Senin, 22 Februari 2016

Cerita dari Blora - Pramoedya Ananta Toer




"Engkau harus berani bercerita tentang hancurnya pengharapan. Orang harus berani merasakan penderitaan orang lain. Kesenangan? Kesenangan adalah tanda bahwa kematian mulai meraba jiwa manusia."

"Dalam pengembaraan di dalam hutan itu ada juga aku berpikir pikir tentang penderitaan. Dan aku berpendapat bahwa penderitaan itu adalah isi dari keangkaraan. Keangkaraan adalah ruang yang menyediakan tempat buat penderitaan itu."

"Biarlah. Dari pengalaman2 pahit ini, aku mendapat pelajaran - kita semua bisa mengatasi semua ini bila bisa menghilangkan diri sendiri. Anggaplah diri sendiri tak ada, dan segala kesengsaraan pun jadi tak ada."

===

Dibandingkan dengan puluhan (mungkin ratusan?) karya Pram lainnya, buku ini rasanya tidak terlalu populer. Saya sempat melihat-lihat di media sosial dan sangat jarang yang mengunggah foto buku ini.

Kutipan pertama yang kuketik di atas, tampaknya adalah curahan hati Pram sendiri-- yang dijuluki pengarang humanis dalam kadar tinggi-- yang disampaikan dengan meminjam tokoh seorang pengarang dalam kisah "Hadiah Kawin".

Dalam buku setebal 324 halaman ini, Pram menyajikan kisah para korban penindasan, kekerasan dan kekuasaan yang sewenang-wenang. Mengajak orang lain masuk ke sudut terdalam di pikiran para tokoh di dalam 11 cerita pendek yang dia buat.

Kisah Cerita dari Blora ditulis dengan setting pada masa Revolusi. Problematik sosial di kampungnya 65 tahun lalu itu, rasa-rasanya masih relevan dengan kondisi saat ini.

Bisa kita lihat sendiri, meskipun Indonesia telah merdeka, masih banyak jiwa-jiwa yang tertindas di Tanah Air mereka sendiri. Banyak orang yang dikucilkan seperti dalam kisah "Anak Haram". Menderita tertekan akibat hal yang dipilihnya secara sadar maupun atau status2 sosial yang bukan pilihannya (siapa yang dapat memilih untuk dilahirkan dari rahim tertentu?).

Masih banyak juga orang yang mengalami kondisi seperti dalam "Pelarian yang Tak Dicari". Terjebak dalam profesi-profesi yang bertentangan dengan norma-norma umum karena dorongan berbagai faktor, semisal kondisi perekonomian.

Kisah "Inem" pun banyak terjadi. Para anak yang menjadi korban kekerasan di tengah keluarga mereka sendiri. Mungkin masih ada yang terjebak dalam kawin paksa padahal masih tergolong belia. Dan masyarakat di sekitar korbannya bersikap tak acuh dan tetap diam meski melihat ketidakadilan demi menjunjung norma kesopanan. (Masih ingat kisah Angeline di Bali?) Ya, itu hanya salah satu.

===

Aku mungkin belumlah seperti pembaca Pram lainnya yang mampu menganalisa karya-karyanya sampai kekedalaman sejarah dan lain sebagainya.

Membaca karya Pram bagiku lebih seperti kesempatan untuk flashback ke masa lalu. Beberapa kisahnya seperti memiliki kedekatan dengan saya secara personal di masa lalu.

Beberapa kali saya harus berhenti sebentar, mengalihkan pandangan dari buku dan lantas ‘ditarik’ ke masa silam. Terkadang, saya juga berhenti membaca demi memvisualisasikan pedihnya hati tokoh dalam cerita itu. Berusaha turut merasakan penderitaan dan hancurnya pengharapan mereka.
Kisah yang mengangkat kemuraman seperti ini, rasa-rasanya akan memiliki kedekatan personal dengan pembacanya.
Sebab, satu yang pasti, bahwa “mengalami sengsara dan kehilangan pengharapan, adalah tahapan yang sangat mungkin dirasakan tiap manusia, pada suatu waktu di dalam perjalanan hidupnya.

#AyoMembaca. 
#Pestabaca2016 nomor 4

Salam hangat. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar