Selasa, 24 Februari 2015

5 Buku Terakhir Paling Melekat

Bisa membaca buku bagi saya adalah kemewahan yang patut disyukuri. Saya termasuk orang yang doyan melahap buku. Biasanya di sela-sela aktifitas saya, atau di tengah perjalanan dari dan menuju tempat kerja, saya sering menyempatkan membaca. Sayang akhir-akhir ini kebiasaan baik itu jarang saya lakukan karena kesibukan yang padat.

Bicara buku, saya ingin menuliskan tentang lima judul buku yang menjadi sumber inspirasi saya. Buku itu saya jabarkan dari mulai yang terakhir selesai saya baca.

Pertama, Memang Jodoh karya Marah Rusli. Buku ini adalah novel terakhir dari penulis Siti Nurbaya. Bisa dibilang ini adalah semi autobiografi Marah Rusli, tentang kisah cintanya yang sangat menyentuh. Karya Sastra ini termasuk karya klasik yang pernah “hilang” dari ranah sastra Indonesia.

Mengetahui buku ini sudah dibuat lebih dari 50 tahun yang lalu tapi baru diterbitkan sekarang, memancing rasa penasaran saya. Marah Rusli ternyata berwasiat agar bukunya harus dipendam, baru boleh diterbitkan jika semua orang yang terlibat dalam buku meninggal dunia.

Lewat buku setebal 535 halaman ini Marah Rusli menyajikan romansa lampau tentang kisah cintanya. Kisah itu tak biasa dan bukan cinta yang datar tapi terbalut dalam isu sosial yang jadi latar belakangnya. Pembaca diajak menyelami pikiran pribadi tokoh penulis soal kemerdekaan individual lewat konflik asmaranya yang terbentur kungkungan adat Minang.

Buku Kedua, Titik Nol, karya Agustinus Wibowo. Buku ini diberi subjudul “Makna Sebuah Perjalanan”. Dengan tebal 552 halaman, Agustisnus seperti menyajikan sebuah jurnal kehidupannya yang dia sebut laksana seorang musafir.

Penulis perjalananan (travel writer) ini menyajikan cerita yang komplit dengan teknik bertutur yang unik. Dia menarik garis waktu antara masa kini dan masa lalu, di mana dia membawa pembaca dalam alur maju mundur.
Agustinus menyajikan kehidupannya yang menantang. Tentang bagaimana dia sebagai salah satu lulusan terbaik sekolah ternama di Tiongkok tapi kemudian memutuskan menjadi pejalan. Dia bahkan tak memakai ijazahnya untuk melamar pekerjaan dan malah berkelana menjauh dari kemapanan yang ditawarkan dunia.

Menarik mengikuti kehidupan Agustinus yang sangat menghargai kemerdekaan individual. Dia berkelana kemana kebebasan membawanya dan bertahan hidup dengan cara menjadi penulis lepas di berbagai media di negara yang dia singgahi. Memang tak semua semudah yang dibayangkan.

Kadang penyesalan juga timbul tatkala dia mengingat orang tua dan kampung halaman serta semua yang dia sengaja lepaskan. Pepatah yang pas menggambarkan kondisi itu adalah “mengharapkan guruh di langit, air tempayan ditumpahkan”. Tapi Agustinus mengajarkan untuk tidak menyesal atas pilihan yang sudah dibuat, bahwa hidup adalah perjuangan untuk mencari sebuah makna.

Buku Ketiga, Habibie&Ainun, karya Bacharuddin Jusuf Habibie. Saya mendapat buku ini tatkala menghadiri premiere film berjudul sama yang diangkat dari novel karya Presiden Ketiga RI itu, di Studio XXI Epicentrum, Jakarta Selatan, 8 Januari 2013. Dalam acara nonton bareng Habibie kali itu, saya sangat terpukau dengan kisah cintanya yang diperankan Bunga Citra Lestari dan Reza R.

Begitu terpesonanya saya, sampai di rumah saya langsung melahap habis buku setebal 323 halaman itu. Kemudian setahun berlalu, saya kembali membaca buku yang kisah cinta Habibie&Ainun beberapa waktu lalu. Sensasinya masih sama.
Saya seperti ditarik ke dalam dunia Habibie, merasakan suka duka kisah cintanya dengan Ainun. Lebih menarik lagi menyadari pengakuannya bahwa buku ini ditulisnya sebagai terapi tatkala diliputi dukacita mendalam setelah kematian sang istri.

Fakta bahwa menulis bisa menyembuhkan, dan bagaimana mereka menjaga api cintanya tetap menyala selama 48 tahun, membuat bukunya ini sangat cocok dibaca kawula muda. Belajar tentang resep spiritual bagi bangunan rumah tangga yang kokoh adalah poin penting yang bisa digali dari pengalaman Habibie Ainun.

Buku Keempat, Meretas Jurnalisme Pinggiran, karya keroyokan rekan-rekan penulis yang merupakan wartawan di Medan. Buku terbitan Yayasan Kippas dan Acted ini dihadiahkan oleh salah satu penulisnya--yang sama sekali belum pernah saya temui-- yang juga wartawan Harian Analisa, Dedy Hutajulu.

Isinya berupa kumpulan Feature Pemilu 2014 dipotret dari kacamata para jurnalis. Lokasi yang diprotret tentunya Sumatera Utara, termasuk di Medan dan kota-kota kecil, tentang bagaimana hiruk pikuk Pesta Demokrasi di wilayah yang jauh dari Ibukota Negara itu.

Beberapa bagian sudah saya baca, seperti tentang peliknya kehidupan masyarakat penganut kepercayaan Parmalim di Sumatera Utara. Parmalim adalah agama orang Batak sebelum Islam dan Kristen menyentuh wilayah sekitar Danau Toba. Tapi hingga kini, meski sudah diakui sebagai salah satu aliran kepercayaan, penganut Parmalim masih sulit mendapatkan hak-hak sipilnya.

Kelima, buku yang sering menemani hari-hari saya adalah Studio d A1, sebuah buku paket belajar Bahasa Jerman. Buku ini buku wajib di Goethe Institut, tempat di mana hampir setahun terakhir saya menimba ilmu secara informal.

Saya berminat untuk mempelajari Bahasa baru selain untuk hobby juga untuk menambah keterampilan pribadi saya. Sebab di era sekarang, apalagi menyongsong masa perdagangan bebas, tentunya sangatlah penting untuk mempunyai skill tambahan, terutama dalam soal komunikasi.
===




Minggu, 22 Februari 2015

Dreams

Seperti de javu. Perasaan saya campur aduk gak karuan. Ada sedih, ada haru, ada semangat yang patah. Mimpi-mimpi yang selama ini saya bangun seperti berhamburan di pelupuk mata.

Tangan menggapai-gapai. Sayap mengepak-ngepak. Tapi tak ada yang terengkuh. Mimpi-mimpi itu berlarian dalam tempo cepat. Silih berganti di hadapan saya.

Saya ada di sebuah bandara yang sangat besar. Orang dari berbagai bangsa lalu lalang. Pada suatu senja. Bias oranye langit senja merambat masuk lewat kaca-kaca di bandara yang megah.

Saya masih duduk. Di dalam mobil berkeliling ke negara impian. Melihat semuanya yang selama ini ada dalam angan. Tapi saya sendirian. Saya kesepian.

Ke mana orang tua? Ke mana saudara? Ke mana sahabat? Ke mana teman dekat? Ke mana semua? Ada tapi tak "ada".

Hanya ada saya dan nada-nada yang mengalun ritmis di kepala. Mengiringi sejak hari masih belia. Nadanya berlesakan di benak.

Nada-nada itu menjalari ke dalam nadi. Bersemayam di tiap sel yang dia lalui. Berdiam tapi tak diam. Dia sayup-sayup terdengar di kepala. Selalu.

Resapilah.

Dreams