Minggu, 23 Februari 2014

Surat-Surat Terbuka untuk Kawan Lama

Ada masa-masa di saya sering menggalau, terutama ketika dini hari, saat embun pagi mulai turun bersiap ganti giliran untuk menjagai hari. Nah, pada malam2 sunyi itu, kadang aku memutar waktu, membuka beberapa kenangan yang hampir usang dalam ingatan, lalu menyalakan suluh untuk meraba masa depan. Begitulah. Kadang yang ada saya down, kadang bersemangat. pemicunya ya banyak hal, bisa karena melihat kawan lama, membaca buku, merenungkan daftar mimpi-mimpi yang masih panjang. Begitulah kawan.
Tak kau percaya? Ini kukasih contohnya. Catatan lama ini saya salin dari facebook. Saya salin juga komentar teman-teman dan note balasannya. Kawan-kawan yang memberikan semangat dengan caranya masing-masing.

***

Gara-gara Rinto


Mengintip ke dinding facebook teman lamaku rasanya seperti dibangunkan dari tidur. Rinto Tampubolon. Itu nama kawanku itu. Saat menimba ilmu dalam balutan seragam abu-abu, kami sama-sama masuk organisasi kerohanian, Pendalaman Iman, bersama Valentina Samosir, Iyan, Maikel, Talenta Rumapea, dan beberapa teman lain.

Tamat SMA, kami kuliah di kota yang sama di Medan, tapi beda universitas, dia di Unimed sementara aku dan Valen serta beberapa teman lain mendaftar ke USU. Saat itu komunikasi dengan dia bisa dibilang hampir terputus. Seingatku, Rinto juga tak pernah ikut saat teman-teman satu SMA yang kuliah di Medan mengajak ketemu.
Belakangan, saat sudah kerja di pulau yang berbeda, baru kemudian kami sesekali bertukar sapa, itu juga hanya via  facebook saja.

Informasi terakhir yang kutau dia kini berprofesi sebagai guru di Laguboti. Itu yang dia katakan saat pernah kutanya apa kesibukannya sekarang. Lama tak bertukar sapa, harus akui, aku memang jarang memperhatikan wallnya. Padahal, kalau mau baca, ternyata dia mencantumkannya di info akunnya. Tanpa bertanya pun sebenarnya aku bisa mendapat banyak informasi sebab di sana dia banyak menuangkan segala cerita tentang aktivitasnya.

Nah, baru tadi malam. Tadi malam saat aku lihat dia meninggalkan komentar di status terbaru teman kami, Endang Sabrina. Sebelumnya aku dan Endang juga saling berbalas komentar di status tersebut. Iseng aku membuka akun kawanku itu, dan mulai menelusuri linimasa di dindingnya.

Dan kutemukanlah tulisan-tulisannya yang berdaya kejut itu. Sungguh, temanku itu rupanya kini telah terbentuk menjadi seorang pendidik dengan kecerdasan yang luar biasa. Dia mengajar di SMA DEL di Laguboti. (DEL adalah institusi bonafide yang pernah kutahu. Kampus milik Luhut Panjaitan ini dulu pernah mencuri hatiku meski aku tak pernah tercatat sebagai pelajar di sana).

Ku bilang luar biasa, karena Rinto bukan hanya seperti pegawai lain, yang memilih jadi pegawai sekedar demi mengejar status nyaman. Yang kulihat, temanku ini begitu menggebu-gebu semangatnya untuk menggali potensi anak didiknya. Sepertinya, semangat menjadi pendidik memang mengalir deras di urat nadinya.

Aku membayangkan seperti apa kira-kira dia bekerja sebagai wali kelas. Mengkonsep bahan ajar sambil menghapal nama-nama muridnya. Atau menekan tuts komputernya yang beradu dengan ketukan palu tukang yang sedang membangun gedung sekolahnya yang baru.

Aku penasaran, apa yang sedang diketiknya. Katanya dia sedang menulis bagian dari sejarah. Lalu 7 writers bentukannya itu, aku sungguh ingin tahu seperti apa rupanya. Aku menduga sepertinya itu adalah bibit suatu hal besar yang akan lahir dari tepi danau toba. Tentu ini harus kutanya langsung pada dia agar aku tak hanya diam-diam menebak.

Aku juga dikejutkan dengan catatan dia tentang kiprah para penulis Batak. Duh, dimana aja aku selama ini? Rasanya aku sangat-sangat tertinggal jauh di belakang temanku itu sekarang. Rupanya aku telah alpa memberi perhatian pada para pujangga dari tanah kelahiranku sendiri. Lalu sekarang aku tersentil malu. (Semoga belum terlambat untuk ingin tahu).

Tulisan-tulisannya juga bernas. Kepeduliannya pada isu-isu pendidikan menunjukkan kecerdasan dan menebarkan inspirasi. Rasa-rasanya aku seperti sedang melihat sosok Soe Hok Gie dalam dirinya. Sama-sama suka menulis, pemikir, suka sastra dan puisi dan bergerak sebagai pendidik. (Sayangnya aku gak tau apakah kawanku ini juga suka naik gunung atau tidak)

Tak bisa kututupi. Membayangkan orang-orang yang sangat berdedikasi seperti dia, aku sedikit cemburu. Betapa dia telah maju menjadi orang yang dewasa yang berilmu. Semangat dan ilmunya disemai tak hanya untuk diri sendiri tapi pada anak-anak didiknya juga khalayak luas lewat tulisan-tulisannya. Aku tergugah. Dan seperti kubilang tadi, aku seperti dibangunkan dari tidur pulas. "Hey Pesta, where have you been?"

(Warung Buncit, Jakarta. 28 Juli 2013)
July 28, 2013 at 3:48am

***

Gara-Gara Pestha Aja

Seperti biasa, tiba di meja kerja aku langsung mengecek apa internet tersambung atau tidak. Maklum, fasilitas yang menghubungkan jutaan manusia ini masih pada tahap pemantapan. Lalu segera kubuka halaman favorit: Google lalu FB. Maklum lagi, handphone dan tablet aku tak punya. Koneksi internet hanya bisa diakses di sekolah dan di warnet. Gmail tak ada notifikasi. FB? Seperti biasa, akan ada permintaan pertemanan dari orang-orang tak kukenal. Juga ada pemberitahuan tentang hal-hal remeh temeh.

Tapi pagi ini beda. Ada beberapa pemberitahuan yang menarik mata. Ada tulisan dari seorang siswa di grup 7Writers. Ada pula seorang teman lama yang menandaiku dalam sebuah tulisannya yang membuatku tersenyum manis pagi ini. Judul tulisannya sangat menarik sekaligus menantang: Gara-gara Rinto - surat terbuka untuk kawan lama.

Namaku disebut-sebut sebagai sebuah penyebab atas terjadinya sesuatu (pemakaian kata gara-gara). Lantas mulai kususur kata demi kata yang tergurat indah di catatan fesbuknya. Kemudian kutahu, ternyata kawan seperjuangan waktu SMA itu sedang menggalau di tengah malam akibat tulisan-tulisanku di Fesbuk. Kulihat waktu yang terekam di fesbuknya itu tertulis pukul: 2.48 am. Barangkali, sebelum menuliskannya, ia telah membaca berbagai status dan juga beberapa catatanku di fesbuk.

Setelah menuturkan latar belakang mengapa ia menuliskan catatan itu (Paragraf 1-4), maka mulailah ia mendatangkan “hujan pujian” atasku (paragraph 5-11). Mulai menyebut tulisanku berdaya kejut, seorang pendidik luar biasa, seorang yang menggebu semangatnya, semangat menjadi pendidik yang mengalir deras, membentuk grup menulis yang bakal menjadi hal besar lahir dari tepi Danau Toba. Mataku makin berbinar-binar saat wanita mirip Melly Goeslow ini seakan melihat sosok Soe Hok Gie dalam diriku.

Ah, selama 5 menit membaca tulisannya itu, aku serasa terangkat terbang ke langit biru di Toba ini. Meski aku merasa belum layak menerima pujian sebesar itu, tapi diam-diam kuaminkan semua hal baik yang digambarkannya itu.

Tapi ada yang menggelitik dari paragraf terakhirnya. Ia merasa belum menjadi sesuatu. Ia merasa karyanya selama ini belum apa-apa dibandingkan diriku. Ia merasa inferior (semoga aku salah menafsir). Andai apa yang kupikirkan benar, maka tulisan ini pun sedang menyanjung karyanya yang sudah menasional.

Ia alumni terbaik dari Fisip USU. Tak berapa lama setelah wisuda, ia memberanikan diri terjun ke dunia buas Jurnalistik. Kusebut buas karena Jurnalistik adalah pekerjaan mulia yang menyerukan hal benar di tengah-tengah kecurangan-kecurangan yang terjadi di dunia. Aku teringat sosok Minke (tokoh utama tetralogi buru) yang melawan penjajahan dengan jurnalistik. Maka Pesta, tepatnya Ropesta pun sedang mempertaruhkan nyawa demi sebuah berita yang benar.

Aku yakin, ia juga telah menjelajah berbagai tempat di Indonesia. Ia pasti telah mendapat gambaran yang lebih utuh tentang keindonesiaan dibandingkan diriku. Ia juga telah bertatap muka dengan orang-orang penting di negara ini di sesi wawancara. Pernah kulihat ia berpose dengan Melly Goeslow, yang ia klaim sebagai kembarannya. Hehe…

Kalau dikatakannya aku seorang penulis, maka ia lebih lagi. Hampir setiap hari ia akan menambang ide untuk menuliskan beritanya dengan baik.

Akhir kata, Ropesta, dirimu juga telah berkarya banyak kawan. Senang dan bangga bisa berkoresponden dengan orang sehebat dirimu. Berharap kelak, teman-teman yang lain juga bisa kita torehkan kiprahnya dalam catatan sederhana yang membangkitkan semangat berkarya.

(Sitoluama, 29 Juli 2013) July 30, 2013 at 9:27am

Komentar atas kedua note ringan itu juga ku salin di sini:

Indra Sirait ayo mas bro..,kamu pasti bisa. Semangat!! Bangga do au puang.,nga pada sukses kedan2 q skrg. Lanjutkan..
Endang Sabrina hahaha hey pesta, wake up! You too are a great writer 
Valentina Samosir sampai sekarang tulisanmu selalu membuatku terkesan inang..
Fitriana Gultom soe hok gie ada film nya pes. kalau abang kita rinto, film nya kapan rilis pes?
Eh.. di viva ada forum sprt kompasiana tak? share kesana ajah.  

Endang Sabrina wuahhhh klw sudah begini sonang rohakku mangida dongan2 lama, jaya terus di udara akka penulis2 dan non penulis2 :D)))
Eva Kenny Tambunan Pestaaa.... you're a great writer too.. Sudah lama rasanya gak menekan tuts2 keyboard komputer ini untuk berbagi cerita di facebook. Jadi pengen nulis lagi... Tetepp semangat pesta sayanggg...
Rustam Effendy Simamora Salam kenal buat, ito bah..
Lidya Amora Loebis Pestha Aja : sukaaaaa bgttt ama tulisanmuuuuu...can't wait to read ur next story darling!!!
Ventus Vanjoki Sinurat Pestha ahahaa.. maap kalo gitu. sukses buat kalian berdua ya sista, buat tmn2 yg laen, n kita semua. kembangin terus tulisannya sista.. salut..
Roy Martin Simamora Mantap! Salam kenal buat kawan lamanya bg Rinto. 
Kimura P Tamba Sudah aku baca tulisan kalian dua appara Rinto Tampubolon dan ito Pestha Aja...
Menarik melihat saling puji dan tegur sapa melalui tulisan...
Salam kenal ito Pestha..
Dedy Gunawan Hutajulu asal jgn melenceng aja bro puja2 jd asmara. hati2 ada boruni raja i. hahaha
Mansen Simbolon well, well, well.....
Rustam Effendy Simamora wah... Mantap-mantap...
Ventus Vanjoki Sinurat oh, jd selain pesta seorang jurnalis, dia mirip Melly Goeslow ya.. okesip #salahfokus
       
  
Warung Buncit, 24 Februari 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar