Sayang, aku akan pulang
Lalu menunggumu hingga petang
Sampai lelah kau bertualang
Apakah kau akan datang?
Aku sudah membayangkan
Memelukmu erat-erat lalu rindu kubisikkan
Itulah yang pertama akan kulakukan
Jika melihatmu di ujung jalan
Ini tidak terlalu kekanakan, bukan?
Sayang, janganlah terlalu lama
Mampirlah sebelum tahun ini berakhir
Sebelum tepian telaga rindu mengering
Selagi bulir padi padat menguning
Selagi ukiran janji belum pudar dimakan hening
*Terinspirasi dari sajak Elkana Lumbantoruan (https://situriaknauli.wordpress.com/2012/01/16/rindu-4/)
Sabtu, 26 Desember 2015
Sabtu, 23 Mei 2015
I am Ros
Cukup lama aku tak pulang,
jalan-jalan berkelana,
lupa sejenak menilik rumah.
Hari ini aku pulang,
ke rumah lama ini bernama Pesta Party ini.
Yang hampir dua bulan tak dijamah.
Mungkin sudaah banyak rumput-rumput liar tumbuh di halaman.
Atau sarang laba-laba di sudut-sudut rumah.
Atau debu tebal di sela-sela buku yang ada di rak.
(hmm, ini kondisi di blog kok sama dengan di kamar sendiri ya? hehehe)
Ya udah, sebagai oleh-oleh berkelana selama dua bulan ini, aku bawa oleh-oleh, yakni cerita tak penting. Mau dengar?
(Gak mau, ya gapapa juga.. Kalau mau, ntar kita makan roti bakar enak di Cikini ya.. hehehe)
====
Anyway, tadi, saat mandi, pikiranku sempat terlintas ke pengalaman di waktu-waktu yang lalu.
Jadi sambil membalurkan sabun ke badan, aku teringat dengan ROS.
Perempuan keriting yang banyak maunya. Hehehe.
ROS adalah kodeku saat bekerja di media online terbesar di Indonesia.
ROS itu diambil dari namaku Ropesta Sitorus.
Dulu, di tiap akhir tulisan yang ku buat pasti ada nama itu tercantum.
Aku ingat perasaanku yang gembira saat pertama kali mendapat kode itu.
Sampai-sampi aku menuliskannya di Facebook.
ROS menurutku nama yang cantik.
Dulu waktu SD, ada bapak-bapak tetangga yang selalu salah memanggil namaku
Dia menyebutku dengan Ros-Pesta.
Dan kerap memanggilku dengan Ros.
Saat itu aku tak terlalu suka. Kuingatkan dia "Pak, namaku Ropesta, tanpa S"
Tapi, mesti terus kuingatkan, dia selalu saja memanggilku dengan Rospesta dengan penekanan di ROS.
Ya sudahlah.
Belakangan, akhirnya kubiarkan saja begitu.
Kebetulan aku juga sangat menyenangi bunga ros alias mawar.
Sekarang, nama itu tak pernah lagi muncul di byline tulisanku.
Maklum, sejak berpindah media, di sini kami pakai kode bagi reporter yang belum satu tahun bekerja.
Eh tepatnya, bagi reporter yang masih berstatus belum diangkat.
Kalau tulisan utama, namaku ditulis dengan lengkap.
Sedangkan untuk berita kecil, identitasku cukup ditulis dengan kode "119".
Sebenarnya tak jadi soal bagiku.
Nanti setelah (kalau) diangkat sebagai reporter tetap, biasanya kami akan mendapat kode lagi.
Dari singkatan nama masing-masing.
Aku belum tau kode apa yang akan dilekatkan untukku. Mungkin ROP, ROS, RNS.
Entahlah. Kita tunggu saja. Mungkin setahun lagi.
Yang jelas, saat mandi tadi, aku terpikir untuk memakai nama ROS pada tulisan-tulisan di blog.
:)
jalan-jalan berkelana,
lupa sejenak menilik rumah.
Hari ini aku pulang,
ke rumah lama ini bernama Pesta Party ini.
Yang hampir dua bulan tak dijamah.
Mungkin sudaah banyak rumput-rumput liar tumbuh di halaman.
Atau sarang laba-laba di sudut-sudut rumah.
Atau debu tebal di sela-sela buku yang ada di rak.
(hmm, ini kondisi di blog kok sama dengan di kamar sendiri ya? hehehe)
Ya udah, sebagai oleh-oleh berkelana selama dua bulan ini, aku bawa oleh-oleh, yakni cerita tak penting. Mau dengar?
(Gak mau, ya gapapa juga.. Kalau mau, ntar kita makan roti bakar enak di Cikini ya.. hehehe)
====
Anyway, tadi, saat mandi, pikiranku sempat terlintas ke pengalaman di waktu-waktu yang lalu.
Jadi sambil membalurkan sabun ke badan, aku teringat dengan ROS.
Perempuan keriting yang banyak maunya. Hehehe.
ROS adalah kodeku saat bekerja di media online terbesar di Indonesia.
ROS itu diambil dari namaku Ropesta Sitorus.
Dulu, di tiap akhir tulisan yang ku buat pasti ada nama itu tercantum.
Aku ingat perasaanku yang gembira saat pertama kali mendapat kode itu.
Sampai-sampi aku menuliskannya di Facebook.
ROS menurutku nama yang cantik.
Dulu waktu SD, ada bapak-bapak tetangga yang selalu salah memanggil namaku
Dia menyebutku dengan Ros-Pesta.
Dan kerap memanggilku dengan Ros.
Saat itu aku tak terlalu suka. Kuingatkan dia "Pak, namaku Ropesta, tanpa S"
Tapi, mesti terus kuingatkan, dia selalu saja memanggilku dengan Rospesta dengan penekanan di ROS.
Ya sudahlah.
Belakangan, akhirnya kubiarkan saja begitu.
Kebetulan aku juga sangat menyenangi bunga ros alias mawar.
Sekarang, nama itu tak pernah lagi muncul di byline tulisanku.
Maklum, sejak berpindah media, di sini kami pakai kode bagi reporter yang belum satu tahun bekerja.
Eh tepatnya, bagi reporter yang masih berstatus belum diangkat.
Kalau tulisan utama, namaku ditulis dengan lengkap.
Sedangkan untuk berita kecil, identitasku cukup ditulis dengan kode "119".
Sebenarnya tak jadi soal bagiku.
Nanti setelah (kalau) diangkat sebagai reporter tetap, biasanya kami akan mendapat kode lagi.
Dari singkatan nama masing-masing.
Aku belum tau kode apa yang akan dilekatkan untukku. Mungkin ROP, ROS, RNS.
Entahlah. Kita tunggu saja. Mungkin setahun lagi.
Yang jelas, saat mandi tadi, aku terpikir untuk memakai nama ROS pada tulisan-tulisan di blog.
:)
Senin, 30 Maret 2015
Lenggak Lenggok Gadis Bali di Teras Graha Bakti Budaya TIM
Foto by: Ropesta Sitorus |
Tubuh mereka dicondongkan ke depan. Jari tangan yang lentik
digerakkan seirama dengan lirikan mata. Para penari yang masih remaja
itu membawakan Tari Legong Bali di bawah arahan guru tari berkaos biru.
Minggu (29/3/2015) pagi, suasana di teras Graha Bakti
Budaya TIM, Jakarta Pusat, cukup sibuk. Para orang tua terlihat duduk di
atas kursi plastik, sementara putri mereka sibuk latihan menari di
bawah naungan Lembaga Kesenian Bali Saraswati.
Foto by: Ropesta Sitorus |
“Enaknya latihan di sini saya bisa mengenal budaya
Indonesia lebih dalam, bisa melatih kelenturan badan. Soalnya saya juga
memang hobi menari,” kata Ni Putu Sekar Tiara (11 tahun).
Sekar baru saja menyelesaikan latihannya. Sesekali dia
menyeka keringat di kening. Pelajar kelas VI SD di Johar Baru itu
berujar dia sudah bergabung di sanggar Saraswati sejak usia 3,5 tahun.
Sambil senyum dia mengaku sudah menguasai sekitar sembilan jenis tarian Bali.
Setiap Jumat-Minggu mulai pukul 09.00-11.00 WIB dia datang
bersama ibundanya, Putu Nurlela (45 tahun) untuk latihan ke TIM. Ibunya
memilih LKB Saraswati untuk kursus karena dianggap lebih murah tapi
tetap memberikan pendidikan tari secara serius.
“Murah banget sebenarnya untuk porsi latihan tiga kali seminggu iurannya sekitar Rp200.000 per bulan,” kata Nurlela.
TIM memang menjadi salah satu pusat kegiatan kebudayaan di DKI Jakarta. Hampir semua bidang seni ada di area ini. Selain tari tradisional, ada tari modern yang diasuh Jecko Siompo dan Funky Papua, ada juga kegiatan seni teater dan perfiliman, hingga musik dan fotografi.
Kegiatan Lembaga Kesenian Bali Saraswati sendiri ternyata sudah ada di lokasi itu sejak 3 April 1968, dipimpin oleh I Gusti Kompiang Raka.
Salah satu pengajar tari, Anak Agung Gede Ariawan, menyatakan setiap peserta sanggar tak hanya dapat pengetahuan soal tari Bali. Bagi yang sudah satu tahun belajar, mereka juga belajar menabuh Gambelan Bali.
Agung menyebutkan saat ini anggota sanggarnya berasal dari
berbagai kalangan. Kini sudah ada lebih dari 2.000-an orang, namun yang
rutin datang latihan hanya sekitar 200-an orang.
“Ada beberapa pria tapi mayoritas perempuan. Kita tidak ada
batasan umur, mulai dari usia 5 tahun sampai yang nenek-nenek juga bisa
belajar,” kata pria yang sudah mengajar tari sejak 2004 itu.
Tak ada syarat khusus bagi yang ingin belajar di sanggar
Saraswati. Bagi Anda yang hobi atau ingin menambah keterampilan bisa
bergabung cukup dengan mengeluarkan biaya Rp475 ribu untuk pendaftaran
dan kostum serta iuran Rp250 per bulan.
“Siapapun bisa ikut. Motivasinya memang beda-beda memang, ada yang untuk pendidikan, ada yang sekedar hobi saja,” ucapnya.
Minggu, 15 Maret 2015
Bertemu Mr. Yudasmoro
Tapi saya mau membagi pengalaman. Alkisah, suatu waktu, saya
berangkat untuk satu perjalanan dinas ke Tanjung Pinang, dan Anambas di Kepulauan Riau. Ceritanya
saya akan liputan perjalanan bersama perusahaan pelayaran nasional pelat merah,
PELNI.
Sebelum ke Anambas, kami transit satu hari di Tanjung Pinang. Begitu tiba di sana, kami beristirahat sebentar di lobi
hotel untuk melepas lelah sehabis perjalanan naik pesawat dari Jakarta plus
perjalanan sekitar 30 menit dari Bandara Haji Fisabilillah, Tanjung Pinang.
Saat itu bertepatan dengan waktu sholat Jumat. Beberapa
rekan jurnalis pria pergi ke masjid di dekat hotel untuk sholat.
Tinggallah saya, seorang wartawati senior Kompas, dan seorang
pria berkacamata duduk di kursi coklat di ruang tamu hotel.
Aku tanya dia dari media mana, dia bilang bekerja di salah satu majalah traveling. Sebenarnya kami sudah sempat berkenalan ketika masih di
bandara Soekarno Hatta, sambil sarapan menunggu jam penerbangan. Akan tetapi,
dia hanya menyebut nama depannya saja saat itu, Yudas.
Kami berbincang-bincang, membunuh waktu sambil menunggu
teman-teman yang lain. Pria itu cerita bahwa dua minggu sebelum kunjungan kami,
dia sebenarnya juga baru kembali dari Tanjungpinang dan liputan di sana. Dia
bocorin apa-apa saja yang unik untuk diliput. Pikiranku saat itu, ‘wah, mantap juga dia ini, tampaknya
sudah banyak makan asam garam perjalanan’. (Begitulah memang).
Setelah menyimpan tas ke kamar hotel, dua mobil Kijang jadul
yang sudah agak kusam tiba di parkiran hendak menjemput kami bersembilan. Kami
pun dibawa ke satu tempat makan yang sedang nge-hits saat itu, RM Mi Tarempa.
Di RM yang saat itu tidak terlalu ramai, kami memesan
beberapa makanan yang khas daerah Kepri. Tak ketinggalan mi Tarempa, aneka
kudapan. Begitu makanannya diantar, kami bukannya langsung makan padahal saat
itu sudah kelaparan. Kami mengeluarkan kamera masing-masing dan mulai
jeprat-jepret. klik.. klik.. klik..
Rekan seperjalananku saat itu punya gadget yang keren-keren,
termasuk si pria berkacamata. Mereka ada yang kerja di Trans Tv, NatGeo, Kompas
(sudah disebut ya tadi). Lalu sambil makan, kami diskusi lagi tentang
lokasi-lokasi yang seru dan keunikan Tanjungpinang.
Pria berkacamata yang duduk di depanku menceritakan tentang satu topik yang diliputnya lalu tiba-tiba bilang “Itu kemarin fotonya sudah ada di blogku. Sebentar
ya.” Dia sibuk membuka browser di hpnya dan masuk ke laman blog
pribadinya, lalu memberikan hpnya kepadaku.
Eng ing eng... Di sinilah saudara… Pada saat aku melihat hpnya yang ada di
tanganku itu, aku mencoba mengarahkan pandangan ke alamat situsnya. Lho.. Lho.. Lho.. Yudasmoro.net. Glek. Aku tercekat. Lemas.
Mukaku saat itu kayaknya pucat. Dengan ekspresi terbelalak tak percaya (duh.. enggak banget
pokoknya) aku menatap dia.
