Selasa, 17 Desember 2013

Soe Hok Gie yang Manis....

Kawah Jonggring  Seloko di Puncak Mahameru (puncak Gunung Semeru), meletus lagi, memuntahkan uap hitam yang menghembus membentuk tiang awan. Gerimis masih turun. Cuaca bulan desember yang memang penuh hujan. Gerimis membawa debu-debu. Dingin yang teramat sangat, seakan membekukan tulang-tulang.


Di tengah kabut, Rudy Badil bersama Maman Abdurachman alias Maman terseok. Setengah memerosot, mereka menuruni dataran lereng yang terbuka penuh pasir bebatuan. Dilihatnya sosok Soe Hok-Gie yang sudah duruan turun dari puncak, sedang duduk termenung. Gayanya khas: lutut kaki terlipat ke dada dan tangan menopang dagu.

Badil menyapa Soe. Sore itu, Selasa Pon 16 Desember 1969. Dia sebenarnya sangat ingin merayakan ulang tahunnya yang ke 27 yang jatuh pada tanggal 17 Desember, di puncak tanah tertinggi di Jawa. Tinggal beberapa jam lagi sebelum keinginannya terpenuhi. Cuaca makin buruk, bau uap belerang menyengat, menyesakkan paru-paru. Soe Hok Gie, dan rekannya, Idhan Lubis menghembuskan nafas terakhirnya di puncak gunung tertinggi.  

Hari ini, 44 tahun yang lalu, Soe Hok Gie berpulang padaNya. Walau sudah lama tiada, namanya masih dikenal dan dikenang publik sebagai sosok aktivis muda yang intelek, berani, kritis. Dia termasuk salah satu orang yang ikut andil menumbangkan Orde Lama.

Tapi, ketika rekan seperjuangannya banyak yang mulai berkompromi dan larut dalam bulan madu dengan pemerintah di Orde Baru, Soe memilih menjauhkan diri dari politik. Salah satu pernyataannya: “Bagiku sendiri politik adalah barang yang paling kotor. Lumpur-lumpur yang kotor. 
Tapi suatu saat di mana kita tidak dapat menghindari diri lagi, maka terjunlah.”

Ah, Soe Hok Gie yang manis. Dia dikenal oleh hampir semua aktivis. Tapi, andai sekarang dia masih ada, kira-kira apa yang akan dilakukannya? Akankah dia masih idealis atau menjadi apatis? 

Warung Buncit, 16 Desember 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar