Tuan,
Aku sedang duduk di salah satu pojok ruangan serba putih ini.
Walau masih pertama kalinya, ada keakraban yang ditawarkan padaku.
Keakraban dari biji-biji kopi Simalungun yang merelakan dirinya dipanggang, dihancurkan, lalu disiram air panas dalam tekanan tinggi.
Lalu melebur di dalam cangkir tanah liat yang terbentuk karena dibakar dalam bara.
Kopi-kopi lalu menyatu dengan susu indung sapi yang sebenarnya jatah bagi bayinya yang baru lahir di peternakan entah di mana.
Mereka berkorban besar demi membahagiakanku, membahagiakan lidah, kerongkongan, lambung dan saraf-saraf di otakku.
Tuan,
Aku juga menerima kehangatan dari matahari yang berpijar lembut.
Dia menerobos masuk menembus dinding kaca, sampai ke kulit-kulit ari lalu menjalari tulang dan jantungku. Aduh.
Kau pernah bilang, matahari itu sahabatmu di langit entah lapisan ke berapa.
Kudengar dia membisikkan suatu pesan, tapi aku tidak tahu apakah itu darimu atau dari suara di dalamku.
Yang jelas, aku dan matahari bercerita panjang dan lebar tentangmu, Tuan.
Diseretnya aku ke mana saja yang dia mau yang tidak jelas sekat dimensinya.
Tuan,
Dalam tiap-tiap masa seperti ini, aku menjadi tak berdaya.
Kehangatan yang kudapatkan dari banyak pengorbanan seharusnya membuatku bahagia.
Sesaat memang begitu.
Tetapi rasa-rasanya ada perasaan yang janggal yang tak kutahu namanya.
Aku selalu menemukan kau di depan pintu, tanpa aba-aba atau ketukan lalu menerobos masuk.
Begitu saja.
Bercokol di sana selama yang kau mau.
Tuan,
Sejujurnya aku tidak terlalu keberatan bila kau datang.
Sebab terkadang kau hadir dengan membawa oleh-oleh cerita yang kau boyong dari perjalanan jauhmu ke angkasa luar.
Aku selalu suka dengan buah tanganmu, rasanya manis dan segar.
Cuma, kadangkala aku ingin Tuan benar-benar duduk di kursi kayu di sampingku, lalu bersama-sama kita menuang bercangkir-cangkir kopi dan membahas bagaimana rasa kopimu hari ini.
Iya, seperti dulu, Tuan.
Tidak hanya sekadar melayang-layang dalam arus ingatan.
Aku tidak suka bila orang-orang menatapku tajam tatkala bercerita dengan Tuan yang melayang di pikiran.
Mereka berbisik-bisik sambil mencuri pandang padaku.
Pernah ku dengar satu perempuan rambut panjang bilang, "kasihan, ia sepertinya gila."
Duh, tau apa mereka Tuan? Mereka kan tidak mengenal Tuan.
OneFifteenth Coffee, Jakarta.
Pesta Party
Selasa, 24 Januari 2017
Minggu, 04 Desember 2016
Menjadi Driver atau Passenger?
Menjadi Driver atau Passenger?
Kutipan dari Buku Self Driving, Rhenald Kasali.
Dalam bukunya yang berjudul Self Driving, Rhenald mengutip Sastrawan George Bernard Shaw, "Only two percent of the people think, three percent of the people think they think; and ninety five percent of the people would rather die than think."
Hanya ada dua persen. d-u-a-p-e-r-s-e-n. Mari kita simak. Hanya ada dua persen dari seluruh guru yang benar-benar menjadi pendidik, yakni guru kreatif yang membentuk manusia, tiga persen menjadi administrator dan sisanya menjadi guru kurikulum.
Hanya 2% dari pengajar di perguruan tinggi yang meraih S3 dan dari ratusan doktor hanya 2% yang aktif melakukan publikasi dan menjadi guru besar. Dari jumlah itu, hanya 2% yang benar-benar melakukan apa yang mereka tulis dan berdampak bagi masyarakat.
Di banyak negara, hanya 2% yang membangun usaha dari nol menjadi pengusaha menengah dan besar. (Indonesia sendiri belum sampai 2%). Lalu, dari kalangan profesional yang bekerja di perusahaan modern, hanya 2% yang menjadi pemimpin atau menjadi eselon di pemerintahan. Di antara pemimpin itu pun, hanya 2% yang benar-benar melakukan perubahan.
Diperkirakan dari seluruh wartawan, hanya 2% yang menjadi penulis yang dikenal luas. Hanya 2% dari profesi artis yang menghasilkan album yang terkenal atau jadi monumental.
Ke mana yang lain? Benar! Terperangkap dalam mentalitas penumpang yang memilih menunggu ketimbang berinisiatif. Tak merasa perlu mengeksplorasi jalan-jalan baru sehingga hanya tahu jalan yang itu-itu saja. Tak merasa perlu "merawat" kendaraan hidupnya, sehingga boleh "mengantuk", bahkan "tertidur" selama perjalanan kariernya.
Apakah kendaraan kita? Segala sesuatu yang ada pada diri kita, yang menjelma menjadi kekuatan mencipta, berkarya, berprestasi, atau berkreasi. Dalam bukunya, dia menyebut kendaraan ini sebagai gabungan antara kompetensi, kecekatan, dan perilaku.
Sudah jelas, ini adalah semua pilihan. Sebagai manusia yang merdeka, kita bebas memilih. Kita bisa memilih, mau tetap duduk manis, menjadi penumpang di belakang, atau mengambil risiko sebagai driver di depan?
Driver adalah sebuah sikap hidup. Sebuah kesadaran yang dibentuk oleh pengalaman dan pendidikan. Sebuah kesadaran penuh untuk memanfaatkan mandat kehidupan yang diberikan kepadanya.
Masih kata Rhenald, semua adalah pemegang mandat kehidupan. Saat lahir, surat tersebut dipegang orang tua. Setelah dewasa, mandatnya dikembalikan. Pemiliknya dapat memilih untuk menjelajahi kehidupan itu dengan penuh tantangan atau diam saja sebagai penumpang.
Ada yang menggunakan surat mandat itu untuk tumbuh dan berkarya. Sedangkan yang lain menyimpan surat kuasa itu di dalam sakunya sebagai dokumen pribadi. Keduanya sama-sama punya mandat tetapi keberadaannya berbeda. Dan tentu saja hidupnya berbeda.
Kendati sebagian orang bilang ini adalah nasib, kata Rhenalad, ini adalah pergulatan hidup yang diawali ada atau tidaknya kesadaran mandataris itu sendiri.
(Saat membaca buku ini, aku menjadi sadar ternyata aku masih masuk dalam kelompok manusia yang 95%).
Salam.
Ropesta Sitorus.
#PestaBaca 2016 nomor 25.
#Jakarta #4Desember2016
Kutipan dari Buku Self Driving, Rhenald Kasali.
Dalam bukunya yang berjudul Self Driving, Rhenald mengutip Sastrawan George Bernard Shaw, "Only two percent of the people think, three percent of the people think they think; and ninety five percent of the people would rather die than think."
Hanya ada dua persen. d-u-a-p-e-r-s-e-n. Mari kita simak. Hanya ada dua persen dari seluruh guru yang benar-benar menjadi pendidik, yakni guru kreatif yang membentuk manusia, tiga persen menjadi administrator dan sisanya menjadi guru kurikulum.
Hanya 2% dari pengajar di perguruan tinggi yang meraih S3 dan dari ratusan doktor hanya 2% yang aktif melakukan publikasi dan menjadi guru besar. Dari jumlah itu, hanya 2% yang benar-benar melakukan apa yang mereka tulis dan berdampak bagi masyarakat.
Di banyak negara, hanya 2% yang membangun usaha dari nol menjadi pengusaha menengah dan besar. (Indonesia sendiri belum sampai 2%). Lalu, dari kalangan profesional yang bekerja di perusahaan modern, hanya 2% yang menjadi pemimpin atau menjadi eselon di pemerintahan. Di antara pemimpin itu pun, hanya 2% yang benar-benar melakukan perubahan.
