Senin, 30 Maret 2015

Lenggak Lenggok Gadis Bali di Teras Graha Bakti Budaya TIM


Foto by: Ropesta Sitorus
Bunyi gambelan Bali sayup-sayup terdengar memancing rasa ingin tahu tatkala memasuki area Graha Bakti Budaya, Taman Ismail Marzuki (TIM). Puluhan dara berkaos putih, bersarung dan berkemben melenggak lenggok mengikuti irama tabuhan.

Tubuh mereka dicondongkan ke depan. Jari tangan yang lentik digerakkan seirama dengan lirikan mata. Para penari yang masih remaja itu membawakan Tari  Legong Bali di bawah arahan guru tari berkaos biru.

Minggu (29/3/2015) pagi, suasana di teras Graha Bakti Budaya TIM, Jakarta Pusat, cukup sibuk. Para orang tua terlihat duduk di atas kursi plastik, sementara putri mereka sibuk latihan menari di bawah naungan Lembaga Kesenian Bali Saraswati.

Foto by: Ropesta Sitorus
“Enaknya latihan di sini saya bisa mengenal budaya Indonesia lebih dalam, bisa melatih kelenturan badan. Soalnya saya juga memang hobi menari,” kata Ni Putu Sekar Tiara (11 tahun).

Sekar baru saja menyelesaikan latihannya. Sesekali dia menyeka keringat di kening. Pelajar kelas VI SD di Johar Baru itu berujar dia sudah bergabung di sanggar Saraswati sejak usia 3,5 tahun. Sambil senyum dia mengaku sudah menguasai sekitar sembilan jenis tarian Bali.

Setiap Jumat-Minggu mulai pukul 09.00-11.00 WIB dia datang bersama ibundanya, Putu Nurlela (45 tahun) untuk latihan ke TIM. Ibunya memilih LKB Saraswati untuk kursus karena dianggap lebih murah tapi tetap memberikan pendidikan tari secara serius.

“Murah banget sebenarnya untuk porsi latihan tiga kali seminggu iurannya sekitar Rp200.000 per bulan,” kata Nurlela.

TIM memang menjadi salah satu pusat kegiatan kebudayaan di DKI Jakarta. Hampir semua bidang seni ada di area ini.  Selain tari tradisional, ada tari modern yang diasuh Jecko Siompo dan Funky Papua, ada juga kegiatan seni teater dan perfiliman, hingga musik dan fotografi.

Kegiatan Lembaga Kesenian Bali Saraswati sendiri ternyata sudah ada di lokasi itu sejak 3 April 1968, dipimpin  oleh I Gusti Kompiang Raka.

Salah satu pengajar tari, Anak Agung Gede Ariawan, menyatakan setiap peserta sanggar tak hanya dapat pengetahuan soal tari Bali. Bagi yang sudah satu tahun belajar, mereka juga belajar menabuh Gambelan Bali.

Agung menyebutkan saat ini anggota sanggarnya berasal dari berbagai kalangan. Kini sudah ada lebih dari 2.000-an orang, namun yang rutin datang latihan hanya sekitar 200-an orang.

“Ada beberapa pria tapi mayoritas perempuan. Kita tidak ada batasan umur, mulai dari usia 5 tahun sampai yang nenek-nenek juga bisa belajar,” kata pria yang sudah mengajar tari sejak 2004 itu.

Tak ada syarat khusus bagi yang ingin belajar di sanggar Saraswati. Bagi Anda yang hobi atau ingin menambah keterampilan bisa bergabung cukup dengan mengeluarkan biaya Rp475 ribu untuk pendaftaran dan kostum serta iuran Rp250 per bulan.

“Siapapun bisa ikut. Motivasinya memang beda-beda memang, ada yang untuk pendidikan, ada yang sekedar hobi saja,” ucapnya.

Minggu, 15 Maret 2015

Bertemu Mr. Yudasmoro


Apa jadinya kalau dalam satu perjalanan kamu tiba-tiba ketemu orang yang sering  kamu harapkan akan bisa bertemu, tapi awalnya kamu tidak sadar bahwa orang di depanmu itu adalah orang yang sudah lama ingin sekali kamu temui? (Imajinasikan sendiri ya...)

Tapi saya mau membagi pengalaman. Alkisah, suatu waktu, saya berangkat untuk satu perjalanan dinas ke Tanjung Pinang, dan Anambas di Kepulauan Riau. Ceritanya saya akan liputan perjalanan bersama perusahaan pelayaran nasional pelat merah, PELNI.

Sebelum ke Anambas, kami transit satu hari di Tanjung Pinang. Begitu tiba di sana, kami beristirahat sebentar di lobi hotel untuk melepas lelah sehabis perjalanan naik pesawat dari Jakarta plus perjalanan sekitar 30 menit dari Bandara Haji Fisabilillah, Tanjung Pinang.

Saat itu bertepatan dengan waktu sholat Jumat. Beberapa rekan jurnalis pria pergi ke masjid di dekat hotel untuk sholat. Tinggallah saya, seorang wartawati senior Kompas, dan seorang pria berkacamata duduk di kursi coklat di ruang tamu hotel.

Aku tanya dia dari media mana, dia bilang bekerja di salah satu majalah traveling. Sebenarnya kami sudah sempat berkenalan ketika masih di bandara Soekarno Hatta, sambil sarapan menunggu jam penerbangan. Akan tetapi, dia hanya menyebut nama depannya saja saat itu, Yudas.

Kami berbincang-bincang, membunuh waktu sambil menunggu teman-teman yang lain. Pria itu cerita bahwa dua minggu sebelum kunjungan kami, dia sebenarnya juga baru kembali dari Tanjungpinang dan liputan di sana. Dia bocorin apa-apa saja yang unik untuk diliput. Pikiranku saat itu, ‘wah, mantap juga dia ini, tampaknya sudah banyak makan asam garam perjalanan’. (Begitulah memang).

Setelah menyimpan tas ke kamar hotel, dua mobil Kijang jadul yang sudah agak kusam tiba di parkiran hendak menjemput kami bersembilan. Kami pun dibawa ke satu tempat makan yang sedang nge-hits saat itu, RM Mi Tarempa.

Di RM yang saat itu tidak terlalu ramai, kami memesan beberapa makanan yang khas daerah Kepri. Tak ketinggalan mi Tarempa, aneka kudapan. Begitu makanannya diantar, kami bukannya langsung makan padahal saat itu sudah kelaparan. Kami mengeluarkan kamera masing-masing dan mulai jeprat-jepret. klik.. klik.. klik..

Rekan seperjalananku saat itu punya gadget yang keren-keren, termasuk si pria berkacamata. Mereka ada yang kerja di Trans Tv, NatGeo, Kompas (sudah disebut ya tadi). Lalu sambil makan, kami diskusi lagi tentang lokasi-lokasi yang seru dan keunikan Tanjungpinang.

Pria berkacamata yang duduk di depanku menceritakan tentang satu topik yang diliputnya lalu tiba-tiba bilang “Itu kemarin fotonya sudah ada di blogku. Sebentar ya.” Dia sibuk membuka browser di hpnya dan masuk ke laman blog pribadinya, lalu memberikan hpnya kepadaku.

Eng ing eng... Di sinilah saudara… Pada saat aku melihat hpnya yang ada di tanganku itu, aku mencoba mengarahkan pandangan ke alamat situsnya. Lho.. Lho.. Lho.. Yudasmoro.net. Glek. Aku tercekat. Lemas. Mukaku saat itu kayaknya pucat. Dengan ekspresi terbelalak tak percaya (duh.. enggak banget pokoknya) aku menatap dia. 

Fotonya dipinjam dari blog Yudasmoro.net

Pria di depanku sedang asik makan Mi Tarempa pesanannya. Tapi melihatku bengong terus tiba-tiba senyum gak jelas banget, dia jadi ikutan heran. (Mungkin dia mikir, nih orang kenapa dah)

Handphonenya ku kembalikan segera. Lalu aku konsentrasi ke makanan di hadapanku. Tapi bukannya menikmati makanan.

Aku berpikir "bagaimana mungkin aku tidak kenal orang yang sudah beberapa jam ngobrol bareng. Padahal dulu aku pernah membeli bukunya dan begitu sering membolak-baliknya, padahal aku begitu sering membaca tulisan-tulisannya di blog. Begitu sering…." Ah, sudahlah. 

Tapi aku gak sepenuhnya salah kok. Soalnya foto dia di blog dan di sampul depan bukunya memang sedikit beda dengan aslinya sih :). Terus di awal-awal perkenalan dia hanya menyebut namanya Yudas, bukan Yudasmoro. (cari pembenaran)

Ya begitulah saudara-saudara, makanan di depanku akhirnya agak sulit ketelan. Habis otakku terlalu sibuk mengingat-ingat tulisan-tulisan si Mr di depanku yang dulu pernah diam-diam ‘kusantap’ saat galau mau pindah haluan. 

Alkisah, aku pernah ingin memutar haluan menjadi travel writer. Sempat beberapa kali mengisi rubrik Melancong di media terdahulu membuatku berpikir bahwa menjadi penulis perjalanan itu sangat menyenangkan. Kamu dibayarin untuk melakukan hobimu, kedengarannya satu pekerjaan yang sempurna kan? Bisa jalan-jalan ke mana saja, khususnya ke tempat-tempat yang mungkin kalau pakai dana dari kantong sendiri entahlah bisa terwujud atau tidak.

Sebagai pemanasan dan persiapan, saya pergi ke toko buku Gramedia di dekat kosan saya. Beberapa buku tentang perjalanan masuk ke keranjang belanjaan, antara lain Naked Traveler (Trinity), Travel Writer, Titik Nol (Agustinus), dan kumpulan tulisan tentang lokasi wisata tertentu seperti pantai-pantai di Jawa Tengah dan di Lombok.

Buku-buku itu begitu sering kubaca. Termasuklah buku Travel Writer yang di sampulnya ada pria berkaos kuning yang sedang asik dengan laptopnya duduk di peron kereta api. Why? Karena dia menyajikan banyak tips jadi penulis perjalanan freelance. Tulisannya bagus. Pengalamannya hidupnya juga seru, keluar dari jobnya yang sudah mapan sebagai manager di salah satu restoran fastfood demi menjadi penulis perjalanan. Menarik, bukan?

Sebelum mi gorengku habis, akhirnya ku beranikan juga bertanya sama si pria berkacamata. “Mas, mas ini nulis buku kan yang judulnya Travel Writer kan? Mas namanya mas Yudasmoro ya ternyata. Hehe, saya beli buku dan udah sering baca blogmu mas.” (dengan ekspresi fans ketemu idolanya…hahahaha).

Saya sih gak kebayang, gimana ekspresiku yang sangat norak hari itu. Di sini saya sadari bahwa memang tulisan-tulisan seseorang, di buku, di koran maupun di blog, itu bisa membuatmu serasa berteman dengan penulisnya. Serasa sudah ikut dalam perjalanan-perjalanannya. Serasa mengenalnya (padahal belum pernah ketemu). :) Yang jelas, I was happy.

 Nah, ini kuberikan foto-foto di tengah liburan eh liputan bareng selama di Tanjung Pinang. 

It's a happy journey.
Abaikan gaya saya yang seperti mbok-mbok ya, soalnya ada tragedi dengan jeans saya.  

