Kamis, 31 Oktober 2013

Seberapa Jauhnyakah “Jauh” itu?


Jauh. Katanya di tempat jauh di balik cakrawala sana, ada sebuah tanah harapan. Seperti halnya ibu yang melepas anaknya yang pergi merantau, dia pun percaya, di tempat yang “jauh” itu, suatu hari nanti, segenap nasib akan berubah, manusia baru akan tercipta, semua mimpi akan menjadi nyata, hidup bakal bahagia.

Jauh adalah kata yang mengawali perjalanan. Jauh menawarkan misteri keterasingan, jauh menebarkan aroma bahaya, jauh memproduksi desir petualangan yang menggoda. Jauh adalah sebuah pertanyaan sekaligus jawaban, jauh adalah sebuah titik tujuan yang penuh teka-teki.

Marco Polo melintasi jalan panjang dari Venesia hingga takhta kaisar Mongol di negeri China.  Para pengelana lautan Eropa bertahun-tahun mengarungi samudra luas, menyabung nyawa, menjinakkan suku primitive di belantara. Para astronot dan kosmonot berlomba menginjakkan kaki di bulan, menguak tabir angkasa.

Deretan pengembara akbar menghiasi  sejarah peradaban. Semua terjerat pesona kata itu: jauh.

Seberapa jauhnyakah “jauh” itu? Berapa lama untuk mencapainya? Imajinasi liar manusia terus menggerus dimensi ruang dan waktu, terus berkelana menembus batas.  Tentang kehidupan yang paling asing, paling berbeda, eksotis, ajaib,  unik, pelik, antic, eksentrik… jauh.

Si petualang pun terus bermimpi, dalam lintasan yang begitu jauh menuju titik terjauh….

*catatan:
Ini adalah kutipan dari “Senandung Pengembara” dalam Bab “Safarnama” yang dimuat Agustinus Wibowo dengan manis di bukunya “Titik Nol”. Untuk Anda yang menyebut diri pejalan dan petualang.

WarungBuncit, 31 Oktober 2013

Bertahan Hidup Dengan Rp 20 ribu – Rp 30 ribu Setiap Hari di Jakarta


Bicara soal uang dan tabungan selalu seru bagiku. Sejak pertama kali kerja dan punya penghasilan sendiri pada tahun 2010 lalu, aku tertarik untuk menyisihkan sebagian gaji ke tabungan. Hasilnya lumayan. Rasanya senang setiap lihat saldo di rekening bertambah.

Sayangnya, tabungan itu hanya bertahan paling lama setahun. Biasanya terpakai untuk sektor konsumsi. Entah buat beli ini itu atau buat jalan-jalan ke sana kemari.

Uang yang kusisihkan dari hasil bekerja selama 8 bulan di Medan akhirnya habis terpakai sebagai modal waktu aku merantau ke Jakarta. “Tak apalah ya, nanti dapat kerjaan baru, aku akan menabung lagi,” pikirku menghibur diri. 

Aku dapat kerjaan baru pada November 2011 (di tempatku sekarang). Sesuai rencana, aku selalu berupaya menabung, saat itu sekitar 30 persen dari gaji kusisihkan ke rekening lain di luar rekening gaji. Tapi lagi-lagi bernasib sama. Tabunganku pada tahun pertama itu ludes terpakai untuk beli laptop dan satu handphone pintar. 

Tahun yang sama aku dua kali pulang kampung (tabungan pun terpakai untuk ongkos2). Sebagian sisa tabungan itu kuberikan pada orang-orang terdekatku sebagai kado natal dan tahun baru. Sudah itu saja. Saldo tabunganku, ibarat kata petugas di SPBU sebelum mengisi bahan bakar,  “kita mulai dari nol lagi ya”. :)

Oh ya, pada tahun pertama ini (nov 2011-Des 2012) pola menabungku memang rutin, tapi jumlahnya sesukaku saja. Itu pun, jelang akhir bulan kerap kali ku usik alias ku tarik dari ATM. Hehehe. Gaya hidup saat itu ya mulai kebawa-bawa pada suasana Jakarta, misalnya sering makan siang di mall, nonton film di XXI, beli-beli sepatu, dan beli buku. Kalau soal beli buku, aku sih tak terlalu menyesalkannya. Menurutku beli buku ini seperti suatu investasi (kalau dibaca sih, hehehe)

Nah, balik lagi ke judul di atas. Sebulan lebih belakangan ini aku lagi penghematan super ketat. Jadi dalam seminggu aku membatasi pengeluaran hanya Rp 150 ribu – Rp 200 ribu saja. Kalau di bagi per hari, setiap harinya aku hanya bisa menghabiskan Rp 20 ribu – Rp 30 ribu. 

Dengan cara ini, aku memperbaiki pos pengeluaranku. Tak ada lagi nonton setiap minggu di bioskop. Tak ada lagi makan2 mahal setiap pekan di Solaria dan kawan-kawan. Tak ada lagi beli-beli baju di mall. Sekarang aku rada menyesal kalau ingat bagaimana mudahnya terpengaruh beli baju di atas 200 ribu. 

Sekarang biar engak tergoda lagi, aku punya trik. Jadi hanya memegang uang untuk seminggu saja. Sisanya aku tinggal di rumah atau dimasukkan ke rekening dulu dan ATMnya ditinggal di rumah. Efeknya enggak mudah terbawa nafsu kalau lihat barang lucu.

Supaya bisa bertahan dengan Rp 20 ribu – Rp 30 ribu per hari, aku memutuskan memasak nasi di rumah. Itu sangat bisa menekan pengeluaran ternyata. Sebab, kalau sudah masak, mau tak mau niatku jajan di luar bisa berkurang. Paling-paling aku hanya beli lauk atau sayur. Tak sampai 10 ribu sudah bisa dua kali makan. (bandingkan dengan sekali makan di Solaria minimal 35ribu). Sisanya aku gunakan untuk perongkosan.

Aksi ini ternyata lumayan berdampak lho. Kalau dulu paling banyak aku hanya bisa menyisihkan 30 persen (itu juga suka diambil sebagian saat akhir bulan) sekarang paling tidak 50 persen gaji sudah kusisihkan ke tabungan.

Lalu demi menekan kebocoran, aku juga daftar Reksadana sejak Mei lalu. Jadi, tabungan itu kubagi-bagi dalam beberapa wadah, ada yang untuk investasi (reksadana saham dan reksadana campuran), tabungan biasa. Tabungan reguler juga ada posnya masing-masing. Tujuan finansialnya sih banyak, mau keliling Samosir, modal kursus dan kuliah lagi, dan untuk DP rumah. (ya ela, tujuannya kebanyakan ya, Hahaha)

Salah satu posnya adalah pos jalan-jalan. Hal ini kulakukan, sebab pada semester pertama tahun ini, tabungan regulerku banyak terpotong untuk jalan-jalan.  Misalnya ke Jogja pada Maret dan ke keliling Banyuwangi – Surabaya pada Mei. Ditambah lagi jalan2 sekitar Jakarta spt Pulau seribu yang bikin saldo ‘bocor halus’. Maka kupikir perlu ada pos tersendiri.

Aksi ini sebenarnya terinspirasi dari kisah Merry Riana yang punya mimpi sejuta dolar itu. Dalam biografinya yang ditulis Albertiene Endah, aku baru tahu wanita itu hanya bertahan hidup dengan 10 SGD seminggu di Negara yang terkenal mahal, Singapura.

Kalau dikonversi ke kurs sekarang, nilai itu setara dengan Rp 89.618 (1 SGD = Rp 8961). Aku tertarik pada cara dia membagi-bagi uang untuk kebutuhannya. Diam-diam aku berniat mengaplikasikannya. Jumlahnya tak persis sama, aku menambahkannya sekitar dua kali lipat karena alasan transportasi. Sebab, pekerjaanku sehari-harinya menuntut mobilitas.

