Kerutan mulai terlihat jelas di wajahnya yang tak lagi
kenyal. Wajar saja. Usianya sudah memasuki 62 tahun dan sepanjang itu pulalah
wanita itu bekerja keras menjalani hidupnya di dunia. Sebagai anak ke 4 dari 6
bersaudara, sebagai istri, sebagai ibu dari lima anak.
Wanita itu kupanggil Omak, sebutan Ibu dalam bahasa Batak. Dia wanita yang
melahirkan aku, sebagai anak keempat yang lahir dari buah rahimnya. Menjalani
kehidupan sebagai ibu dari lima anak tentu tak mudah. Tanpa pembantu, dia
melakukan segala pekerjaannya sendiri.
Meski kerepotan, sejak aku mulai bisa mengingat, tak pernah
ku lihat ibuku berdiam diri di rumah. Dia membereskan kebutuhan kami sehari-hari
di rumah sekaligus menjalani “karirnya”. Ibuku berprofesi sebagai pedagang
kacang ke pesta-pesta.
Pagi-pagi, dia bangun pukul 04.00 WIB. Ibarat sulap, dalam
sekejap dia bisa menyelesaikan semua tugas-tugas rumah tangga. Ketika kami bangun,
biasanya ibu duduk di perapian. Perapian kayu yang banyak asapnya. Di situ dia
memanggang kacang tanahnya. Kadang sambil duduk terkantuk-kantuk.
Bila sudah matang, diajaknya aku mengangkat kacang itu dari
perapian. Kemudian, dia masih menyempatkan menyisir rambut kami yang keriting
berantakan. Merapikan dinas merah putih kami. Lalu memberikan segelas air
tajin, sesuatu yang kami sebut sebagai susu beras.
“Minum ini ya. Biar kalian pintar. Yang rajin sekolah,
kalian harus sampai sarjana biar enggak bodoh,” tukasnya suatu pagi, sambil
menyodorkan segelas air tajin yang sudah dicampur gula.
Kami tak terlalu tahu saat itu apa khasiat dari pemberiannya
itu. Bagi kami itu hanya satu bentuk kepahitan lantaran tak bisa membeli susu
formula dari sapi yang mahal.
Pernah sekali, wanita yang tak pernah memoles wajahnya
dengan lisptik dan bedak itu, marah besar padaku. Dia sangat kesal lantaran aku
menolak pergi ke sekolah. Alasanku saat
itu karena uang jajan yang diberikan terlalu sedikit.
Uang kertas yang diberikannya pecahan Rp 500, saat itu
sebenarnya sudah bisa membeli satu mangkuk mi yang enak. Aku yang masih duduk
di kelas 2 SD merengek, sambil menyobek-nyobek uang bergambar monyet itu.
Tiba-tiba wanita yang kukenal jarang marah itu naik pitam.
Jejak-jejak sapu lidi pun sukses menempel di betisku yang mungil. Itu kali
pertama kuingat ibuku marah.
Soal sekolah, dia memang tak mau tawar menawar. Berulang
kali disebutnya cita-citanya adalah ingin anak-anaknya semua mencicipi sekolah,
hingga ke tingkat maksimal yang dia mampu.
“Aku tak mau kalian seperti aku. Kalau bisa janganlah kalian
menjadi buruh tani seperti aku, yang harus mencangkul dan menanam padi hingga
punggung jadi bungkuk,” ucapnya lirih, suatu malam saat menemani kami belajar
pakai lampu minyak.
Saat itu ada aku dan adikku yang kini sudah almarhum. Adapun tiga abang-kakakku yang
umurnya terpaut lumayan jauh sudah sekolah tingkat SMA dan dititipkan di rumah
saudara.
Begitulah. Wanita Batak boru Panjaitan yang bertubuh kurus mungil
itu terus bekerja keras. Menjadi buruh tani, menjunjung kacang dagangannya ke
pesta-pesta adat, dan menabung mati-matian untuk uang sekolah anaknya.
Tatkala satu per satu anaknya mulai mampu mengenyam
pendidikan tinggi, dendamnya telah terbayarkan. Dendam pada kemiskinan dan
kebodohan lantaran tak bisa sekolah di jaman penjajahan.
“Aku memang tak tamat SD. Tapi dengan cangkulku, aku bisa
menyekolahkan kalian sampai sarjana bahkan S2. Aku sudah merasa ikut menjadi
seorang sarjana,” tuturnya lembut sambil mengelus kepalaku saat hari kelulusan
dulu.
Bahagia terpancar jelas di wajahnya saat itu. Tak sia-sia
dia membanting tulang, terpanggang panas matahari.
Kulihat kerutan itu makin tampak jelas di kulitnya. Tak
hanya dahi, tapi pipi, dagu, tangan. Semua kerutan itu menyimpan rekam jejak
kegigihannya saat berjuang untuk lima anak-anaknya. Kini tubuhnya makin
bungkuk, kakinya tak lagi kuat berjalan jauh.
Ah ibu, masih tak kunjung ada
yang bisa kubanggakan untuk menebus jerih payahmu.