. Suaranya mesin jet buatan Rusia itu meraung-raung bising memekakkan telinga. Siapapun yang berada di arena lapangan otomatis menempelkan tangan ke telinga atau menyumbatnya dengan peredam suara. Empat Sukhoi ambil posisi lepas landas, di susul empat lainnya, menjadi titik di ketinggian lalu menghilang di balik awan.

Setelah Sukhoi terbang, giliran awak F-16 yang turun ke landasan. Mereka berjalan berjajar dengan langkah yang seirama, bak pasukan pengibar bendera. Lettu penerbang Jaka Arastya, awak pilot F-16 yang bertugas mengurus radio komunikasi dan tak ikut terbang sibuk mengabadikan satuannya dengan kamera. “Untuk dokumentasi saja setiap ada misi terbang memang kita selalu ada foto,” kata Jaka.

Raungan pesawat kembali terdengar saat para penerbang mulai menyalakan mesin. Pukul 10.00 WIB, semua pesawat tempur sudah meluncur dari landasan menyisakan suara bising yang perlahan-lahan makin tak terdengar.

Pukul 10.55 WIB. Raungan mesin pesawat tempur terdengar menguat, pertanda jet tempur Sukhoi dan F-16 itu telah mendekat di landasan Lapangan Udara (Lanud) Halim Perdanakusuma. Pesawat tempur itu akan kembali 'masuk kandang' setelah tampil prima beratraksi menghias langit pada upacara Kemerdekaan di Istana Negara.

Ketika suara pesawat masih terdengar samar, anak-anak dan para wanita yang tadinya berada di dalam ruangan Bandara Halim satu per satu keluar. Mereka berhamburan, seakan tak mempedulikan bisingnya mesin suara pesawat atau teriknya matahari yang membakar kulit.

Rasa antusias mereka lebih tinggi daripada panas sinar matahari yang menyengat. Ibu-ibu dan anak-anak itu berdiri di tepi landasan pacu udara. Mereka menunggu pilot-pilot penerbang pesawat tempur keluar dari kokpitnya dengan gagah. Ya, penampilan mereka memang gagah, sebab dari segi postur, pilot itu reta-rata tinggi dan tegap. Ditambah lagi pesawat yang mereka bawa adalah jet tempur.

Begitu para pilot keluar, ibu-ibu dan anak-anak mendekat ke landasan pacu. Di antara mereka terlihat juga wanita berusia paruh baya yang masih terlihat penuh semangat menghampiri salah satu pilot. Rasa senang mereka terpancar jelas, dan diabadikan dengan berfoto sambil berangkulan di depan pesawat tempur. Sambutan itu tak terlalu meriah, tapi terasa hangat. Para pilot (yang gagah) itu disambut bak para selebritas.

“Setiap selesai acara, khususnya misi special ya biasanya memang selalu ada keluarga yang menyambut, jadi rasanya kita jadi kebanggaan keluarga,” kata Mayor Wanda Surijohansyah. Pilot jet tempur Sukhoi berusia 33 tahun ini buru-buru menambahkan euforia bak selebriti itu hanya terasa saat sedang di landasan pacu. “Tapi kita selebriti hanya kalau lagi ada acara saja, kalau sudah selesai ya biasa,” kata Wanda kemudian tertawa.

Ammar, 6 tahun, anak pertama Mayor Wanda, juga ikut serta menyambut ayahnya. Ia hampir "tenggelam" di antara puluhan anggota keluarga pilot lainnya. Dia ikut berlari-lari ke landasan pacu menyambut sang Ayah. “Pokoknya aku nanti kalau sudah besar ingin seperti Ayah,” tutur Ammar, bocah yang masih duduk di TKB itu dengan mimik bangga, seakan melihat sosok ayahnya sebagai seorang hero.

Di samping Ammar, ada Ayu Rasti, 31 tahun, sang Ibu. Bagi wanita ini ada kebanggaan tersendiri saat melihat suaminya pulang dari tugas. Karena itu, sebisa mungkin jika ada kesempatan ia juga menyambut suaminya di landasan pacu.

Ayu berujar menjadi istri seorang penerbang pesawat tempur kadang-kadang membuat dirinya diliputi was-was, apalagi saat suami dalam tugas. “Sebenarnya saya deg-degan juga kadang-kadang, tapi saya pasrah saja, yang penting suami sukses,” ujar dia kepada detikcom.

Menikah dengan seorang anggota militer juga membuat dia harus siap berpindah-pindah ikut suami. Wanita asal Jakarta ini mengaku ia meninggalkan pekerjaannya di bidang keuangan di Jakarta demi menyusul suami yang ditempatkan di Skuadron XI, Lanud Sultan Hasanuddin, Makassar.

Sebelumnya, ia juga menemani suaminya saat ditugaskan di Skuadron I di Pontianak pada 2003. “Semua ada risikonya, kita nikah dengan tentara, harus siap kalau ditinggal dinas karena separuh suami milik negara,” kata Ayu lagi.

Pengalamannya yakni ditinggal Wanda saat bertugas ke Rusia selama 4 bulan tahun lalu dan ditinggal latihan ke Singapura pada 2007 saat melahirkan anak pertamanya. “Tapi kebetulan Ayah saya juga profesinya sama, pilot pesawat tempur, jadi saya dari kecil sudah biasa,” ungkap Ayu.

*Versi suntingannya pernah dimuat di Detik.com, 28 Agustus 2013.

*
hmm, senang sekali ada di antara keluarga yang menyambut pilot-pilot ini, rasanya penuh haru dan berkesan. Entahlah, mungkin saya begitu terkesan pada para pilot (yang gagah dan tampak keren dengan seragam hijau dan berjalan tegap itu). yang jelas sampai beberapa bulan setelah liputan ini, rasanya saya masih bisa merasakan bisingnya deru pesawat saat akan meluncur maupun ketika sudah mendarat kembali. Lalu, berimajinasi, kira-kira kalau dapat pasangan pilot, asik juga. Meskipun, risikonya ya seperti Ibu Ayu ini, siap ditinggal dinas. Ah, pembaca yang budima, abaikan saja catatan curcol ini ya.. hehehhe
kapan-kapan saya akan posting profil salah satu pilot Sukhoi yang keren, Mayor Anton. Siapa dia? Jangan penasaran.

Kenapa ada Marah dan Cemburu?

Kenapakah hati bisa marah?
Kenapa hati bisa cemburu?
Adakah obat untuk keduanya?
Siapakah yang menciptakan rasa marah dan cemburu?
Apa tujuannya?

Kenapa datangnya kerap beriringan?
Cemburu itu tampaknya selalu mesra dengan marah. Tak bisa dipisahkan, ya?
Dan wajarkah kalau kita marah?

Mereka bilang, "jangan marah."
Yang lain bilang, "jangan cemburu."
Tapi kenapa kehadirannya sulit ditolak?
Siapakah yang berwenang mengaturnya?

Tidakkah ia tahu, kehadirannya bisa merusak ketenteraman.
Kehadirannya menghilangkan kedamaian.
Kehadirannya membuat kasih lari ketakutan.
Dan membuat sabar pun perlahan tapi pasti menjauh.

Tidakkah ia tahu, kehadirannya menjejakkan luka.

Lalu kenapa kita harus menerimanya?
Membiarkannya bertahta di hati dan pikiran kita.
Usir saja ia, kenapa rupanya?

Atau kita terlalu lemah untuk menolaknya.
Hilang daya?
Kenapa???
Di mana rasa percaya?

WarungBuncit, 4 Juli 2013 (1:08am)

Tuanku Bintang di Barat Daya

Tuanku Bintang di Barat Daya

Hei, Tuankah bintang yang selalu muncul di sebelah barat daya sejak pukul 6 sore itu?
Adakah Tuan punya nama?
Akhir-akhir ini kita kerap berjumpa.
Ya ya ya..
Saya tahu Tuan diam-diam melihat semua dari sana.
Tapi kenapa tiada boleh bersapa?
Jakarta, 21 November 2013

Dari Senja, Untukmu

Untukmu,

Halo, Apa kabar?
Apakah kamu masih di tempatmu semula?
Jika iya, cobalah berdiri sejenak.
Tengoklah ke langit barat dari jendelamu.
Iya! Lukisan jingga di langit itu, hadiahku untukmu.
Indah bukan?

Salam rindu,
Senja.


Jakarta, 19 November 2013

Ke Barat awan hitam berarak.

Ke Barat awan hitam berarak.
Geraknya lamban bagai toke buncit yang kekenyangan.
Pucuk-pucuk pencakar langit ia telan.
Dalam sekejap Jakarta jadi pekat yang bikin muak.


Jakarta, 8 November 2013

Pikiran yang Bikin Repot

Saat pikiran-pikiran negatif itu menyanderamu, membuat psikismu down, maka sangat sulit untuk bisa melihat sesuatu secara positif. Sulit untuk bisa berbuat maksimal. Sulit untuk fokus karena terlalu sibuk menganalisa makna komunikasi nonverbal orang-orang padamu. Jadinya repot sendiri.

16 September 2013

Selasa, 26 November 2013

Aku Ingin Menua Bersamamu.

Aku membayangkan kita menua bersama.
Kugamit lenganmu, lalu kita melangkah.
Berjalan bersisian kita saling menguatkan.
Kita sama-sama tau hidup ini tak mudah.

Terkadang kita tersesat,
Jalan di hadapan terjal menghadang,
Di tempat baru yang menakutkan,
Manusia-manusia egois siap mengancam.

Tapi kita tak ragu.
Kau genggam tanganku erat.
Senyummu penuh kasih mengalirkan kekuatan.
Ku tetap percaya padamu, pun kau sebaliknya.

Kita lewati hari-hari berdua,
Hingga rambut penuh uban, dan tubuh perlahan kehilangan daya.
Tak jadi soal meskipun paras remaja kita mulai bersalin keriput.
Kita bahagia.

Ah, indahnya bila tumbuh dan menua bersamamu, kekasih.

Inspired by: Sepasang manusia lanjut usia yang bertanya arah ke Pasar Minggu. Wajahnya menyiratkan kebingungan, mungkin masih baru di Jakarta. Tapi indah sekali melihat pak tua itu menggandeng erat tangan istrinya saat melangkah turun dari bus Transjakarta. :)

Pancoran, Minggu 11 Agustus 2013. (8:40pm)

Hey! Untukmu yang Di Sana

Hey! Apa kabarmu? Lama tak kudengar celotehan nakalmu yang biasanya selalu membuat terpingkal-pingkal. Atau gugusan semangat yang kau letupkan lewat kata-kata penuh inspirasi, membelah, menyebar dan menabrakkan diri untuk kemudian secara magis menumbuhkan semangat yang sama. Semua ceritamu, dari yang tak penting sampai yang teramat penting pasti kau beritahu.

Hey! Di mana kau sekarang? Dulu rasanya selalu mudah menemukanmu. Meski terpisah ruang dan waktu, dengan menitipkan pesanku pada bayu, kau pasti langsung membalas rindu. Tak perlu tunggu lama, kau pasti ada menyapa dalam tawa pun pesan penuh galau ciri khasmu.

Hey! Siapa yang ada bersamamu? Memikirkan ini membakar cemburu. Membayangkan dulu, semua ceritamu tak ada yang luput menjadi topik cerita kita, termasuk kekasih-kekasih khayalanmu. Dulu, itu biasa, karena semua itu, tak peduli ada ataupun tiada, tak pernah membuatmu lantas menjauh.

Hey! Kenapa kau menjauh? Dulu, tiba-tiba saja kau dekat, entah apa yang membawamu merapat. Sekarang, angin mana yang membawa kapalmu menjauh, tak tau. Kau berlayar, tanpa kabar, tak berjejak. Andaisaja kau beritahu, ombak ganas mana yang menghempaskan kapalmu. Adakah kau telah karam di kedalaman laut biru?

Hey! Ribuan pesan telah kukirimkan. Kutitip pada bayu yang sama dengan yang senantiasa membelaimu, sejuk. Pada bintang gemintang nun jauh di sana, yang kerap kau pandangi dari jendela kamarmu. Sebagai sahabat senantiasa ku yakin mereka kan setia, dan ku harap kau sedia tuk sekejap mendengar pesannya, bahasa kalbuku.

Hey! Jika kau berkenan pun enggan kembali, titipkan jualah pada bayu dan bintang yang sama. Aku yakin mereka kan bercerita.


*Warung Buncit, 4 Februari 2012 (12:26am)

Pecundang Kala Petang

Apa yang kau harapkan dari sepotong senja?
Saat semua yang kau kerjakan terasa sia-sia.

Pagi-pagi kau sudah bergegas ingin menyelesaikan sisa tugas semalam.
Kau berjanji bangun lebih awal lalu mulai menebarkan jala.

Penantianmu berbuah hasil, tapi bukan buah yang manis dan ranum.
Tak apalah, pikirmu, sambil berharap masih ada buah kedua, ketiga dan seterusnya.

Lalu matahari mulai bergeser.
Dia menelan bayanganmu sendiri hingga tak bersisa di jalan setapak.
Kau pun berjalan, setengah berlari, menahan perih di perutmu yang merintih.

Mentari bergeser ke barat, kau ke selatan.
Anak-anak cahaya berlesakan. Ia hampir meninggalkanmu.

Pada akhirnya ia memang meninggalkanmu.
Kau menantinya, berharap ia kembali lagi.

Matahari makin berlari ke Barat.
Kau mulai gusar tak kunjung bertemu yang dinanti.
Asamu pun mulai menguap tak terkendali.

Hei.
Langit sudah mulai gulita.
Entah pada siapa akan kau alamatkan kecewa.
Kau pun hanya bisa menahan gemeletuk gigi-gigimu yang penuh amarah.

Setengah gila kau berlari.
Tapi sekejap kau datang lagi.
Berharap ada keajaiban di sisa petang hari.

Eh, tapi, apakah yang kau harapkan pada sepotong petang?
Petang yang membuatmu merasa seperti pecundang!

Kantor Wali Kota Jakarta Selatan- 2 Oktober 2013 (7:34pm)

Tak Berjudul

Ayah atau Ibumu.
Dia yang paling ingin kau bahagiakan.
Dia juga orang yang paling mungkin membuatmu sedih tak berkesudahan.

Biasanya dia selalu menjadi sumber energimu. Yang membuatmu bercahaya dan tegak menatap dunia.

Lalu suatu kali energinya padam, ia hanyut dalam nestapa.
Kau ingin mengembalikan energinya tapi kau sendiri pun hilang pegangan.
Tak kuasa kau bertahan.

Maka kau pun ikut tersapu dalam kegelapan.
Tak ada lagi terang yang jadi mercusuarmu.
Tak lagi ada pandu kemana kau akan melabuh.

Warungbuncit, 3 Oktober 2013. (4:10pm)

Surat-surat kita

Tadi pagi kita bersurat
Di dalamnya kuselipkan harap
Semoga semesta bersepakat.
Agar kita bisa seatap.

**
Katamu kau sedang menuliskan surat
Isinya sajak-sajak yang menggugat.
Kau tanya, "kenapa malamku selalu pekat"

**
Suatu petang kau datang
"Mampukah kau mencintaiku walau bintangku tak benderang?"
Tak ada kata, hanya anggukan senang.

OTW Jatibening, 5 Oktober 2013 (7:34pm)

Berakhir Pekan di Museum

Tadi pagi habis berenang (Cieee. maksudnya cebur-cebur main air. Hehe), akhirnya kesampaian juga rencana kami nonton teater "Tenggelamnya Kapal Tek Sing" oleh Teater Koma di Museum Nasional Indonesia.

Jumlah penontonnya banyak, rata-rata usia sekolah. Ada yg datang sendiri, ada yg rame-rame dari sekolahnya. Beberapa guru murid dan orangtua yg juga terlihat mendampingi. Kami duduk melantai di lantai 4 gedung baru museum itu.

Pementasan sepanjang 15-20 menit itu berlangsung interaktif. Anak-anak tertawa riang. Sesekali muka mereka serius sambil mencatat poin-poin penting di kertasnya.

Pentas teater itu kurasa menarik. Paling tidak ini cara alternatif untuk mengajar sejarah (dan dongeng) pada anak-anak agar tidak monoton. Selain itu anak-anak juga bisa mengenal seni teater sejak muda.

Nah, efek positif lainnya yakni bonding antara ibu-anak-guru bs lebih erat. Untuk jangka panjang, (mudah-mudahan) bisa menumbuhkan minat berkunjung ke museum. Bagus kan ya?

Kalau pementasan teater sudah selesai, anak-anak (dan orangtua, terutama ibu2) bs ikut workshop bikin aneka kerajinan tangan, seperti merajut, origami, bikin boneka mini (gak tau istilahnya), melukis mainan, banyak lagi. Pokoknya menarik. Satu kunjungan ke museum bs dapat ilmu banyaakk.

Ya, kurasa acara begitu lebih baiklah, daripada anak-anak itu diajak ke mall saja tiap akhir pekan. Semoga saja bs digelar rutin.

(Andai di kampung saya juga dulu ada yang beginian.. :D)

Warung Buncit, November 24, 2013

Jumat, 15 November 2013

Teater Koma, IBU: Ibu Pemberani dari Masa Perang



Ibu B'rani berjalan sendiri. foto by: Image Dynamics
Wanita itu bernama Ibu Brani. Di tengah perang yang sarat dengan mesiu, kelaparan, daging yang sudah berbelatung serta bau kematian, dia justru mencium peluang bisnis. Dia mengambil untung dari tengah perpecahan yang terjadi di negaranya tanpa memedulikan kehancuran dan kebobrokan yang terjadi.

Ibu Brani menarik gerobak berisi barang-barang dagangan lalu hidup berkelana bersama ketiga anaknya. Sikapnya dingin. Malah ia berharap perang tak pernah berakhir dan menyumpahi perdamaian yang menurutnya merugikan usahanya.

Tak peduli siapa lawan dan kawan, ia gampang memihak siapa saja pemenang perang. Baginya persoalan itu semudah mengganti bendera di gerobaknya. Seperti namanya, ia juga tak pernah gentar menghadapi tentara. Tapi saat dua putranya Elip dan Keju Swiss direkrut menjadi tentara, Ibu Brani mulai bimbang.
Ibu B'rani bersama ketiga anaknya - Foto by: Image Dynamics
Namun sisi kemanusiaannya sebagai ibu yang tak berdaya tampak jelas ketika Keju Swiss ditangkap musuh dan hampir di dor di depan matanya. Dia dilema betul antara memilih ambisi pribadi dan terpaksa tidak mengakui Keju Swiss sebagai anak demi menyelamatkan dirinya. Namun tragis baginya, dua putranya dan Katrin, putrinya yang tuna wicara, akhirnya tewas karena perang. 

Itulah lakon teater Koma bertajuk ‘Ibu’ yang berlatar belakang perang di wilayah Eropa selama 30 tahunan pada abad 17. Karya dramawan Jerman BErtolt Brecht (1898-1956) ini aslinya berjudul Mutter Courage und ihre Kinder (Mother Courage and Her Children).

Nano Riantiarno, sutradara sekaligus pemilik Teater Koma menyadurnya kembali dan mengadaptasinya menjadi rasa Indonesia. Percampuran Jerman dan Indonesia disajikan lewat kostum, lagu, juga ornament seperti padi, tebu, terong, bawang, cabe, ketela, ubi kayu yang ada di pentas. Selain itu istilah dan nama pemain yang juga disesuaikan dengan lidah Indonesia. 
Kisah perang berbau agama di Eropa itu memang bisa dibilang jauh dari Nusantara, dari segi waktu pun dari segi masalah. Namun persoalan perang ini ditarik menjadi perang yang bisa terjadi di mana pun, terutama yang menyangkut kekuasaan. Penonton diajak merenungkan apakah memang ada yang benar-benar meraih untung dalam perang?
Foto by: Image Dynamics

Dalam konteks kekinian, lakon ini diarahkan pada pemilu 2014 yang menurut Nano, juga termasuk ‘perang’ dalam bentuk berbeda. Maka “Ibu” tak lagi sekedar ibu biologis tapi dipersonifikasikan dalam makna yang lebih luas, bisa menjadi Negara dengan rakyatnya. “Siapakah Ibu kita sekarang ini??? ini pertanyaan yang sungguh serius, kata Nano.

**
Jumat (1 Nov) kemarin, atas kebaikan hati temanku, Imaniuri, aku bisa menonton lakon berjudul “Ibu’. Aku kegirangan dan langsung meluncur ke TIM begitu dapat BBM konfirmasi dari dia. Tak pedulilah aku harus menonton sendirian dan kenyataan terpaksa pulang pukul 12 malam. Yang penting aku terhibur dan bisa melihat pertunjukan idola. 

Foto by: Image Dynamics
Ini adalah ketiga kalinya aku menonton Teater Koma. Pertama kali Sie Jin Kwie di Negeri Sihir (2012), Sampek Engtay (Maret 2013). Di luar itu, aku juga beruntung bisa menikmati pementasan Gandamayu (Teater Garasi-2012), dan Sang Kuriang (Paduan Suara Parahyangan diangkat dari naskah musikal karya alm. Utuy Tatang Sontani – Feb 2013).

Sebagai orang yang masih baru terhitung jari menonton teater, aku tak bisa memberikan banyak kritik, selain rasa senang dan takjub saja menyaksikan Teater Koma. Aku tak akan menganalisanya dari segi seni dan tetek bengeknya. Sebab aku masih sangat awam dalam hal itu. Yang dapat kukatakan aku selalu terkesima setiap kali pulang menonton pertunjukan mereka. Aku puas dengan akting, dengan musik dan lagunya, dengan tata cahaya panggung dan keserasian gerak pemainnya. 

Kelompok Teater yang genap berusia 37 tahun pada Maret 2014, seakan sudah memberikan jaminan di balik namanya. Karya pertunjukan mereka selalu berkualitas. Soal akting dalam lakon Ibu, Sari Madjid memang top. Bayangkan, naskah dia sebagai Ibu Brani mencakup 80 halaman dari total 100 halaman naskah drama dua babak itu. J Belum lagi belasan lagu lainnya yang harus dia hapal lirik dan nadanya. Tapi pemain kawakan seperti Rita Matu Mona, Budi Ros, Dorias PRibadi, Alex Fatahillah, Daisy Lantang, Supartono JW juga tampil maksimal.
Sari Madjid - Foto by: Image Dynamics
Oh ya, satu lagi aku juga suka dengan narasi dan lagunya yang sarat makna. Teater Koma memang dikenal suka menyelipkan kritik-kritik pedas di dalam dialognya. Tapi penonton juga sering dibuat terpingkal oleh dialog atau aksi yang jenaka. Kalau minat, lekaslah ke TIM, Jakarta. Pentas karya ke 131 Teater Koma ini masih berlangsung setiap hari hingga 17 November :)

Warung Buncit, 15 November 2013