Rabu, 29 Januari 2014

Es Kelapa Muda dan Mantan


Matahari siang pada suatu Selasa di bulan Mei tahun lalu, bersinar amat terik. Waktu itu aku sedang di jalan menuju Kementerian Pekerjaan Umum. Tiba di lokasi, aku tak langsung masuk ke ruang wartawan. Rasa haus yang amat membawa kakiku melangkah ke arah kampus Al Azhar yang terletak di bagian belakang kantor Kementerian PU.

Aku ingat, membayangkan bisa meneguk segarnya es kelapa muda yang pernah kubeli sebulan lalu dari salah satu pedagang di sana. Aku sangat suka es kelapa racikannya saat itu. Rasa asam dan manis dari jeruk bercampur sempurna dengan kesegaran air kelapa. Daging buah kelapanya pun terasa empuk dan manis di lidah. Ah, pasti dahagaku akan langsung lenyap.

Hupp..hupp.. Dengan mantap kuayunkan langkah.

Kamis, 23 Januari 2014

Aku Bocah Petualang di Kampung Tanpa Listrik Itu.


Dulu sekali, aku masih sempat mencicipi hidup di kampung yang belum mengenal listrik. Namanya Hutanamora Dolok, satu desa di Silaen, Tapanuli. Sebenarnya di lapo (kedai – di wilayah yang jalannya sudah di aspal) memang sudah ada listrik tapi ia tak sampai di tempatku, padahal jaraknya hanya sekitar 1-2 km dari Lapo.

Masa itu, aku tak punya radio atau televisi yang mungkin sudah jadi sumber hiburanmu sehari-hari ketika hidup di kota. Lalu, di sekolah di kampung pun aku jarang bersentuhan dengan buku-buku cerita seperti Bobo yang mungkin sudah jadi langganan di rumahmu. Ya, seingatku tak ada buku cerita bagi kami anak-anak sekolah di sana.

Baik rumahku atau rumah tenggga jarang sekali ada yang punya buku di rak-rak seperti lazim di kota-kota. Buku dan televise serta radio, adalah kemewahan. Karena itu, kalau ada kiriman buku bergambar dari abangku yang saat itu sekolah di Pematang Siantar, aku girang bukan main.

Orang-orang tua di kampung halamanku saat itu memang masih belum menomorsatukan pendidikan. Mungkin bagi mereka itu penting, tapi keadaan sosial ekonomi berkata lain. Perhatian mereka masih tersita memikirkan  bagaimana caranya bercocok tanam agar benih padi yang disebar di sawah itu bisa tumbuh, lalu berbuah sehingga kami bisa makan nasi sehari-hari.

Jadi, sebagai kanak-kanak kampung, hiburanku adalah bermain dengan kerbauku. Naik ke atas punggungnya lalu menungganginya lincah pulang dari padang saat petang. Kau tahu teman, rasanya sangat menyenangkan ada di punggung kerbau-kerbau itu apalagi kalau ia berlari di tengah rintik hujan. “Hiyaatt,” kataku lantang menggiringnya pulang ke kandang.

Sabtu, 18 Januari 2014

Terhalang Sumpah



Dia bilang, aku dan kau seperti angin. Ku tanya kenapa dia bilang demikian.

“Enggak pernah bisa memeluk satu sama lain,” lanjut dia. Ah, dia agak berlebihan. 

“Tapi ini bukan lebay. Sekuat apapun kau memeluk angin, dia akan tetap berlalu. Sama seperti situasimu,” kata dia lagi. Kali ini dia terdengar masuk akal.

Aku mengangguk. Di antara kita, ada pintu besar bernama sumpah. Tapi kau tak boleh menyeberang padaku, atau aku padamu. Sebab pintu itu ada, tidak untuk dibuka. Tidak untuk dirobohkan. Tidak untuk dimasuki.

“Sekuat apapun kau berusaha, sumpah itu tetap ada,” dia tiba-tiba membuyarkan lamunanku. “Itulah angin!”

Warung Buncit, 18 Januari 2014 


Jumat, 17 Januari 2014

Cara Asik Menikmati Situ Cileunca


Perahu dan Situ Cileunca. Perpaduan yang pas

Ada banyak cara untuk menikmati Situ Cileunca. Swiss Van Java di Pengalengan, Bandung. Berikut ini di antaranya.

1. Berperahu dan Petik Strawberry. Jika tak puas hanya berdiam menikmati pesona alamnya, silahkan turun ke Situ Cileunca untuk merasakan sensasi yang berbeda. Lepaskan penat dengan berperahu menyeberangi atau berkeliling danau. Di seberang danau, terdapat wisatawan bisa memetik strawberry dan buah arbei langsung di kebun-kebun para petani. Untuk menyewa perahu bolak balik ke seberang cukup dengan merogoh kocek Rp 10 ribu per orang, bisa pilih perahu dayung atau bermotor. Jika pergi dengan rombongan, tawar saja harganya sehingga bisa lebih murah. Satu keranjang strawberry bisa dibawa pulang dengan biaya Rp 15 ribu.

Situ Cileunca, Si Penuh Misteri bak Pemandian Bidadari


Situ Cileunca pagi hari
Kenal Bandung? Pastilah. Paling tidak pernah mendengar namanya, kan? Kota Paris van Java ini sejak dulu adalah salah satu daerah populer di Indonesia. Selain menawarkan wisata kuliner dan belanja, Bandung juga populer karena keindahan alamnya. Melipir ke arah Bandung Selatan, Anda akan disuguhi pesona wisata alam yang sangat menarik, salah satunya di bilangan Cileunca, Pengalengan.

Pada Sabtu, 13 Oktober 2012 lalu saya dan 30 orang jurnalis dari Jakarta berkesempatan mengunjungi Cileunca dalam press gathering yang diadakan oleh TransTV. Matahari tepat berada dia atas ubun-ubun, ketika kami tiba di tempat penginapan, Cileunca House. Begitu turun dari bus, yang paling terasa berbeda adalah tiupan udaranya yang sejuk. Menyegarkan.

Sebelum masuk ke kamar masing-masing, kami menuju ke tenda putih yang sudah dipasang tepat di samping penginapan. Kudapan ringan berupa tape bakar saus oncom dan surabi pun sudah terhidang. Memancing selera. Hangatnya tape berpadu pas dengan bandrek khas kota Bandung. Welcome drink itu ampuh menghilangkan lelah dan mual akibat perjalanan yang meliuk-liuk selama lima jam.

Kamar pun dibagi. Satu kamar untuk para undangan pria, satu kamar untuk undangan pria, dan kamar untuk panitia. Ya, kamar kami itu berupa aula besar, dan di sana sudah ada kasur-kasur yang disusun berdempetan, agak miriplah dengan barak tentara.  

Usai makan siang, kami diajak bermain di area seluas lapangan sepak bola di depan penginapan. Banyak games dibuat untuk menjalin keakraban sekaligus membunuh waktu. Sebenarnya, dalam perjalanan tadi ada yang tiba-tiba mencuri hati kami, sebuah danau bernama Situ Cileunca. "Danaunya keren banget, cantik alami gitu," kata salah satu teman yang sibuk berfoto dengan latar danau yang samar-samar ditutupi kabut tipis.

Suasana penuh kabut di sekitar Situ
Situ Cileunca ini berada di ketinggian 1550 meter di atas permukaan laut serta dikelilingi oleh dua perkebunan teh Malabar yang dikelola oleh PTPN VIII, wilayah ini berhawa sangat sejuk. Tak perlu pakai AC, dengan suhu yang bisa mencapai 10 derajat celcius pada malam hari, pasti akan membuat yang tak terbiasa mengigil kedinginan.

Menariknya, daerah Cileunca ini pernah sangat populer pada zaman penjajahan dan digelari Swiss van Java. Pasalnya, penduduk di wilayah sinilah yang pertama kali menikmati listrik. Dari mana sumber listriknya? Benar. Dari Situ buatan seluas 180 hektar yang dibangun pada 1919-1926 itu. 

Airnya dialirkan ke sungai buatan Palayangan, dan menggerakkan turbin-turbin tiga PLTA utama di Pengalengan. Debit airnya pun dimanfaatkan untuk cadangan sumber air bersih. Bisa dibayangkan, saat hampir semua wilayah masih gulita, daerah Pengalengan terang benderang dan noni-noni sibuk beraktifitas di tepi danau.

Sendiri di tengah Situ
Pagi hari saat matahari mulai memerah, Situ Cileunca berubah bak pemandian para bidadari. Bias-bias cahaya matahari jatuh menembus pohon pinus di tepi pantai. Perlahan, kabut pekat mulai menguap meski tak benar-benar hilang dari permukaan danau. Denyut kehidupan di Cileunca mulai terasa  menggeliat ketika matahari sudah benar-benar tinggi, yakni sekitar pukul 07.00 pagi.

Seorang petani sayur menunggu rekannya.
Suasana desa yang alami terasa saat para petani sayur  yang pakai jaket dan celana panjang mulai keluar sambil membawa keranjang. Sebelum sama-sama naik ke ladang di atas bukit, mereka duduk sambil menunggu rekannya di persimpangan. Sementara satu per satu peternak mulai lalu lalang membawa kaleng berisi susu sapi.

Bukit-bukit teh dan pegunungan yang mengelilingi Situ menawarkan panorama tambahan. Sehingga tak hanya bisa menikmati keindahan danaunya, tapi wisatawan juga disuguhi panorama pegunungan yang melatarbelakangi Situ Cileunca.

Berdiam diri di tepi Situ, menikmati kabut dan bias sinar yang menembus pepohonan sambil menghirup udara yang bersih segar, bagaikan semedi yang ampuh untuk menenangkan pikiran setelah lelah beraktifitas.

Menjelang sore, kami menyambangi si danau pencuri hati. Main flying fox. Lalu turun ke danau, menyewa perahu dan mendayungnya ke seberang. Setelah selesai urusan dayung mendayung, saatnya menikmati sesi terapi ikan. 

Sambil terapi, kami sambil mengobrol dengan penduduk setempat. Javra, 45 tahun, yang sedang menambatkan perahunya di tepi danau memberikan cerita unik yang membuat kening kami berkerut. "Jangan pernah berenang di danau, berbahaya!" kata dia. Kami penasaran.
Siap main flying fox?

Konon, dulu pernah ada dua pria bertarung demi kekuasaan. Perkelahian mereka disebut-sebut membuat salah satunya terbenam di danau. Dendamnya yang membara membuatnya selalu mengambil korban dari orang yang berenang di dalam danau."Pantas saja danau ini terlihat sangat tenang hanya terlihat beberapa perahu nelayan, tak ada yang berenang," gumam saya.

Pagi hari ketika yang lain masih sibuk tiduran di “barak” saya kembali menyusuri tepi danau. Di sana tampak belasan tenda warna hijau. Ternyata ada rombongan dari suatu perusahaan yang berkemah di sana. Tapi suasana masih sepi.

Dari obrolan sambil lalu dengan pedagang kopi di tepi danau saya tahu larangan berenang itu sudah lama dibuat. Pernah ada yang coba-coba melanggar akhirnya tenggelam di danau yang dalamnya mencapai15-20 meter. "Mayatnya ditemukan beberapa hari kemudian neng," kata dia. Tapi, orang boleh percaya boleh tidak pada mitos.

Salah seorang pemandu wisata yang jadi guide kami mematahkan mitosnya. Dia bilang larangan berenang di Situ Cileunca karena airnya yang sangat dingin sehingga cepat membuat tubuh jadi kram. "Di bagian atas memang terasa hangat, tapi di dalamnya dingin dan membuat badan kram," kata si pemandu.
Sebelum mendayung, pose dulu.  
Info lebih banyak, ketuk Cara Asik Menikmati Situ Cileunca
Tulisan ini pernah dimuat di sini