Di tengah kabut, Rudy Badil bersama Maman Abdurachman alias
Maman terseok. Setengah memerosot, mereka menuruni dataran lereng yang terbuka
penuh pasir bebatuan. Dilihatnya sosok Soe Hok-Gie yang sudah duruan turun dari
puncak, sedang duduk termenung. Gayanya khas: lutut kaki terlipat ke dada dan
tangan menopang dagu.
Badil menyapa Soe. Sore itu, Selasa Pon 16 Desember 1969.
Dia sebenarnya sangat ingin merayakan ulang tahunnya yang ke 27 yang jatuh pada
tanggal 17 Desember, di puncak tanah tertinggi di Jawa. Tinggal beberapa jam
lagi sebelum keinginannya terpenuhi. Cuaca makin buruk, bau uap belerang
menyengat, menyesakkan paru-paru. Soe Hok Gie, dan rekannya, Idhan Lubis
menghembuskan nafas terakhirnya di puncak gunung tertinggi.
Hari ini, 44 tahun yang lalu, Soe Hok Gie berpulang padaNya.
Walau sudah lama tiada, namanya masih dikenal dan dikenang publik sebagai sosok
aktivis muda yang intelek, berani, kritis. Dia termasuk salah satu orang yang
ikut andil menumbangkan Orde Lama.
Tapi, ketika rekan seperjuangannya banyak yang mulai
berkompromi dan larut dalam bulan madu dengan pemerintah di Orde Baru, Soe
memilih menjauhkan diri dari politik. Salah satu pernyataannya: “Bagiku sendiri
politik adalah barang yang paling kotor. Lumpur-lumpur yang kotor.
Tapi suatu
saat di mana kita tidak dapat menghindari diri lagi, maka terjunlah.”
Ah, Soe Hok Gie yang manis. Dia dikenal oleh hampir semua
aktivis. Tapi, andai sekarang dia masih ada, kira-kira apa yang akan
dilakukannya? Akankah dia masih idealis atau menjadi apatis?
Warung Buncit, 16 Desember 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar