Selasa, 17 Desember 2013

Kisah Cinta Soe Hok Gie dan Mahasiswinya Boru Batak, si “Janda Gunung Ceremai”


Sosok Soe Hok-Gie sebagai inteletual yang kritis dan pencinta alam sudah banyak dikupas. Yang tak kalah menarik adalah membahas kisah cintanya. Ia memang orang yang  ‘gila’ baca, doyan sastra. Seni dan politik pun jadi ‘makanannya’ sehari-hari. Tapi selain lekat dengan buku, pesta dan seni, dia pun dikenang sebagai orang yang penuh sabar, cinta, dan perhatian, baik kepada alam maupun sesama makhluk hidup.
sumber grafis
Soal asmara, hati pria penyuka sajak dan puisi ini sempat terpaut pada beberapa gadis. Dia dekat dengan ‘kembang kampus’ di Fakultas Sastra UI, beberapa di antaranya malah berstatus sebagai mahasiswinya. Salah satu yang sempat ia taksir adalah mahasiswinya sendiri, Ker alias Kartini Sjahrir. Wanita batak bernama asli Nurmala Kartini Pandjaitan ini ia gelari “Janda Gunung Ceremai”.

Ker blak-blakan menyampaikan kisahnya dengan Gie dalam surat-suratnya di buku ‘Soe Hok-Gie, Sekali Lagi; Buku, Pesta dan Cinta di Alam dan Bangsanya’. Dia sempat protes karena namanya disamarkan jadi ‘Sunarti’ dalam buku Catatan Seorang Demonstran demi privacy.

Kar terkenang, pertama kali mereka bertemu. Hok-Gie berusia 26 tahun dan Ker 18 tahun, masih baru tamat dari sebuah SMA berasrama. Masuk dalam dunia kampus dan dekat dengan Soe yang dinamis, diumpamakan Ker membuatnya bagaikan burung yang lepas dari sangkar. 
Ker. Inang ini ternyata masih satu kampung sama ibuku, dari Hutanamora. hehehe.. sumber foto dan info

Soe kerap membuatnya terpingkal-pingkal ketika menyeletuk yang nyerempet-nyerempet urusan bawah puser. Mereka sering duduk berduaan, ngobrol, kadang di Warung Senggol UI, kadang di ruangan Soe. Ketika makan soto ayam di Salemba, Soe suka diam-diam menaruh hati ayam di mangkok Ker dan tak sungkan menghabiskan makanan sisa Ker.

“Boleh saya mengaku, saya senang kok Gie kamu makan sisa makanan saya, meskipun mungkin karena kamu lapar saja. Tapi saya melihatnya sebagai tanda kedekatan kamu,” kata Ker dalam surat terbukanya untuk Gie.

Selain makan, nonton film dan nonton pagelaran di TIM, Gie juga membawa wanitanya ini dalam petualangan. Meski dekat, ketika itu tak ada status pacaran di antara mereka, pasalnya Gie masih menaksir orang lain.

Suatu waktu pada Mei 1969, demi merayakan kaul menjadi sarjana, Gie mengajaknya mendaki gunung Ceremai. Ketika itu, menurut Ker, rambutnya yang panjang itu digulung sendiri oleh Gie supaya ia terlihat seperti laki-laki.

Pada masa-masa ini, Gie sedang galau karena wanita yang ditaksirnya menyatakan putus. Dalam kondisi patah hati, ia menjadi kacau balau. “Saya sedih melihat betapa patahnya hati kamu Gir, karena itu dengan senang hati saya bersedia menjadi “permen karet” kamu. Dengarin kamu curhat sepanjang jalan. Saya menyayangi kamu,” tulis Ker dalam surat keduanya.

Pulang dari mendaki Gunung, secara mengejutkan Gie tiba-tiba memberi gelar “janda Gunung Ceremai” kepada Ker. Entah apa maksud gelar yang diberikan Gie.  Ker juga sama sekali tak punya firasat akan datangnya maut yang menjemput Gie, tujuh bulan kemudian. Sebaliknya, ia hanya tertawa saja dengan gelar aneh itu.

Hari-hari berlanjut. Hubungan Gie dan Ker makin intens dan romantis. Juli tahun yang sama, ketika ia pulang ke Rumbai, Riau, Gie membekalinya sebuah buku harian warna biru, yang jadi sahabatnya selama mereka berjauhan. Tapi Gie juga sering menyuratinya, tentu dengan embel-embel yang kocak.

Pernah ia menempelkan kacang di dalam suratnya ketika ia bercerita tentang es kacang yang populer di rumahnya, di Kebun Jeruk. Lain waktu, aktivis yang suka mengkritik pemerintah itu juga menggambar telapak tangannya yang asli agar Ker bisa menyalaminya setiap saat.

Hubungan Ker dan Gie lebih dari teman biasa, meski tak pernah naik ke tahap lebih jauh. “Saya tahu bahwa sebenarnya kamu suka dan sayang pada saya. Tapi kamu tidak pernah berani secara terbuka mengatakan hal itu. Saya tahu dari bahasa badanmu bahwa kamu selalu ingin kita berdua dekat. Cuma kegetiran kamu pernah diputus oleh dia yang begitu kamu dambakan, membuat kamu selalu ragu-ragu,” kata Ker.

Kartini yang selalu memulai suratnya dengan kata-kata “Hok-Gieku yang manis” mulai menyadari hubungan mereka sulit diteruskan. Salah satu alasannya karena perbedaan budaya dan posisinya sebagai anak perempuan tertua dalam sebuah keluarga Batak. “Sementara kamu orang Cina, udah gitu enggak kaya, Cuma seorang intelektual, jadinya  dianggap enggak punya masa depan.”

Gie malah sempat mencomblangi Ker dengan sahabatnya sepergerakan zaman Orde Baru, Sjahrir alias Ciil. Dia sadar sahabatnya itu juga naksir pada wanita yang sama sehingga ia berkorban dan mengingkari perasaannya sendiri. Dia membujuk Ker menulis surat, yang isinya ia diktekan sendiri, untuk Ciil yang ketika itu sedang menimba ilmu di Amerika.

Ker, si Janda Gunung Ceremai pun diliputi rasa takut melihat sikap GIe yang ragu-ragu. Beda budaya, satu Batak dan satu Tionghoa, membuat Gie yang selalu berani dalam segala hal jadi melempem. Ia tak kunjung menyatakan perasaan pribadi. Malah sambil memeluk erat Ker atau memegang tangannya, ia berucap di antara mereka tak ada apa-apa. (*ini seperti kisah di film-film)

Beberapa waktu sebelum kematiannya di puncak Mahameru, Gie akhirnya berani menyatakan perasaannya pada Ker. Dia mengajaknya mendaki ke Gunung Semeru pada Desember 1969 itu, namun tidak diizinkan oleh ibunda Ker. 

“Saya menunggu saja kamu kembali dari Semeru, dan kita kembali berjalan-jalan, membuat acara yang gila-gilaan, yang lucu, dan ketika kamu kembali, Hok-Gie ku yang manis… saya … adalah gadismu,” tulisnya. 

Sayang.. Penantian Ker tak berbuah manis. Soe memang kembali dari Semeru, tapi hanya dalam bentuk tubuh yang terbujur kaku. Ah, Hok-Gie yang manis.

*Mengenang 44 Tahun Kepergian Soe Hok Gie
Warung Buncit, 16 Desember 2013


3 komentar:

  1. waah...sepertinya aku melewatkan beberapa tulisanmu
    walaupun aku sudah baca, namun ceritanya tetep bagus :)

    BalasHapus
  2. Iya Rivai,, trimakasih. mungkin itu karena kamu emang suka sama Gie..
    btw kemana aja? kemarin ku lihat sempat vakum lama.. jalan-jalan yak?

    BalasHapus
  3. romantis juga kisah cinta soe hok gie, ini hal yang belum saya ketahui dari seorang intelektual muda yang kritis terhadap pemerintahan sampai zaman peralihan.
    mirip-mirip kisah sayalah meski ada beberapa perbedaan, namanya juga mirip heheh

    BalasHapus