Minggu, 01 Maret 2015

Uang Mengalir Dari Bunga Segar


Bunga segar bagi sebagian orang hanyalah bunya yang sedap dipandang. Namun di tangan Rosita Yuwanasari, 36 tahun, bunga segar dan tanaman hias adalah peluang bisnis yang sangat menjanjikan. Wanita yang berlatar belakang notaris ini jeli melihat ceruk bisnis di bidang usaha rangkaian bunga dan uang pun mengalir lancar ke kantongnya. 
 
Bunga segar tak hanya bermanfaat menenangkan pikiran tapi juga membahagiakan. Wanita asal Klaten, Jawa Tengah ini berujar bunga juga masih jadi pilihan yang lumrah untuk mengungkapkan perasaan dan hadir dalam kondisi sukacita maupun dukacita. Tak hanya itu, pajangan bunga pun banyak terlihat di aneka korporasi mulai dari pemerintahan hingga swasta. 

Karena itu ia optimistis saat mendirikan perusahaannya PT Taraporter Indonesia (Tar A Porter) pada tahun 2010 lalu. Ia melayani pesanan rangkaian bunga untuk pernikahan, momen khusus, parcel, bunga papan dengan proporsi target 80 persen pasar korporasi dan 20 persen pasar retail. “Omsetnya sekarang sudah mencapai ratusan setiap bulan,” kata dia.

Usaha merangkai bunga segar menurutnya cukup menguntungkan karena pasarnya selalu ada. Meski tak benar-benar mengungkapkan jumlah pendapatannya, Rosita berujar ia masih leluasa memperoleh margin keuntungan sekitar 20-30 persen.

Cikal bakal Tar A Porter sendiri sudah pernah ia “lahirkan” pada tahun 2003 dengan merogoh kocek Rp 250 ribu dari kocek suami, Wibawa Prasetyawan. “Uang Rp 250 ribu itu saya dapat dari gaji suami yang waktu itu Masyaallah ya namanya kita kan baru freshgraduate kerja,” kata dia.

Saat itu, Rosita yang hamil tua sedang mengandung anak keduanya dan baru saja mengundurkan diri dari bagian legal di sebuah konsultan asing. Ia lalu mulai membagikan brosur dan membuat penawaran penyewaan tanaman hias ke gedung-gedung dan mall di sekitar Sudirman, Jakarta Selatan. Ternyata banyak perusahaan yang menyewa tanaman hiasnya.

Dua tahun berselang, bisnis yang awalnya fokus pada penyewaan tanaman hias itu mulai berkembang. “Awalnya tanaman hias saja untuk gedung, tapi lama-lama gedung nanyain bunga segar juga. Apapun permintaanya, waktu itu kita selalu ngomong ‘iya bisa!’ mikirnya baru belakangan,” katanya terbahak.

Permintaan pun berkembang hingga ke pesanan rangkaian bunga meja, bunga papan, dekorasi pernikahan, bunga ucapan ulang tahun, orang sakit juga melahirkan. Pada tahun itu ia sudah punya banyak klien di antaranya Gedung ArthaGraha, BEJ, Gedung Summit Mas. Namun, di saat bisnis dan asetnyanya sedang menanjak, suaminya mendapat beasiswa pendidikan ke Inggris memintanya ikut serta.

Tak sempat mengembangkan manajemen usaha, ia terpaksa menjual bisnisnya ke klien karena tak ada yang bisa melanjutkan. Saat kembali ke tanah air tahun dua tahun kemudian, ia tak langsung bisa melanjutkan bisnis karena masih ikut suaminya yang dinas ke Semarang, Bali dan Surabaya. Tahun 2010, kala magang notaris, anak keempat dari lima bersaudara ini mulai gelisah dan ingin wirausaha kembali.

“Saya telpon klien lama karena masih keep in touch jadi teman dan bilang ‘kok pengen lagi ya, ternyata mereka mendukung dan dua hari kemudian mereka order,” kata dia. Meski mengaku saat itu masih belum siap, ia akhirnya memberanikan diri, apalagi saat itu kontrak pesanan pertamanya terbilang besar, Rp 15 juta untuk sebulan.  

Pesanan demi pesanan pun bergulir. Rosita yang sudah mengetahui jaringan bisnis ini pun mulai menekuninya dengan serius dan mulai membangun manajemen agar bisnisnya bisa stabil. “Saya mempersiapkan diri karena sudah merasakan pahitnya ketika kerjaan ini harus saya tinggalin tanpa ada yang ngurusin,” kata dia.

Selama setahun ia fokus membangun teamwork, SOP, manajemen dan sistem usahanya. Ia menyasar segmen pasar kalangan menengah atas dan membanderol rangkaian bunga segarnya dengan harga bervariasi mulai Rp 200 ribu hingga Rp 2 juta. Ia juga membuat portpouri untuk memanfaatkan limbah bunga layu dan menyulapnya jadi souvenir cantik.

Untuk bunga segarnya Rosita mengambil langsung dari para petani di daerah Bandung, Ambarawa, Malang. Ia juga mengimpor beberapa varian mawar, lily dan tulip dari berbagai Belanda dan Casablanca. Berbisnis rangkaian bunga segar, kata Rosita tidak terlalu punya kendala berarti kecuali masalah kelayuan. “Layunya bisa dalam waktu seminggu tapi kita ada strategi untuk itu sehingga tidak terlalu tinggi lossnya,” kata dia.

**

Duplikasi Ke Seluruh Nusantara
Teknik pemasaran yang dilakukan notaris lulusan Universitas Airlangga ini terbilang unik. Tak hanya mengandalkan toko offline, ia juga memanfaatkan media online serta menjalin kerja sama dengan retailer modern seperti Indomaret, meski saat ini masih sebatas di kawasan Jabodetabek. 

“Customer di indomaret bisa memesan bunga tar a porter di Indomaret mulai harga 50 ribu, sudah 
bisa diantar ke rumah. Respon pasar sangat bagus dan kita mendesainnya cukup elegan dan tidak kelihatan murah,” kata dia. Demi menjaring pasar yang lebih luas ke seluruh nusantara, ia mulai belajar untuk duplikasi usaha.

Setahun beroperasi Rosita mulai mengarahkan usahanya jadi sistem kemitraan. Saat itu, ia diundang Kementerian Perdagangan untuk roadshow business opportunity di Bandung. Sistem waralaba ini masih terbilang baru untuk bidang bisnis rangkaian bunga segar. “Akhirnya kita mencanangkan diri sebagai Business Opportunity dan nantinya franchise bunga pertama di Indonesia,” kata dia.

Sistem kemitraan ditawarkan dengan nilai investasi bervariasi minimal Rp 25 juta. Dengan investasi itu, mitra sudah mendapat training, alat-alat bahan baku, dan marketing tools. “Dengan target achievement Rp 15 juta sebulan, BEPnya bisa 4 bulan,” ujar dia.

Kini Tar A Porter sudah menggandeng 11 mitra. Selain di Jakarta, outlet Tar A Porter sudah tersebar di berbagai wilayah seperti Tangerang, Yogyakarta, Palembang, Kalimantan dan Surabaya. “Banyak sih permintaan tapi saya tidak mau panen mitra, saya cukup hati-hati karena saya mau sustain maka perlu tahu bagaimana karakter mitra kita.”

Ropesta Sitorus

(Tulisan ini sudah pernah terbit di Hariandetik.com) 

Anomali Filantropi Witoko




I will go back to my country, I will learn. I am not 'catastrophe', I am filantropi.”


Beberapa bulan lalu nama Filantropi Witoko, 24 tahun, mendadak menjadi ngetop. Wanita yang sudah bersentuhan dengan dunia modelling sejak usia 15 tahun ini ramai dibicarakan karena dia jadi satu-satunya perwakilan Indonesia yang berjuang di Asia's Next Top Model. Di kancah reality show tingkat Asia itu, selama sekitar 3 bulan, ia memperoleh segudang ilmu. Sayangnya langkahnya harus terhenti di episode keempat. 

Selama acara itu berlangsung, ada masa Filant mendapat pujian dan juga kritik yang pedas. Di episode kedua, misalnya, ia sempat menangis karena dikritik habis-habisan saat pemotretan berkelompok dengan menggunakan busana Prada. Namun, pada episode ketiga, ia mendapat pujian karena memberikan peningkatan signifikan dalam tema foto zodiak Cina.

Filant tereliminasi saat berfoto dalam tema seksi. “I think i'm too afraif to become too sexy,” katanya di hadapan juri. Namun rupanya impiannya memenangkan kompetisi itu harus terhenti. Tapi ia tak mau larut dalam sedih. “I don't think that i'm just an ordinary next door girl anymore. You will see that I will not just stop here, I will go back to my country, I will learn. I am not 'catastrophe', I am filantropi,” katanya optimis di akhir acara. 

Jalan yang ditempuh Filant sekarang ternyata sangat jauh dari angan-angannya, menikah muda lalu menimang bayi mungil. Wanita tomboy berdarah campuran Cina, Jawa dan Dayak ini malah siap dengan resolusi barunya. Bahkan, ia rela mengambil sekolah khusus untuk menimba ilmu baru. Langkah apa gerangan yang disiapkannya? 

Mengenakan jaket jeans warna biru dan celana senada, ia tampak santai saat ditemui di Magnum Cafe , Grand Indonesia Sabtu (29/12) lalu. Saat itu ia menyempatkan waktu di sela-sela hangout bersama teman-teman sebayanya yang datang membawa keluarganya masing-masing. Dengan rambut sebahu yang dibiarkan tergerai, Filan penuh antusias membagi cerita kepada Ropesta Sitorus dan Mercy Raya dari Detik sambil sesekali menyeruput minuman Lychee Iced Tea kesukaannya.

Semakin Percaya Diri
Bagaimana kabar setelah pulang dari Asia's Next Top Model?
Pengalamannya sih bisa lebih banyak karena kita jadi tahu standar di luar itu kayak gimana, karena di Singapura dan Hongkong itu kan lebih kayak base-nya Asia.Yang paling berkesan sih buat aku pas foto sama Akih Hakan di episode ke tiga, tentang Zodiak. Awalnya aku belum tahu dia itu siapa tapi pas aku ke sini teman aku bilang, “iya lo itu kemarin foto sama Akif Hakan. “ Bisa dibilang dia salah satu fotografer hebat di dunia. Dia orang Turkey dan pernah foto sama Vogue.

Jadi satu-satunya wakil Indonesia sempat minder enggak?
Setahu aku kayaknya ada banyak model sih awalnya tapi pas semi final itu yang aku tahu ada 3 orang dari Indonesia ya. Minder sih enggak, ketika datang, pikiran pertamaku “oke, i'm gonna win this”.

Apa kendalanya saat itu?
Mungkin lebih pada bahasa kali ya. Kalau ngomong aku bisa tapi kita di sini kan enggak biasa ngomong setiap hari kan. Contohnya kalau kita sudah biasa tinggal di Jakarta terus harus ke Jawa lagi dan ngomong bahasa Jawa halus, itu kan pasti ada terasa kagoknya. Itu terasa beberapa hari di awal sebelum ketemu jurinya. Tapi bukan berarti jadi banyak diam sih, tetap ngobrol. Modal percaya diri saja. Ya udah salah-salah deh. Ha.ha.ha.

Lalu kecewa enggak saat harus tereliminasi secepat ini?
Sebenarnya gini, bagi aku menang gak menang itu urusan nomor dua sih, karena setelah dari sana, jalannya jadi lebih kebuka banget. Walaupun aku di sana cuma sebentar, tapi link itu kebuka dan banyak tawaran yang masuk. Jadi tidak ada yang kusesalin sih. Ketika aku balik ke sini aku merasa lebih percaya diri. Kalau dulu masih yang ragu-ragu, sekarang jadi lebih matang dan lebih tahu apa yang diingini.

Setelah acara itu ada gak kekuranganmu yang akhirnya ingin diperbaiki?
Ada soal eksplorasi gerak dan gesture. Kalau di sini kan kita lebih banyak majalahnya yang cantik doang dan saat foto beberapa kali jepret sudah dapat lalu ganti baju. Kalau di sana itu enggak cukup, harus yang lebih banyak gerak gitu. Satu baju 10 menit, jadi itu harus ganti-ganti gaya karena kameranya kan tetap on. Itu yang aku harus perbaiki.

Kamu menganggap itu sangat perlu?
Mungkin memang terdengar simple, tapi kalau dalam modelling itu krusial banget loh. Enggak mungkin misalnya nanti ada foto majalah untuk fashion spread 6 halaman kan enggak mungkin gayanya itu-itu doang. Aku memang lebih banyak di catwalk yang lebih menekankan pada cara jalan, aura yang dikeluarin dan dan ekspresi. Tapi sebanyak-banyaknya di catwalk, pekerjaan di foto sih tetap banyak.

Apa pengalaman yang paling menyedihkan saat di sana?
Paling pas di episode dua itu kali ya. Aku orangnya keras banget sama diri sendiri. Bahkan ketika aku pernah pingsan di JFW 2009, aku menangis bukan karena malu atau bagaimana tapi karena aku marah banget sama diri sendiri. Dan hal itu kejadian lagi pas di episode dua. I knew that I can do this, tapi karena aku enggak bisa, jadinya marah sama diri sendiri. I'm blaming my self. Aku keras banget.

Tawaran apa saja?
Aku dapat tawaran untuk modelling di Singapura dan di sini juga. Kemarin sempat bolak-balik. Tapi untuk mulai tahun ini aku ingin lebih banyak di dalam negeri kali ya.  Segala sesuatunya kan ada proses dan seperti yang aku bilang di twitter bahwa eliminasi saya itu bukan artinya semua selesai. Tapi itu adalah suatu permulaan sebagai batu lompatan. Bahkan aku ketika ketemu Tyra Banks dia juga bilang, “Jangan terlalu berharap dari acara ini, karena ini hanyalah sebagai batu lompatan kalian.”


Tak berniat untuk go internasional sekalian?
Jujur, untuk modelling saya sudah cukup sangat puas karena udah 15 tahun di sini. Apa lagi sih yang mau di mau. Bahkan desain-desain kayak Alberta Feretti, Jean Paul Gautier, Valentino, itu kan banyak untuk di Indonesia dan aku sudah jalan. Terus apalagi? Di sana gitu-gitu juga. Dari dulu aku sudah show untuk desainer-desainer seperti Denny Wirawan, Oscar Lawalata, Raden Sirait, Anne Avantie, Barli Asmara, Alberta Feretti, Jean Paul Gautier, Valentino. Juga untuk brand-brand di acara Jakarta Fashion Week, Indonesia Fashion Week, Jakarta Fashion & Food Festival. Mungkin sekarang yang lebih kebuka itu lebih pada bigger step-nya sih. Tapi tetap modelling enggak akan aku tinggalkan.


Dikira Pembantu Hingga Dikata-katain.

Apa rasanya ketemu sama juri yang juga model senior seperti Nadya Hutagalung?
Apa ya, di sini juga sudah sering ketemu sama artis juga. Nadya, oke she'e pretty, beautiful, gorgeus, ya sudah. Ketemu Tyra Banks juga lebih kayak ketemu serior.

Siapa idolamu dalam dunia modelling?
Enggak ada sih, tapi aku selalu tetap nonton fashion tv. Kita tahu perkembangan terbaru dari dunia model. Enggak bisa dipungkiri yang namanya model itu penampilan penting lo, juga cara jalan dan keseluruhannya. Ketika melihat dan observe di televisi itu, kita juga belajar.

Role modelmu siapa?
Enggak ada. Karena begini, model itu yang penting karakter. Kayak cara jalan Dominique, Laura Muljadi, Karenina, Tracey Trinita bahkan Ria Juwita sekalipun enggak bisa sama. Ambil contoh, Ria Juwita ngajarin aku sama Dominique, tapi cara jalan kami beda total meskipun gurunya sama. Karena yang namanya karakter. Jadi aku lebih ngelihat kepribadian orang gitu, bagaimana dia melebur dengan baju karya desainer itu sendiri.

Sejauh ini karir di model lancar dan mulus?
Enggak mulus juga sih. Jadi model itu berat banget. Cacian-cacian itu pasti ada. Pertama kali aku jadi model gitu aku dikirain pembantu. Pas aku datang itu, make-up artisnya itu bilang “Oh kamu model ya, saya kira kamu pembantu.” Jadi i've been through a lot sih, dan tidak ada yang ku sesali karena dengan begitu aku jadi kuat.

Kapan tepatnya mulai jatuh cinta sama dunia modelling?
Justru setelah balik dari sana (Singapura). Aku baru benar-benar meyakini bahwa memang jalannya gue di sini. Tapi bukan berarti selama ini setengah hati ya karena aku pasti dengan totalitas menjalani apa yang di depanku. Hanya saja, ketika itu belum ada perasaan, bahwa ini hidupku dan jalan yang ditakdirkan untukku. Ketika balik dari sana baru sadar, “oke, jadi gue di sini toh”. Selama ini masih proses pencarian sih.

Apa kata-kata kritik yang ngena banget?
Aku menanggapi semuanya secara profesional sih, karena di dunia modelling kalau kita ambil perasaan, aduh, sudah berhenti dari entah kapan kali dan sudah sakit hati kayak apaan. Gini, kita harus pintar sih untuk tahu mana yang kita jadikan kritik yang membangun atau kita lewatin saja.

Maksudnya?
Jadi ketika aku balik dari sana, wow, orang ngata-ngatainnya gila-gilaan banget. Orang-orang yang enggak ngerti dunia fashion juga terus ngomentarin yang kurang bagus. Ada orang yang nge-twit ke aku gitu, dia bilang banyak hal. Awalnya kucuekin. Tapi mungkin karena aku lagi capek banget, akhirnya aku bilang gini “Oke, kalau anda merasa lebih bagus dari saya, anda silahkan menggantikan saya di acara itu. Saya tidak keberatan, try my shoes.” Besok paginya dia minta maaf. Karena memang kayak pemain bola deh, kita sorakin. Coba kalau kita yang lari-lari gitu ngejar bola, belum tentu bisa, kan? Ha.ha.ha. Karena memang kita lebih mudah men-judge dibanding melakukan sendiri.

Jadi beban gak bawa nama Indonesia?
Enggak sih, ketika di sana aku bertanding sebagai pribadi aku sendiri. Kalau bawa nama negara belum pernah. hahaha.

Banyak yang komentar Anda kurang merasa seksi atau kurang percaya diri?
Ah tentang itu, iya, mungkin aku merasa kurang nyaman dengan model cowok itu kali ya. Jadi mungkin ketika itu enggak all out ya kali ya. Dulu aku pernah syuting sama artis cowok pemain layar lebar, Oka Antara dan ada adegan di mana dia meluk aku. Dan aku fine-fine aja. Jadi itu lebih situasional aja sih, waktu itu agak enggak nyaman.

Soal dunia model, ada sikut-sikutan enggak?
Enggak sih, asalkan kitanya enggak kurang ajar dan enggak cari masalah. Kalaupun ada semacam senior atau gap dengan junior itu zaman dulu banget sih. Sekarang model-model baru pun rata-rata sopan sih. Aku tipe orang yang gak cari masalah, jadi orang pun segan dong. Kecuali kalau kitanya pun belagu.

Bagaimana Anda memandang soal glamoritas dalam dunia model?
Itu tergantung kita temanan ama siapa sih. Ada beberapa yang memang glamor banget, ada yang biasa aja. Kalau saya termasuk yang biasa aja. Kalau kelancaran karir tergantung hubungan kita sama klien, enggak ada hubungannya dengan mereka. Jadi ngapain mesti ambil pusing.

Alasan bahwa itu penting untuk jaga eksistensi?
Penampilan memang penting, tapi bukan berarti harus yang bermerek. Bahkan desainer-desainer luar negeri itu selalu bilang gini “you can buy clothes but you can't buy style”. Itu yang kutanamin ke aku sih, aku enggak harus beli barang branded tapi I have my own style. Saya enggak ada yang bermerek. Sayang duitnya, musti nabung 10 tahun - 15 tahun, itu juga enggak kebeli. Kalau dia bisa beli itu ya silahkan, kalau aku lebih baik duitnya dipake untuk liburan buat ke Bali atau ke Gili. Ha.ha.ha.


Tak Berbakat Akademis dan Suka Berantem

Filant lahir sebagai anak kedua dari empat bersaudara yang semuanaya adalah wanita. Namun, hanya Filant yang tomboy, sedangkan saudaranya lebih mirip karakter ibunya, Lestari Sarino (50) yang memang mantan model dan presenter televisi. Melihat tingkah polah anaknya, Edy Witoko (54) yang mantan atlet volly nasional pun mulai resah dan memasukkan sang putri ke dalam sekolah modelling. Tapi bukannya mulus, Filant pun sempat menentang meski akhirnya luluh.

Filant saat kecil itu seperti apa?
Aku itu orangnya tomboy, enggak tahu cara berpakaian. Temanku pun sama cowok semua. Waktu kecil suka yang lompat sana, lompat sini, kejedot, jatuh, pulang-pulang berdarah. Ha.ha.ha. Kalau mau turun dari ranjang itu berdiri dulu di sisinya terus lompat dan lari. Pokoknya lincah banget. Waktu SD aku juga suka berantem sama anak cowok. Ha.ha.ha.

Nah, bagaimana bisa jadi model?
Jadi karena terlalu tomboy gitu, orang tua nyuruh sekolah modelling. Awalnya aku enggak mau, toh siapa yang mau jadi model? Orangtua bilang “Oh enggak apa yang penting kamu tahu bagaimana cara berpakaian dan bagaimana jadi seorang wanita. Itu yang paling penting.”

Lalu?
Ya, akhirnya aku masuk sekolah modelling di John Casablancas di Jakarta. Pihak sekolah melihat aku punya potensi dan dikontrak di sana. Karena masih muda banget, itu aku masih foto-fotonya di Gadis, Sweetseventeen. Seiring berjalannya waktu, jadinya tomboynya itu berkurang. Kayak gini, aku lebih feminin, tapi enggak cewek-cewek banget juga, tetap tomboy. he.he.he

Kalau saat sekolah, termasuk tipe yang gigih?
Ah enggak. Bukan karena malas, tapi memang kekuatannya enggak di sana kali ya.  Aku terbulang anak yang baik-baik saja sih, tapi memang akademiknya kurang begitu bagus, enggak ada juara. Kekuatan aku di analisis makanya psikologi lebih cocok karena itu kan semuanya analisis daripada teori. Kan ada orang yang pintar di math atau bidang lain. Dulu aku masuknya di IPA karena aku suka kimia dan hapalan itu benar-benar enggak deh.

Jadi bakatmu dalam bidang apa?
Bakat aku tidak di bidang akademis tapi dalam art. Waktu SD aku masuk sanggar dan ikut lomba gambar di Jepang. Untuk kegiatan ekstrakurikuler aku pilih paduan suara waktu SD, waktu SMA sempat masuk eskul lukis tapi enggak pernah masuk. Ha. ha. ha.

Lalu kenapa menekuninya?
Tiap orang kan ada jalannya masing-masing sih dan PR-nya kita untuk mencari dan menjalani yang mana. Kayak misalnya aku, aku memang suka gambar tapi itu hanya sebagai hobby, kalau ditekuni juga mungkin belum tentu jalan aku di sana seperti memang orang yang sejak muda jalannya diarahkan untuk ke sana.

Ke psikologi dorongan siapa?
Psikologi itu panggilan. Aku kepengen nolong anak-anak dan remaja. Ketika remaja itu kan masa-masa labil dan peranan tv serta media kurang menunjang. Jadi mereka cenderung lebih cepat dewasa di banding umurnya. Mereka mungkin perlu pengarahan.

Ingin buka praktek psikolog atau jadi pengajar?
Dua-duanya kali ya. Mungkin itu karena namaku juga ya. Filantropi itu artinya kepedulian dan cinta kasih terhadap sesama manusia. Dari dulu lebih ada perasaan peduli terhadap sesama manusia itu tinggi banget.

Karakter Filant itu aslinya bagaimana?
Keras kepala. Kalau lagi bete, terus ada orang ribet aku bisa marah dan jadi berantam karena aku paling kesal sama orang yang ribet.

Hal apa yang paling pantang menyalahi prinsipmu?
Mungkin karena aku belajar psikologi, jadi tidak boleh memaksakan prinsip yang aku punya, bahkan itu agama atau personal. Jadi ketika seseorang berbeda aku akan menghargai dan aku tidak akan memaksakan prinsip aku. Ketika aku punya pacar beda agama, oke, aku tidak masalah untuk menikah beda agama. Tetapi jangan pernah meminta aku untuk pindah agama dan aku pun sebaliknya.

Impian Menikah Muda

Apakah jadi model memang cita-citamu dulu?
Sejak SMA hingga tamat kuliah, aku pengennya itu cuman menikah muda, punya anak, buka praktik psikologi dan punya butik. I'm a simple person I only have a simple life. Enggak ada pernah terpikir akan jadi seperti ini. Bahkan ini teman-teman aku semua sudah pada punya bayi semua kan. Mereka semua ngomongin masalah ASI, masalah bayi dan segala macam. Rasanya gimana gitu, dulu masih bareng banget, omongannya nyambung, sekarang malah lucu jadinya. Tapi namanya itu rencana Tuhan ya, kita enggak ada yang tahu ya, kita juga enggak bisa menolak kan. Jadi cuma bisa disyukurin dan dijalanin dengan maksimal.

Apa yang dilihat dari menikah muda, kok kepikiran?
Apa ya? Emang enggak ada yang mikir gitu ya. Oke, aku just like menikah,  having a cute baby. Sharing the love itu sih, sama suami sayang-sayangan berdua, sama anak juga, aku suka anak-anak.

Tapi kan tidak semua pernikahan seindah itu..
Iya memang tidak semua seindah itu, pasti ada tantangannya. Maybe because i'm simple, sih. I just wanna married young and then have a baby. Sekarang i'm 24 dan enggak punya pacar. Ha.ha.ha.

Kecewa gak karena mimpi itu belum kesampaian?
Aku memang enggak jadi menikah muda, tapi aku punya jalan karir yang besar sekarang ini bahkan jauh lebih besar dari yang pernah kubayangin sebelumnya. Tapi tetap enggak bisa dibohongin bahwa sebagai manusia, apalagi saat berkumpul dengan teman-teman, ada perasaan, 'yah sayang ya”. Tapi, bukan kecewa sih ya.

Bersyukur “diceburin” ke dunia model?
Iya, jelas banget. Tidak ada yang kusesali dalam hidup. Sekali kita menyesal itu artinya kita tidak bersyukur, maka hal-hal negatif akan datang.

Dua Kepribadian

Jika sedang ada kesempatan, Filant sangat suka berkunjung ke dua tempat favoritnya, Bali dan Gili. Di sana, dia bebas melakukan hobbynya, tanning. “Tipe kulit aku itu susah hitam tapi cepat banget baliknya, aku baru dua minggu lalu lo ke Bali tapi ini kulitnya udah balik,”kata dia sambil memperlihatkan sisa kulitnya yang tan di bagian pundak kirinya. Ternyata, seperti kebanyakan orang, Filant juga tidak menyukai beberapa bagian tubuhnya. Bahkan ia juga menyimpan dua sisi anomali yang tak banyak orang ketahui.

Kamu suka tanning saat sebagian besar orang justru suka memutihkan kulit..
Itu selera sih dan kita enggak bisa maksain. Bagi aku kulit tan itu lebih sehat dan seksi dan aku ngerasa seksi kalau kulitnya lagi tan. Kalau putih itu kesannya pucat banget.

Suka merawat tubuh dan dandan?
Aku enggak terlalu. Kalau perawatan paling cuma kayak mandi. Aku suka scrub tapi di rumah. Soalnya enggak betah di salon paling untuk creaambath saja itu pun suka bosanan dan cepat bete.

Bagian tubuh mana yang terseksi?
Mata. Aku suka bermain dengan sorotan mataku sih seperti flirting. Karena ketika berhadapan dengan seseorang kan kita melihat matanya, nah menurutku itu bagian yang penting.

Senang dong saat difoto?
Enggak. Aku paling dibenci difoto. Bahkan sampai sekarang, kalau orang nawarin foto gue enggak mau difoto. I think I have like two personality, one is the real me and the one that really love the fashion industri.

Semacam anomali ya?
Aku yang asli ya ini yang sekarang,  I don't like to be in the picture. It's like in beetween. I have a feminine site but I also cowok banget. Tapi ketika aku jadi si Filant yang jadi si model itu bisa-bisa, “oh udah selesai (fotonya), lagi dong”. Ha. ha. ha. It's kind a weird.

Ada enggak bagian tubuh yang gak disukai?
I don't really like my ass because it's too big to me. Sebenarnya sejauh ini fine-fine saja sih, tapi aku enggak terlalu suka saja.

Cara mengakalinya?
Apa ya, udah dari sananya mau gimana. Paling dari sisi pakaian saja. Aku gak bisa pakai legging doang sama kemeja gitu. Pertama itu bukan seleraku, kedua aku enggak nyaman, dan kalaupun aku nyaman, pinggul sama pantat aku gede banget, jadi kesannya jorok banget, maksudnya seronok.
Aku lebih suka pakai jeans, lebih nyaman sih, kalau ojekan juga oke. Kalau rok atau gaun itu kalau kawinan doang.

Ohya, apa resolusi tahun ini?
Mengembangkan karir. Kalau sekolah lagi ada niat tapi nanti. Jadi karir, sekolah lalu nikah. Masa pengen nikahnya sudah lewat.

Usia berapa rencana mau nikah?
Saya cari pacar dulu ya, nanti kalau ketemu saya bilangin. I don't know sih, aku juga sekarang lagi gak mau cari pacar.

Tipe cowok ideal?
Saya biasanya Indonesia Timur sih, biasanya saya pacaran sama Ambon, Manado, NTT karena seksi menurut saya. Cuman sekarang ini enggak tahulah. Masih pengen total, kayaknya nanggung kalau udaah kesini tapi karirnya enggak lanjut.

Kabarnya sekarang lagi dekat dengan Denny Sumargo?
Buset! Bukan. Dia (Denny) hanya teman. Aku kan sudah bilang aku tomboy, temanku banyak cowok. Kalaupun ada teman wanita, sudah pada hamil dan punya anak semua.

Oh, tidak benar ya?
Orang suka salah mengira aku banyak cowoknya. Sebenanrya enggak, karena aku anak tomboy dan kalau sama cewek kan ribet, misalnya mau ngajak ketemuan dandan dulu. Kalau ama cowok lebih simpel.

Dulu banyak pacar?
Enggak. Dulu aku jelek banget kali even sekarang juga jelek banget.

Bukannya dulu bunga desa ya?
Di banding bunga desa, lebih cocok lalat desa kali iya. Soalnya kerjaannya ngerecokin orang pacaran, Teman-teman lagi sama pacarnya gitu, gua ngapain kek yang penting ikut. Ha.ha.ha. Dulu cinta-cinta monyet kali ya, tapi baru serius pacaran itu pas 2008. Aku orangnya bosanan, tapi kalau udah sayang I can do everything for him.

Kepincut Dunia Akting

Filantropi terbilang berani. Saat langkahnya sebagai model sedang cemerlang, ia justru mengaku ingin mencoba bidang baru, main film layar lebar. Keputusan yang bisa membuat orang mengerutkan kening. Tapi Filant sudah mantap. “Walaupun aku misalnya tahun ini melebarkan karir ke dunia akting, bukan berarti aku cuman di sini doang. Aku punya impian yang jauh lebih besar, dan itu dimulai dari sekarang,” kata dia. Selama ini ia kerap mendapat tawaran main film yang terpaksa ia abaikan karena padatnya jadwal show. Meski tak akan meninggalkan modelling, tahun ini ia akan menyisihkan waktu untuk akting. “Yang kucari adalah tantangan!”

Lalu apa rencana untuk karir?
Aku punya plan tersendiri, dan aku memang belum bisa ngomong sekarang. Saat ini, jujur aku lagi pengen banget ke layar lebar, jadi pengen nyoba banget.

Anda ingin bermain dalam film yang bagaimana?
Yang jelas bukan tentang cinta-cintaan. Aku pengen bermain dalam thriller tapi bukan setan-setan, lebih yang berbau psikologis. Berikutnya pengen yang komedi. Tapi intinya sih karena ini masih baru banget sih, jadi aku enggak mau terlalu picky.

Lawan main yang paling ingin?
Siapa ya, siapa aja boleh sih. Ha.ha.ha. Tapi aku pengen banget sih sama yang sutradaranya Riri Riza, Rudy Sujarwo, Nia Dinata. 

Suka nonton film inddonesia?
Cuma yang karya-karya mereka. Aku enggak suka nonton film yang horor yang setan-setan itu, sumpah aku takut banget. Tapi aku suka kayak pembunuhan dan misteri, jadi thrillernya negangin secara psikologis.

Belajar akting sendiri atau ada gurunya?
Aku sudah daftar kelas di Jim Academy mulai Januari ini. Aku pengen all out sih. Kalau ngelihat artis-artis di Hollywood, mereka itu benar-benar ngambil kelas akting, bahkan sekelas Nicole Kidman.

Ingin mencari popularitas?
No! Cape lagi kalau ngomongin popularitas itu. Misalnya yang nge-twitt banyak, satu enggak dibalas yang lain marah. Jadi popularitas itu capek lagi, enggak ada privacy sama sekali.

Bukannya nanti kalau sudah masuk ke dunia entertainment ada risiko popularitas itu?
Iya, segala sesuatunya itu akan ada harga yang harus dibayar. Aku enggak suka jadi public figur tapi mau enggak mau harus siap. Jadi banyak hal yang aku harus pelajarin membagi antara personal dengan yang bukan. Sulit banget sih memang, tapi saya itu pengen ketika jalan tidak ada orang yang ngenalin. Ha.ha.ha.

Tulisan ini telah terbit di rubrik EMPAT MATA Hariandetik.com