Dengan sistem sekarang ini aku merasa sudah lebih baik sih. (Meski kesannya jadi lebih pelit juga). Memang, dalam proses belajar ini masih banyak kekurangan. Sesekali , pengeluaranku di luar anggaran, meski selisihnya tak sebesar dulu. Tak apalah, kata orang pembenahan itu butuh pengorbanan dan komitmen. Cocok?? :)

WarungBuncit, 31 Oktober 2013

Minggu, 20 Oktober 2013

Tuhan Tak Pernah Suka Pemalas


***Hai pemalas, berapa lama lagi engkau berbaring? Bilakah engkau akan bangun dari tidurmu? “Tidur sebentar lagi, mengantuk sebentar lagi, melipat tangan sebentar lagi, untuk tinggal berbaring.” Maka datanglah kemiskinan kepadamu seperti seorang penyerbu, dan kekurangan seperti orang yang bersenjata.***

Dari atas mimbar di podium, sebuah suara baritone menggelegar. Pemilik suara, Pendeta Parulian Silitonga sedang membaca kutipan ayat dari Amsal 6:9-12. Aku langsung mendesis, sedikit menggigil. Bukan karena suara sang pendeta yang meledak-ledak memenuhi ruang gereja HKBP Tebet yang sore itu hanya terisi separuh saja. Tapi, kutipan ayat itu sungguh-sungguh menyentil pribadiku. 

Sudah berkali-kali aku bertekad membuang kemalasan dalam diriku. Kebiasaan burukku yang suka menunda-nunda. Sayangnya aku tak pernah lulus. Bahkan, Minggu sore sebelum ibadah, aku masih sempat membawa uneg-uneg itu. Aku merasa sepekan itu telah terbuang tanpa banyak hal bermakna. “Ya Tuhan, ampuni aku yang masih belum bisa memutuskan ikatan dengan rasa malas,” doaku sebelum beribadah.

Makanya, begitu Pendeta mengajak membuka ayat itu, astaga, seperti langsung dapat jawaban dariNya. Tema kothbah sore itu sebenarnya tentang “Tuhan Membenci Ketidakadilan” dengan bahan dari Amos 8:4-7. Demi menjabarkan tentang kemiskinan, pak Pendeta bilang ada tiga faktor penyebab kemiskinan yakni kemalasan, alasan sistemik dan alasan faktor alam.

Pada penjelasan faktor yang pertama, pak Pendeta mengajak membuka ayat di atas. DIA dengan tegas bilang kemalasan akan mendatangkan kemiskinan. Kehadirannya pun laksana seorang penyerbu, tanpa ketokan di pintu maupun kata-kata salam. Ia datang seperti pasukan bersenjata, mengepung dari segala arah.

Amangtahe. Bagaimana aku tak gemetar membaca ayat ini. Aku sudah lama memberangus musuh lamaku, kemalasan. Kadang kala ia memang bisa tersingkirkan, tapi dalam banyak kala ia muncul kembali. Aku miris dengan hari-hariku yang banyak terbuang percuma. Aku membenci diriku karena lebih senang bermalas-malasan di rumah daripada melakukan hal bermanfaat.

Satu contoh, Sabtu 3 Agustus lalu, aku dan seorang teman berniat berangkat ke UI di Depok dan daftar kursus bahasa asing. Rencana ini sebenarnya salah satu target yang ingin kulakukan sejak Januari silam. Namun, dua kali aku kalah cepat, saat mendaftar, pendaftarannya sudah ditutup. Padahal pendaftaran hanya dibuka sekali tiga bulan. Sabtu kemarin, terulang lagi. Kami kesiangan, dan tiba tepat sebelum gedung akan dikunci karena sudah lewat waktu. Ckckck.

Kami diminta datang lagi dua minggu kemudian karena pendaftaran tutup sepekan saat Lebaran. Memang, kelas baru akan mulai pada September, waktu kami masih longgar. Tapi, sore itu perjalanan kami jadi tak berguna. “Ini yang kata orang tua, kalau kesiangan rejekinya akan hilang,” kata temanku itu.

Aku miris. Kesal rasanya pada diri sendiri. Bagaimana tidak, kami sebenarnya sudah bangun dari pagi tapi memilih santai-santai dulu, malas-malasan dulu. Kalau lagi malas, aku bisa betah tidur-tiduran, golar goler seharian. Niat untuk olahraga setiap pagi, atau mulai aktif di kegiatan sosial, atau kursus pun tinggal angan. Jangankan itu, niatan untuk menghabiskan buku-buku bacaan atau belajar TOEFL secara mandiri pun tak pernah tuntas ku lakukan padahal aktivitasnya toh dalam rumah.

Persoalannya, saat diserang malas seperti itu, ada perang batin. Aku ingin bergerak, tapi kutunda. Begitulah. Sering aku kalah. Aku stress. Tapi itu tak mengubah keadaaan. Strategiku agaknya kurang tepat.  Lihatlah, sudah bulan delapan tahun 2013. Tapi masih banyak resolusiku, yang bahkan dimulai pun belum. Menyedihkan. Semua karena kemalasan.

Ya, aku tahu. Tulisan sampah ini seperti membuka aibku sendiri, bukan? Tapi tak apalah. Aku sedang mencoba jujur pada diriku sendiri. Mungkin dengan begitu jiwaku yang malang ini akan lebih tersadarkan. Masih ingat pepatah yang bilang “Musuh terbesar dan terberat itu bukanlah orang lain, tapi diri sendiri.” Aku mengalaminya.

Padahal siapa yang malas sama saja dengan mengundang kemiskinan datang menyerbu alias menggali kubur sendiri. Tuhan membenci dan tak pernah suka dengan pemalas.

Warung Buncit, 11 Agustus 2013. 

*hanya catatan pribadi, tulisan lama yang dibuang sayang. 

Ikut Rabu Nge-Post, Yuk!



Tantangan itu disampaikan oleh Christina Anggreani a.k.a Titin pada Selasa (8/10) lalu. “Jadi gimana, mau ikutan?” kata dia. Aku berpikir sejenak. Ajakannya sih mungkin gampang bagi sebagian orang. Hanya mengupdate blog setiap Rabu (hingga kusebut Rabu NGepost). Apa susahnya?

Hmm, tapi aku tak langsung memberi jawaban. Sebab, meski aku hampir tiap hari menulis, itu kulakukan karena memang tuntutan pekerjaanku sebagai reporter. Aku memang suka dunia tulis menulis ini. 

Yang jadi masalah adalah tuntutan untuk selalu melakukannya secara rutin. Setiap Rabu harus ada tulisan baru di blog. Padahal aku termasuk mood-mood-an. Nulisnya hanya kalau lagi mood bagus. Apalagi, semangat yang dikumpulkan dengan susah payah setiap hari itu sudah dihabiskan untuk nulis artikel dan berita. 

Awalnya aku sempat menawar. “enggak harus tentang perjalanan kan?” “Boleh apa saja kan?” “Panjangnya suka-suka kan, bisa panjang bisa cuman satu paragraph, gak?” Semuanya lalu dijawab Titin dengan isi yang hampir sama, “BOleh”. Malah untuk sementara ini dia tak mempermasalahkan kalau tulisan di blog di pungut dari fb, atau pun tulisan dari kerjaan sehari-hari. Semua boleh!

Ya sudahlah, semua tawaranku, sebenarnya kuharap dijawabnya ‘TIDAK’ agar aku bisa ngeles dan bilang, “Waduh maaf Tin, aku enggak bisa ikut kalau nulis satu tema terus” atau “Maaf Tin, tulisanku di blog biasanya nyampah, apa saja masuk” atau “Maaf Tin, aku enggak bisa nih, soalnya kadang mood nulis suka enggak jelas”.

Tapi Titin tak bergeming. Hehe. Dia tetap mengajakku dengan bilang tantangan ini semata-mata supaya lebih rajin. Dia lalu menyebutkan salah satu temannya yang sudah lebih dulu ikut tantangan Rabu Ngepost (namanya Rivai). 

Intinya dia bilang, kami bertiga punya kesamaan, sama-sama suka nulis, ingin bisa menulis dengan baik, tapi malas menulis. Hehehe.. kontradiktif sekali ya. Makanya dengan tantangan ini, diharapkan masing-masing (calon penulis kece) ini, bisa termotivasi menulis, minimal satu setiap pekan. 

Haha. Aku menyerah. Ku iyakan saja. (Here I am, anggota baru yang menerima tantangan Rabu Ngepost). Dalam hati aku jadi deg-degan. Bisa enggak ya. 

Tapi tak ada lagi alasan menolak. Selama ini aku juga angin-anginan untuk menulis di blog. Hampir tak ada yang bertambah pada tahun ini. Padahal salah satu resolusi 2013 adalah lebih rajin dan rutin menulis. 

Nah mumpung si Titin ngoyo ngajakin, aku pun menyemangati diri sendiri. “Ayo, Pesta, kamu pasti bisa!” Ceilee.. padahal baru sehari setelahnya, semangat itu langsung luntur, blas! 

Pekan pertama aku gagal. Alih-alih meng-update tulisan pada hari Rabu, tulisan pertama sejak tantangan diterima baru bisa kutambahkan pada hari Kamis. Pekan kedua lebih parah. Tulisan baru masuk pada hari Minggu jelang Senin. 

Tantangan Rabu Ngepost, sekilas gampang. Tapi tidak bagiku. Ini melatih orang yang tak disiplin (sepertiku) menjadi lebih disiplin (yang mana hal itu tentu tak mudah, kawan).  

Untungnya si Titin (dan mungkin Rivai juga) tak mengucilkan aku. (Padahal sebelumnya dibilang siapa yang tak nge-post pada hari yang ditentukan, akan dihukum). Melihat mereka tetap rajin update tulisan baru, aku jadi termotivasi dong. (And I have to say thanks to them). 

Jadi, inilah, blog lama yang tak terurus ini akan kucoba perbaharui lagi. Konsepnya nanti masih tetap campur. Tapi akan ada beberapa kategori, seperti jalan-jalan, kuliner, resensi buku (dan ke depannya, film), yang sudah diterbitkan (biar sekalian mengarsip tulisan), kehidupan sehari-hari, dan dunia jurnalis. Semoga terkabul, ya. Hehe.

Eh, kalau ada teman-teman yang berniat ikutan tantangannya juga boleh kok. Yuk ah, biar komunitas (calon penulis) makin ramai. Hehehe.

Warung Buncit, 21 Oktober 2013.

Edisi Patah Hati


Malam ini aku akhirnya melihat sendiri satu hal yang selama ini aku takutkan. Ini bukan cerita tentang  hantu. Ini hanya berkaitan dengan kekhawatiranku akan suatu hal yang menyangkut seseorang. 

Seseorang itu sempat kukenal saat aku mengambil mata kuliah Fotografi Jurnalistik di USU. Di kelas 3 sks itu, aku berkenalan. Seiring jalannya aktivitas perkuliahan, dia semakin kukenal. Di dalam kelas, saat pameran fotografi, pun melalui media sosial, kadang-kadang kami bertukar cerita.

Suatu kali dia memujiku. Mungkin tepatnya memotivasiku. Dia bilang aku berbakat dalam bidang fotografi, khususnya fotografi jurnalistik dan memintaku untuk menekuninya. Dia yakin aku punya potensi bagus dan hanya perlu diasah. Dunia yang dulu sempat amat kusukai dan menelan sebagian waktuku saat kuliah.

Begitulah. Aku menyukai cara dia memotivasiku. Tak hanya secara lisan. Dia juga menjadi memberi motivasi lewat aksi nyata dengan menunjukkan hasil-hasil karyanya yang tembus ke dunia internasional. Aku pun punya interest khusus ke dia, dan dunia baru yang diajarkannya padaku.

Memang perhatian itu tak dalam. Komunikasi kami pun tak terlalu intens. Tapi ada momen di mana kadang aku merasa akrab. Sehingga lambat laun, aku mempunyai gambaran khusus tentang dia, tentu saja hanya dalam benakku. Gambaran yang kureka berdasarkan pengakuan dia.

Jalannya waktu menggariskan aku merantau. Aku meninggalkan Medan. Tempat yang sebenarnya ingin kuakrabi, tapi peluang menarikku ke Jakarta. Lama kami tak bertukar kabar. Sejak meninggalkan bangku kuliah pada 2010 silam.

Hingga terjadilah yang kutakutkan itu. Aku mendengar dia sudah menambatkan hati. Yang menyesakkan, seseorang memberitahukan bahwa dia sudah berubah haluan.

Entahlah. Aku tak berhak mencampuri urusan yang satu itu. Sebab itu urusannya dengan Tuhan. Itu hanya cara dia meyakini Tuhan. Aku tak kunjung menemukan bukti. Maka kusimpan saja tanya dalam hati, tak pernah berani kuungkap.

Namun tadi, tiga tahun setelah kami tak berjumpa, aku menemukan sepotong fakta dalam gambar, lagi-lagi dari media sosial. Tak kupercaya bahwa itu dia. Sebab kenyataan yang terpampang itu memang sesuai dengan yang kutakutkan. Dia menikah dalam upacara yang berbeda.

Fakta itu ternyata telah terjadi pada pertengahan 2010 lalu, setahun sebelum aku hijrah dari Medan. Kenapa aku telat menyadari kenyataan bahwa dia telah berbeda dengan gambaran yang dia akui dulu?

Tapi ya sudahlah. Aku pun tak berhak mencampuri segala urusan dia. Segala keputusan yang telah dia ambil kuharap tak mengubah pandangan dan kagumku pada dia. Ya, memang tak perlu. Biarlah dia bahagia dengan pilihannya. Semoga.

Warung Buncit, 21 Oktober 2013

Kamis, 10 Oktober 2013

Aku dan Na. Sebuah kisah tentang menunggu.

Na,
Kamu tau kan? Aku menunggumu sejak tadi. Sejak matahari di atas kepala hingga kini ia terbenam di ufuk barat, aku duduk di depan rumahmu. Aku berharap kau mau keluar, barang sejenak saja, lalu menyapaku.

Na,
Sudah tak terhitung berapa roda-roda mobil, bis, motor bahkan odong-odong yang lewat di depanku. Di jalan besar yang memisahkan aku dengan rumahmu.

Na,
Aku hanya memintamu waktumu, sedikit saja. Tak sampai 10 pertanyaan yang akan kusodorkan padamu. Tapi kalaupun kkau merasa itu terlalu lama, aku bisa memadatkannya menjadi lima, atau tiga, atau dua.

Na,
Sudikah kau memberikan aku kesempatan itu? Kesempatan emas yang telah kutunggu sejak hari masih muda.

Na,
Aku mau cerita. Tadi, sambil menantimu, aku menahan lapar. Memang, aku belum sempat makan siang. Hanya buah melon yang tadi kusuapkan, mengganjal perut pada waktu sarapan. Lalu siang-siang, aku berjalan, menuju kediamanmu.

Na,
Hingga entah sudah berapa ribu kali jantungku berdetak, di sini. Hingga kurasakan energiku mulai habis. Aku kelaparan. Aku menjadi lelah. Untuk ada tukang bakso malang lewat. Tapi baksonya tak kuhabiskan sebab rasanya tidak enak.

Na,
Sebenarnya aku hanya duduk, yang kutau itu tak banyak menghabiskan tenaga. Tapi ternyata menunggu itu membosankan. Menunggu itu menghabiskan banyak energi. Sebab otakku terlalu sibuk membayangkanmu. Aku terlalu banyak mereka-reka rencana bila kita bertemu.

Na,
Kadang-kadang, aku berhalusinasi. Dari balik jendela besar rumahmu yang bercat putih, kubayangkan kau tengah memandang keluar. Itu sebabnya aku selalu melihat ke arah tirai yang tersingkap di jendela rumahmu di lantai dua. Berharap kau bisa menatapku yang penuh harap.

Na,
Aku membayangkan kau akan akan muncul di halaman. Sambil mengenakan baju bunga-bunga, kau menyirami aneka kembang yang tumbuh segar. Kupikir, saat itulah aku akan mendatangimu. Menjabat tangan, sambil mengenalkan namaku.

Na,
Sebenarnya kita pernah berjumpa. Tentu saja aku masih ingat dengamu. Hanya saja, aku takut kau sudah lupa. Tak apa. Aku tak keberatan berkenalan lagi denganmu. Aku akan pasang senyum paling manis, lalu kubilang:
"Halo, Na, aku Pesta dari Detik.com. Bisa wawancara sebentar gak?"

Na,
Jangan tertawa. Aku serius. Aku sudah menunggumu. Sebenarnya aku senang-senang saja duduk di taman ini, sambil memandang ke rumahmu. Apalagi sore begini di pohon-pohon besar di halamanmu, mulai muncul lampu-lampu. Senang saja hatiku. Tapi, Na, aku sudah deadline....

Na,
Sudah kutitip pesan. Pada pria-pria berbadan kekar yang berjaga di dekat gerbang rumahmu. Kubilang pada dia "aku akan datang, esok pagi". Tunggu aku ya, Na.

*cerita saat menunggu Na, sang narasumber.

Taman Surapati, Jakarta - 10 Oktober 2013.