Belakangan ini saya agak kecewa. Gara-garanya adalah Pak Joko Widodo alias
Jokowi. Entah mengapa, saya agak kecewa mendengar jawaban dia tentang pencapresannya
kelak. Dulu, dalam beberapa kesempatan ketemu dan ngobrol dengannya, dia selalu
mengelak ketika ditanya tentang. Dia bilang, tak mau mikirin pencapresan. Dia bilang
tak mau urusin.
Sejak tahun lalu, beredar isu-isu yang menyebut dia akan
naik ke panggung politik pemilihan presiden. Namanya muncul di daftar teratas
survei-survei calon presiden. Ketika beberapa kali diminta tanggapannya atas segala macam survey
itu, ia berujar tak pernah ambil peduli.
“Saya enggak urus copras capres, survey-survey,” itu jawaban yang selalu keluar
dari bibirnya.
Ibarat sudah ada templatenya, jawaban itu selalu dia
sodorkan pada setiap pertanyaan wartawan. Begitu pun kalau ada pertanyaan dari
orang-orang, baik yang pro maupun kontra, dia memberikan ucapan senada. Kadang-kadang
ia tambah dengan pernyataan “saya ngurus bank DKI saja”, “saya ngurus banjir
saja”, “saya ngurus macet saja”, dan berbagai hal yang sejenisnya.
Tentu, ada pihak yang berharap dia maju jadi capres. Alasannya, tak ada tokoh calon lain yang dianggap lebih
baik darinya. Ada juga yang kontra. Alasannya, ya tugas-tugasnya di Jakarta
belum selesai. Pemikiran dan kepemimpinannya masih sangat diharapkan untuk
membenahi Ibukota yang sudah karut marut dengan sejuta persoalan ini.
Yang kontra pada pencapresannya, entah karena takut
tersingkir atau yang memang benar-benar tak berharap dia meninggalkan DKI 1
sebelum selesai tugas, memberikan statemen bernada miring. Ketika banjir
melanda Jakarta pada akhir Desember hingga awal Februari, banyak pihak yang
memanfaatkan momen itu sebagai kampanye negative.
Di beberapa titik lokasi banjir, tiba-tiba muncul spanduk
yang menyebutnya “capres banjir’. Lagi-lagi, Jokowi hanya menjawab normative
atas kampanye miring itu. “Saya urusan kerjalah. Terserah mau nyindir, mau
ngejek, mau maki, saya enggak urus. Saya enggak urusan copras-capres,” kata dia
lagi.
Begitulah. Bekas Wali Kota Solo itu sesekali bercanda ketika
menanggapi pertanyaan wartawan. Kalau sedang tidak mau repot meladeni tanya
dari para kuli tinta atau dari penggemarnya, dia berujar simple. “tanya pada Bu
Mega saja,” atau “tanya ke partai saja”, Itu jawaban paling serius yang ia lontarkan
ketika ditanya apakah dia benar akan dideklarasikan sebelum Pileg, 9 April
mendatang.
Hingga kemudian, pada Senin (2/3) kemarin, sebuah
pemberitaan menunjukkan sinyal pencapresannya yang semakin benderang. Jokowi
kepeleset menjawab ia sudah mendapat restu pencapresan yang akan dideklarasikan
partai moncong putih sebelum Pileg digelar.
“Sudah.. eh belum.. belum..,” kata dia buru-buru meralat “silap
lidah”nya.
Suatu siang di bulan Agustus tahun 2012, aku masih ingat
bagaimana kami mengejar pria kelahiran Surakarta, 21 Juni 1961 itu selepas sholat Jumat di masjid
Istiqlal. Demi bisa berbincang mengenai isu jelang putaran kedua pertarungannya
dengan Fauzi Bowo alias Foke dalam Pilkada waktu itu, aku dan seorang
redakturku nebeng di Kijang Innova putih yang membawanya menuju Epicentrum
Kuningan.
Kala itu, ia mengaku tak pernah terbersit keinginan terjun
ke politik. Jangankan jadi Gubernur, awal ia maju dalam pemilihan Wali Kota di
Surakarta, ia tak sepenuhnya mendapat lampu hijau dari keluarga dan dari sang
istri, Ibu Iriana.
Lambat laun, dia pun meraih kursi. Pengusaha mebel dari Solo
itu mulai memperoleh kursi Wali Kota,
sekarang Gubernur. Begitulah.
Banyak yang ingin dia menjadi presiden. Sejumlah
pengamat sempat menilai ia memang sangat potensial karena punya elektabilitas
yang tinggi. Tentulah potensinya tak akan dibiarkan begitu saja. Tapi langkahnya tak mudah sebab PDIP sulit menyorong calon yang di
luar trah Soekarno. Lagi pula masih ada Mega dan Puan di pucuk pimpinan partai
itu.
PDIP masih tertutup tentang capres yang akan diusung. Ada yang
menduga Jokowi disimpan sebab takut dia akan jadi sasaran “tembakan” sikut
menyikut partai dan capres lain. Pun Jokowi, dia dengan “manis” selalu bilang
ia tak mikir tentang pencapresan.
Ya seperti yang sudah kusampaikan di atas. Hingga
kemarin, tak sengaja ia keceplosan. Pada waktu –waktu yang hampir bersamaan,
sejumlah tokoh partai itu pun mulai ada yang
membocorkan. hubungan Jokowi pun makin 'mesra' dengan sang ketua partai. Tiup sana tiup sini.
Bisik sana bisik sini.
Sinyalnya kini makin benderang. Apalagi, beberapa hari
yang lalu, untuk pertama kalinya dalam 500 hari kepemimpinan Jokowi, ia
menggandeng wakilnya, Ahok, blusukan bareng ke sudut-sudut Jakarta. Hal itu
disebut sebagai tanda Jokowi memang akan angkat kaki dan sedang menyiapkan Ahok
untuk menggantikannya memegang tampuk kepemimpinan. Seorang wartawan senior pun
berujar ia sudah akan pasti dicalonkan.
Maka mulailah perasaan kecewa itu timbul. Aku bukan orang
yang tak suka pada Jokowi. Tapi entah mengapa aku merasa sangat kecewa, sebab
jika benar ia akan menerima dideklarasikan nanti, kok rasanya seperti sedang
menjilat ludah sendiri yang sudah berkali-kali ia dibuangnya.
Maaf, bukan bermaksud kasar.
Tapi begitulah. Jika benar terjadi, maka apa bedanya ia
dengan mantan Menteri Perdagangan Gita Wirjawan. Pria tampan yang jago memikat
lewat kemampuan bermusiknya itu dalam satu kesempatan pernah bilang ia lebih
memilih mengurusi pasar daripada pilpres. Pada medio tahun lalu, sudah ramai
perbincangan dia dilamar Demokrat, langsung oleh ketua partai Presiden SBY.
Menepis isu itu, dia hanya tersenyum sambil berkilah ia
lebih focus mengurus pasar. Tapi toh, sejak beberapa bulan terakhir ia terlihat
ngebet nyapres. Tiba-tiba wajahnya ramai menghiasi iklan di media, baik
elektronik maupun di baliho2. Siapa yang tidak kesal coba. Akhir Januari
kemarin, dia dengan ringan membungkus semua barang-barangnya dan mundur
meninggalkan kursi menteri perdagangan kosong meski belum sepenuhnya dapat
restu dari SBY untuk meninggalkan kabinet.
Masih ingat ketika
disamperin waktu ada momen olahraga di bundaran HI, dengan santai dia
menanggapi
pertanyaan seputar pencapresannya. “Memangnya kalau saya jadi capres, nanti
bakal kamu pilih,” katanya sambil cengengesan melempar senyum maut yang bikin
cewe-cewe terutama ibu-ibu yang ada di sekitarnya pun jadi klepek-klepek. Sudahlah,
cukup sekali kita ‘tertipu’ karena tertawan pada ketampanan calon presiden yang
tegap rupawan tapi mengecewakan.
**
Mungkin catatan ini berlebihan. Sebenarnya aku sendiri berat
mengatakannya. Di satu sisi memang rasanya tak ada capres lain yang semumpuni Jokowi.
Tapi di sisi lain, aku khawatir dia menciderai integritasnya sendiri. Dia sudah
berjanji tak akan mengurusi Pilpres. Sebelum
resmi jadi gubernur pun dia sudah bilang tak akan nyapres.
Dia pun masih punya ‘utang’ menyelesaikan tiga tahun masa kepimpinannya. Hendaknya
dia naik tangga jika memang sudah waktunya. Jangan meninggalkan tugasnya di
tengah jalan.Apalagi, sejuta masalah yang sudah seperti benang kusut di
Jakarta masih memerlukan sentuhan tangannya. Jika ini terjadi, bukankah dia sama saja dengan laki-laki
lain, eh politisi lain, suka memberi janji palsu.
Aku tidak terima jika
ia maju hanya karena hanyut dalam arus deras politik partai yang memintanya
jadi umpan demi meraup lebih banyak suara dalam pileg. Sayang sekali.Tau sendiri bagaimana jelek dan korupnya partai-partai itu. Toh, seingatku jokowi bukanlah orang yang gila jabatan atau gila uang. Kecuali dia memang punya visi jauh ke depan, bukan sekedar luntur dalam pengaruh sang nahkoda partai.
Salam. Buncit, 4 Maret 2014
Aku memang tidak mengerti sama sekali mengenai politik. Aku adalah orang awam di bidang ini. Tapi bener katamu dan kata pengamat lainnya.. "Dia memang sangat potensial".. Bagiku sih sah-sah aja, karena dibandingkan dengan capres yang lainnya, Jokowi masih yang terbaik. Semoga saja, ketika pun dia maju sebagai pemimpin di negeri ini, dia tetap bisa menjadi seorang pemimpin yang luar bisa seperti ketika dia memimpin Solo, maupun Jakarta, bahkan lebih baik dari itu.. Pray for Jokowi, Pray for Indonesia... :D :)
BalasHapus