Diperkirakan dari seluruh wartawan, hanya 2% yang menjadi penulis yang dikenal luas. Hanya 2% dari profesi artis yang menghasilkan album yang terkenal atau jadi monumental.
Ke mana yang lain? Benar! Terperangkap dalam mentalitas penumpang yang memilih menunggu ketimbang berinisiatif. Tak merasa perlu mengeksplorasi jalan-jalan baru sehingga hanya tahu jalan yang itu-itu saja. Tak merasa perlu "merawat" kendaraan hidupnya, sehingga boleh "mengantuk", bahkan "tertidur" selama perjalanan kariernya.
Apakah kendaraan kita? Segala sesuatu yang ada pada diri kita, yang menjelma menjadi kekuatan mencipta, berkarya, berprestasi, atau berkreasi. Dalam bukunya, dia menyebut kendaraan ini sebagai gabungan antara kompetensi, kecekatan, dan perilaku.
Sudah jelas, ini adalah semua pilihan. Sebagai manusia yang merdeka, kita bebas memilih. Kita bisa memilih, mau tetap duduk manis, menjadi penumpang di belakang, atau mengambil risiko sebagai driver di depan?
Driver adalah sebuah sikap hidup. Sebuah kesadaran yang dibentuk oleh pengalaman dan pendidikan. Sebuah kesadaran penuh untuk memanfaatkan mandat kehidupan yang diberikan kepadanya.
Masih kata Rhenald, semua adalah pemegang mandat kehidupan. Saat lahir, surat tersebut dipegang orang tua. Setelah dewasa, mandatnya dikembalikan. Pemiliknya dapat memilih untuk menjelajahi kehidupan itu dengan penuh tantangan atau diam saja sebagai penumpang.
Ada yang menggunakan surat mandat itu untuk tumbuh dan berkarya. Sedangkan yang lain menyimpan surat kuasa itu di dalam sakunya sebagai dokumen pribadi. Keduanya sama-sama punya mandat tetapi keberadaannya berbeda. Dan tentu saja hidupnya berbeda.
Kendati sebagian orang bilang ini adalah nasib, kata Rhenalad, ini adalah pergulatan hidup yang diawali ada atau tidaknya kesadaran mandataris itu sendiri.
(Saat membaca buku ini, aku menjadi sadar ternyata aku masih masuk dalam kelompok manusia yang 95%).
Salam.
Ropesta Sitorus.
#PestaBaca 2016 nomor 25.
#Jakarta #4Desember2016
Senin, 17 Oktober 2016
Gadis Pakarena : Cinta Tak Mengenal "Tetapi"
Judul Buku: Gadis Pakarena
Penulis: Khrisna Pabichara
Penerbit: Dolphin
Cetakan I: Juli 2012
Jumlah halaman: 180 halaman
----
Definisi cinta bisa bermacam-macam. Namun, menurut Khrisna Pabichara, sesungguhnya cinta tak mengenal kata tetapi. Cinta bisa menembus segala sekat dan batas, baik yang nyata maupun batasan yang diikat oleh adat istiadat. Cinta juga tak mengenal prasyarat. Ya, agaknya itulah yang dicoba diketengahkan Khrisna dalam bukunya, Gadis Pakarena.
Cerita cinta dalam buku ini sarat muatan kearifan lokal yang digali Khrisna dari akar budaya tempat kelahirannya, Makassar. Lewat rangkaian kata-katanya yang menghanyutkan, ayah dua putri ini memotret tradisi masyarakat Bugis dan menjadikannya sebagai kekuatan cerita. Membaca bukunya tak sekedar memberikan hiburan, tapi juga pengetahuan akan tradisi budaya Bugis.
Khrisna membagi karyanya dalam 14 bagian cerita pendek. Tak hanya cinta antara sepasang kekasih, Khrisna juga menyajikan kisah cinta bapa kepada anaknya, cinta anak kepada ibunya, atau cinta kepada sesama saudara. Dalam bertutur, Khrisna kebanyakan meleburkan dirinya menjadi tokoh aku.
Khrisna piawai membuat pembaca tercengang, sedih. Ia cuek saat menggantungkan ceritanya begitu saja dan memberikan kesempatan bagi pembaca untuk mengintrepetasikan kelanjutannya sedemikian rupa.
Mengutip pernyataan M. Aan Mansyur, penyair yang memberikan pujian pada buku ini, kisah dalam Gadis Pakarena ini memang tak membawa pembaca kemana-mana. Dia hanya mengajak pembaca menikmati kisah kehidupan Bugis yang melankolik dan muram. Menyelami ketegangan dalam cerita, yang seolah-olah membawa pembaca antara kembali ke hulu atau muara "sungai kebudayaan". "Tapi tak ada kisah yang betul-betul sampai di hulu atau di hilir".
Kisah "Laduka" misalnya, tentang seorang Bugis yang merantau ke kota besar saat anaknya masih dalam kandungan. Laduka pulang kampung demi permintaan putranya yang akan disunat. Ia memang bertemu dengan anak dan istrinya, tapi, mereka ia telah menjadi jasad. Hanya sampai di sana. Tak diketahui seperti apa respon istrinya dan orang-orang yang menyambut kedatangan Laduka.
Beberapa cerita pendeknya juga perlu perhatian khusus untuk dipahami. Sehingga, meski bisa diselesaikan dalam tempo cepat, tak jarang perlu waktu lama untuk merenungkan. Dalam memotret, ia tak hanya menyajikan keindahan Khrisna juga menyoroti belenggu adat istiadat yang pada bagian tertentu tak lagi sesuai dengan kekinian.
Misalnya dalam kisah "Rumah Panggung di Kaki Bukit" dan "Silariang" pembaca dihadapkan dengan kasta dalam percintaan. Perbedaan kasta ini rupanya masih melekat erat dalam kehidupan masyarakat. Kalau tak terlahir dalam kasta bangsawan, maka seseorang harus punya harta, tingkat pendidikan dan gelar agama yang tinggi agar tak dianggap rendah. Tapi itu belum cukup, ada saja prasyarat tertentu untuk membatasi mobilisasi orang dari kasta satu ke kasta lainnya.
Persoalan kasta ini tak hanya ada dalam budaya Bugis, tapi juga pada bagian masyarakat lain, meski disebut dengan istilah yang berbeda. Lewat ceritanya, Khrisna ingin menekankan, bahwa alasan kasta ini kerap menjadi hambatan dalam urusan percintaan. Memisahkan dua kekasih. Menebarkan aroma permusuhan dan dendam menahun di hati yang tertolak karena kasta.
Dalam Silariang, sepasang kekasih terpaksa kawin lari karena tak kunjung mendapat restu. Namun kawin lari tak semata melarikan diri dan menikah di kampung orang. Ada harga diri yang harus dibayar mahal. ".. Itu artinya mencoreng aib di kening kerabat keluarga sang gadis dan aib itu berarti siri, harga diri yang tak terbeli dan harus ditebus dengan nyawa. Sementara keluarga lelaki yang ditinggalkan akan menanggung pacce, malu tak terperi. Tetapi bukankah cinta mesti diperjuangkan?" (Halaman 95)
Selain kasta, ia juga tak berusaha menutupi tentang penggunaan mitos dan ilmu hitam di masyarakat. Misalnya dalam "Haji Baso" yang mengisahkan pada kekuatan batu bertuah kulau bassi serta dalam "Pembunuh parakang" tentang pembunuhan manusia berilmu hitam yang bisa mempercepat proses kematian manusia lainnya.
Kisah berlatar Indonesia Timur bisa dibilang masih belum sebanyak kisah berlatar Sumatera dan Jawa. Kesadaran itulah yang membuat pengarang novel Sepatu Dahlan ini memilih memotret budayanya untuk memperkaya khazanah sastra. Tak salah pula jika buku ini langsung masuk dalam nominasi Khatulistiwa Literary Award 2012, meski tidak keluar sebagai pemenang. Buku ini sebelumnya pernah terbit dengan judul Mengawini Ibu tahun 2010. Untuk edisi dengan judul baru ini, Khrisna menambahkan dua cerpen yang tidak ada di buku sebelumnya.
Jangan khawatir “tersesat” saat membaca buku ini, karena Khrisna tak alpa memberikan catatan kaki di setiap istilah yang ia kenalkan. Jangan pula memandangnya sebelah mata. Buku setebal 180 halaman ini memang bisa dilahap dlam waktu cepat, tapi perlu waktu untuk merenungkan kisahnya. Itu sebabnya, beberapa pembaca bahkan menyebut, membaca Gadis Pakarena mirip dengan kuliah sejenak untuk memahami budaya Makassar.
Minggu, 16 Oktober 2016
Hypocrisy
Hypocrisy.
I found this word last night on my friend’s blog. He is an lecturer who teach in a private university far away in North Sumatera. Yesterday I casually looked for his blog and found his newly published article title “Hypocrisy”. He implicitly wrote about problems that affect his life lately. I don’t know what the problem really was, but I guess it was related with his work mate and surrounding.
I found this word last night on my friend’s blog. He is an lecturer who teach in a private university far away in North Sumatera. Yesterday I casually looked for his blog and found his newly published article title “Hypocrisy”. He implicitly wrote about problems that affect his life lately. I don’t know what the problem really was, but I guess it was related with his work mate and surrounding.
After read about his not-so-long article, I felt curious. I
took my Oxford Learner’s Pocket Dictionary. Try to make sure the definition of
hypocrisy, “making oneself appear better than one really is”. I was not
satisfied. I tried to search it more through the online Indonesian Dictionary
at google. It was said “berpura-pura” or “munafik”.
Then I try to visualize what my friend trying to express through
his writing. Somedays on the last month, he made a status on Facebook, “after
all this world is just like a theater for everyone to play their role.” I tried
to ask him via direct message about what has happened. He said he has a big
disappointment, but couldn’t tell me at the time.
Now, I’m glad that he has written about it. There are two reasons. First, keeping a
problem (without being able to share it with other) for quite long time will
make a person being sick and sicker. Second, writing is a therapy. Writing feelings
gradually eases emotional trauma. I hope that he could feel better after trying
to write his unspoken problems.
Now, what I’m going to say more is that his writing somehow
gives inspiration to me. Driving by the curiosity, I keep searching the other
article related with hypocrisy. I found another blog owned by a guy from
Malang. That guy quoted Pramoedya Ananta Toer, a well-known author from
Indonesia, who said “bangsa ini hipokrit” on his book. Then he began to
describe through Toer’s analysis that Indonesian are hypocrite because of
colonial effect.
I tried to contemplate and remember my job in a slimming
therapy center. The first month I work there, I really want to quit the job. Why?
Because I realized my job was really contrary with myself. I began to train myself
to be a hypocrite person. I have to be able smile nicely, very friendly,
especially to those who are potential to be our customer. When I try to make a
phone call and ask them to buy our treatment, I have to be able to steal their
heart so they would like to give millions of money for us.
I didn’t like doing that. Day by day I felt more
disappointed about myself. But I have to do that, because it was my job. Everybody
also did the same. My bosses, my colleagues. It was quite long for me to be
able to quit from that situation. I sought a job where I could earn money
without being hypocrite. I didn’t choose to be PNS even tough my parents pushed
me, because I found many of PNS are so very hypocrite. I choose to be
journalist, since at the time I thought it’s an ideal job where I could work
independently and don’t need to be a hypocrite.
To shorten this story, did I found this i-wish-to-be-an-ideal-job
was really far from hypocrite human being? No, not at all. Sadly, I also found pretty
hypocrite people in this field of job. There are many bosses of media who always
ask their worker to not take any bribes while they took it. Yes they do not
take pity money, but snatch the big number of rupiah or dollars or in other
form such as five star hotels, business class or jet plane, shopping abroad, or
company’s share.
How can we produce any independent news if we have given our
nose to the stakeholder? Of course it will be hard, for not saying impossible. Then
all things are just lip services. There is no more a really-free-of-interests
journalism. And even worse, they using people, I mean their reporter for their own
interests. These things made me feel disappointed. So if you hope that media are
all honest and far from hypocrisy, think bout it again.
From my cases, I think that people being hypocrite because
we have too many desires and can’t control them. A person who is not hypocritical
at first could be hypocritical if he let himself drawn in a system. Why he’s
not just drawn himself out of it? Well, this is not as easy as saying, especially
if he let himself being trapped in his own desires of goods or prosperity.
Let me give examples. When I really want to work as an
honest and independent journalist, I can firmly reject the money given to me. Hundreds
or millions of rupiah, I never think twice to say no. I’m happy to do that because
I think I could keep my integrity. But, now days, I must be honest that
rejecting bribes sometimes leave me in a contrary thought. A half of myself
still want to keep my integrity, but there is another half that begin to think “taking
that would not being a big problem because your friend or your boss also do the
same” or “I need money now to buy a, b, c and d” or “If I didn’t take
this, the other will”. Of course, maintaining the integrity will getting harder
when thought like this come to me.
Well, hypocrisy of course not just related with money. It’s
just a simple sample. Many other advantageous like a fine grade at school, a promotion
at work, or social recognition. These could make someone being hypocrite,
realized or not. I didn’t say this to justify this hypocritical mental. But we
can easily find people who act differently from their real character in any
kind social living.
So now, it back to us, whether we choose to be a hypocrite
or not. There’s always a choice, of course with it’s own risk. I think, keeping
the real character (or being a hypocrite human being) will be depend on how strong
you can keep the integrity. And if you choose to retain integrity and don’t
wanna get drawn in this hypocritical-social-mental, please underline that your
way IS NOT GONNA BE EASY. You will find disappointment by disappointment.
But, I’m still curious to know, is this social mental are
adopted by Indonesian people, as Toer’s said, as the effect of colonialism? Do people
in other country also have the same?
Well, I wish there is a more scientific explanation, maybe from social psychology,
about this habit / character and how to decrease that. Maybe there is way to eliminate
or decrease this social mental sickness. I don’t know.
Sedang Sulit Buka-bukaan (dalam Tulisan)
Menulis itu katanya perlu kejujuran. Aku sudah lama mandek menulis. Perkaranya bukan karena tidak punya waktu. Itu alasan klasik yang kubikin-bikin untuk menutupi alasan yang sesungguhnya. Sebenarnya ada banyak waktu (hey, bukankah semua orang di dunia mendapatkan jatah yang sama, 24 jam sehari) dan ada banyak ide yang ingin kutuangkan ke dalam tulisan.
Namun, saat kutelisik lebih dalam, ternyata dalam diriku ada semacam keengganan untuk dibaca orang lain. Aku merasa bila aku menuliskan sesuatu, apapun itu, orang lain akan mudah membaca pikiranku. Mengetahui isi hatiku. Mengenaliku. Bahkan menghakimi kehidupanku. Aku sedang tidak bisa buka-bukaan.
Gejala apakah ini?
Memang, sebenarnya aku ini tipenya cenderung tertutup. Aku hanya bisa terbuka kepada beberapa orang yang kuanggap bisa memahami atau membuatku nyaman. Nah, menulis menjadi sarana bagiku menuangkan uneg-uneg. Tapi itu dulu. Belakangan ini aku mogok menulis apapun, (kecuali menulis berita karena memang menjadi tuntutan pekerjaan. Padahal dulu, tanpa diminta aku dengan senang hati menulis resensi ataupun catatan perjalanan-perjalanan).
Aku menjadi sangat tidak produktif. Juga cenderung jadi lebih berhati-hati mau menulis, bahkan untuk hal remeh temeh seperti menulis status di media sosial. (Ohya, media sosial pun sebenarnya menjadi tidak terlalu menarik. Path, twitter tidak pernah lagi ku buka. Facebook pun hanya aktif sesekali saja).
Tetapi, ini tak bisa dibiarkan terus menerus. Kengganan ini bakal menimbulkan ketumpulan suatu hari kelak (sekarang saja sudah mulai terlihat gejalanya). Lagipula, bagaimana mungkin mau jadi penulis kalau tak siap jujur dengan pikiran sendiri. Mana ada penulis yang tak siap dibaca orang lain, bukan? Ya, agak anomali memang saya ini. Ya sudahlah ya, marilah melatih diri menulis lagi.
R.
Jakarta.
Namun, saat kutelisik lebih dalam, ternyata dalam diriku ada semacam keengganan untuk dibaca orang lain. Aku merasa bila aku menuliskan sesuatu, apapun itu, orang lain akan mudah membaca pikiranku. Mengetahui isi hatiku. Mengenaliku. Bahkan menghakimi kehidupanku. Aku sedang tidak bisa buka-bukaan.
Gejala apakah ini?
Memang, sebenarnya aku ini tipenya cenderung tertutup. Aku hanya bisa terbuka kepada beberapa orang yang kuanggap bisa memahami atau membuatku nyaman. Nah, menulis menjadi sarana bagiku menuangkan uneg-uneg. Tapi itu dulu. Belakangan ini aku mogok menulis apapun, (kecuali menulis berita karena memang menjadi tuntutan pekerjaan. Padahal dulu, tanpa diminta aku dengan senang hati menulis resensi ataupun catatan perjalanan-perjalanan).
Aku menjadi sangat tidak produktif. Juga cenderung jadi lebih berhati-hati mau menulis, bahkan untuk hal remeh temeh seperti menulis status di media sosial. (Ohya, media sosial pun sebenarnya menjadi tidak terlalu menarik. Path, twitter tidak pernah lagi ku buka. Facebook pun hanya aktif sesekali saja).
Tetapi, ini tak bisa dibiarkan terus menerus. Kengganan ini bakal menimbulkan ketumpulan suatu hari kelak (sekarang saja sudah mulai terlihat gejalanya). Lagipula, bagaimana mungkin mau jadi penulis kalau tak siap jujur dengan pikiran sendiri. Mana ada penulis yang tak siap dibaca orang lain, bukan? Ya, agak anomali memang saya ini. Ya sudahlah ya, marilah melatih diri menulis lagi.
R.
Jakarta.
Rabu, 25 Mei 2016
Mencari Kata
Kau bisa katakan ini berlebihan.
Atau lancang.
Terserah.
Akan tetapi aku harus berterus terang.
Menyampaikan kegusaran yang ada.
Mengingatmu saja ternyata semenyakitkan ini.
Kerap terasa degub tiba-tiba di dalam dada. Laksana gurindam.
Kadang menderu.
Kadang memburu.
Menghimpit.
Sampai sesak.
Darah dipompa ke satu titik.
Bikin perih di ulu hati.
Maaf.
Tak kutemukan lagi kata.
Mereka sering lenyap dari tenggorokan.
Menguap di udara.
Cirebon, 26 Mei 2016
Atau lancang.
Terserah.
Akan tetapi aku harus berterus terang.
Menyampaikan kegusaran yang ada.
Mengingatmu saja ternyata semenyakitkan ini.
Kerap terasa degub tiba-tiba di dalam dada. Laksana gurindam.
Kadang menderu.
Kadang memburu.
Menghimpit.
Sampai sesak.
Darah dipompa ke satu titik.
Bikin perih di ulu hati.
Maaf.
Tak kutemukan lagi kata.
Mereka sering lenyap dari tenggorokan.
Menguap di udara.
Cirebon, 26 Mei 2016
Senin, 22 Februari 2016
Cerita dari Blora - Pramoedya Ananta Toer
"Engkau harus berani bercerita tentang hancurnya pengharapan. Orang harus berani merasakan penderitaan orang lain. Kesenangan? Kesenangan adalah tanda bahwa kematian mulai meraba jiwa manusia."
"Dalam pengembaraan di dalam hutan itu ada juga aku berpikir pikir tentang penderitaan. Dan aku berpendapat bahwa penderitaan itu adalah isi dari keangkaraan. Keangkaraan adalah ruang yang menyediakan tempat buat penderitaan itu."
"Biarlah. Dari pengalaman2 pahit ini, aku mendapat pelajaran - kita semua bisa mengatasi semua ini bila bisa menghilangkan diri sendiri. Anggaplah diri sendiri tak ada, dan segala kesengsaraan pun jadi tak ada."
===
Dibandingkan dengan puluhan (mungkin ratusan?) karya Pram lainnya, buku ini rasanya tidak terlalu populer. Saya sempat melihat-lihat di media sosial dan sangat jarang yang mengunggah foto buku ini.
Kutipan pertama yang kuketik di atas, tampaknya adalah curahan hati Pram sendiri-- yang dijuluki pengarang humanis dalam kadar tinggi-- yang disampaikan dengan meminjam tokoh seorang pengarang dalam kisah "Hadiah Kawin".
Dalam buku setebal 324 halaman ini, Pram menyajikan kisah para korban penindasan, kekerasan dan kekuasaan yang sewenang-wenang. Mengajak orang lain masuk ke sudut terdalam di pikiran para tokoh di dalam 11 cerita pendek yang dia buat.
Kisah Cerita dari Blora ditulis dengan setting pada masa Revolusi. Problematik sosial di kampungnya 65 tahun lalu itu, rasa-rasanya masih relevan dengan kondisi saat ini.
Bisa kita lihat sendiri, meskipun Indonesia telah merdeka, masih banyak jiwa-jiwa yang tertindas di Tanah Air mereka sendiri. Banyak orang yang dikucilkan seperti dalam kisah "Anak Haram". Menderita tertekan akibat hal yang dipilihnya secara sadar maupun atau status2 sosial yang bukan pilihannya (siapa yang dapat memilih untuk dilahirkan dari rahim tertentu?).
Masih banyak juga orang yang mengalami kondisi seperti dalam "Pelarian yang Tak Dicari". Terjebak dalam profesi-profesi yang bertentangan dengan norma-norma umum karena dorongan berbagai faktor, semisal kondisi perekonomian.
Kisah "Inem" pun banyak terjadi. Para anak yang menjadi korban kekerasan di tengah keluarga mereka sendiri. Mungkin masih ada yang terjebak dalam kawin paksa padahal masih tergolong belia. Dan masyarakat di sekitar korbannya bersikap tak acuh dan tetap diam meski melihat ketidakadilan demi menjunjung norma kesopanan. (Masih ingat kisah Angeline di Bali?) Ya, itu hanya salah satu.
===
Aku mungkin belumlah seperti pembaca Pram lainnya yang mampu menganalisa karya-karyanya sampai kekedalaman sejarah dan lain sebagainya.
Membaca karya Pram bagiku lebih seperti kesempatan untuk flashback ke masa lalu. Beberapa kisahnya seperti memiliki kedekatan dengan saya secara personal di masa lalu.
Beberapa kali saya harus berhenti sebentar, mengalihkan pandangan dari buku dan lantas ‘ditarik’ ke masa silam. Terkadang, saya juga berhenti membaca demi memvisualisasikan pedihnya hati tokoh dalam cerita itu. Berusaha turut merasakan penderitaan dan hancurnya pengharapan mereka.
Kisah yang mengangkat kemuraman seperti ini,
rasa-rasanya akan memiliki kedekatan personal dengan pembacanya.
Sebab, satu yang pasti, bahwa “mengalami
sengsara dan kehilangan pengharapan, adalah tahapan yang sangat mungkin
dirasakan tiap manusia, pada suatu waktu di dalam perjalanan hidupnya.
#AyoMembaca.
#Pestabaca2016 nomor 4
Salam hangat.
Langganan:
Postingan (Atom)