Fotonya dipinjam dari blog Yudasmoro.net |
Pria di depanku sedang asik makan Mi Tarempa pesanannya.
Tapi melihatku bengong terus tiba-tiba senyum gak jelas banget, dia jadi ikutan
heran. (Mungkin dia mikir, nih orang kenapa dah).
Handphonenya ku kembalikan segera. Lalu aku konsentrasi ke
makanan di hadapanku. Tapi bukannya menikmati makanan.
Aku berpikir "bagaimana mungkin aku tidak kenal orang
yang sudah beberapa jam ngobrol bareng. Padahal dulu aku pernah membeli bukunya
dan begitu sering membolak-baliknya, padahal aku begitu sering membaca tulisan-tulisannya
di blog. Begitu sering…." Ah, sudahlah.
Tapi aku gak sepenuhnya salah kok. Soalnya foto dia di blog
dan di sampul depan bukunya memang sedikit beda dengan aslinya sih :). Terus di awal-awal perkenalan dia hanya menyebut namanya Yudas, bukan Yudasmoro. (cari pembenaran).
Ya begitulah saudara-saudara, makanan di depanku akhirnya
agak sulit ketelan. Habis otakku terlalu sibuk mengingat-ingat tulisan-tulisan si
Mr di depanku yang dulu pernah diam-diam ‘kusantap’ saat galau mau pindah
haluan.
Alkisah, aku pernah ingin memutar haluan menjadi travel
writer. Sempat beberapa kali mengisi rubrik Melancong di media terdahulu
membuatku berpikir bahwa menjadi penulis perjalanan itu sangat menyenangkan.
Kamu dibayarin untuk melakukan hobimu, kedengarannya satu pekerjaan yang
sempurna kan? Bisa jalan-jalan ke mana saja, khususnya ke tempat-tempat yang
mungkin kalau pakai dana dari kantong sendiri entahlah bisa terwujud atau
tidak.
Sebagai pemanasan dan persiapan, saya pergi ke toko buku Gramedia di
dekat kosan saya. Beberapa buku tentang perjalanan masuk ke keranjang belanjaan, antara
lain Naked Traveler (Trinity), Travel Writer, Titik Nol (Agustinus), dan kumpulan tulisan tentang lokasi
wisata tertentu seperti pantai-pantai di Jawa Tengah dan di Lombok.
Buku-buku itu begitu sering kubaca. Termasuklah buku Travel
Writer yang di sampulnya ada pria berkaos kuning yang sedang asik dengan
laptopnya duduk di peron kereta api. Why? Karena dia menyajikan banyak tips jadi penulis perjalanan freelance. Tulisannya bagus. Pengalamannya hidupnya juga seru, keluar dari jobnya yang sudah mapan sebagai manager di salah
satu restoran fastfood demi menjadi penulis perjalanan. Menarik,
bukan?
Sebelum mi gorengku habis, akhirnya ku beranikan juga bertanya
sama si pria berkacamata. “Mas, mas ini nulis buku kan yang judulnya Travel
Writer kan? Mas namanya mas Yudasmoro ya ternyata. Hehe, saya beli buku dan udah
sering baca blogmu mas.” (dengan ekspresi fans ketemu idolanya…hahahaha).
Saya sih gak kebayang, gimana ekspresiku yang sangat norak
hari itu. Di sini saya sadari bahwa memang tulisan-tulisan seseorang, di buku, di
koran maupun di blog, itu bisa membuatmu serasa berteman dengan penulisnya.
Serasa sudah ikut dalam perjalanan-perjalanannya. Serasa mengenalnya (padahal
belum pernah ketemu). :) Yang
jelas, I was happy.
Nah, ini kuberikan foto-foto di tengah liburan eh liputan bareng selama di Tanjung Pinang.
It's a happy journey. |
Abaikan gaya saya yang seperti mbok-mbok ya, soalnya ada tragedi dengan jeans saya. |
Minggu, 01 Maret 2015
Uang Mengalir Dari Bunga Segar
Bunga segar bagi sebagian orang hanyalah bunya yang sedap dipandang. Namun di tangan Rosita Yuwanasari, 36 tahun, bunga segar dan tanaman hias adalah peluang bisnis yang sangat menjanjikan. Wanita yang berlatar belakang notaris ini jeli melihat ceruk bisnis di bidang usaha rangkaian bunga dan uang pun mengalir lancar ke kantongnya.
Bunga segar tak hanya bermanfaat menenangkan pikiran
tapi juga membahagiakan. Wanita asal Klaten, Jawa Tengah ini berujar bunga juga
masih jadi pilihan yang lumrah untuk mengungkapkan perasaan dan hadir dalam
kondisi sukacita maupun dukacita. Tak hanya itu, pajangan bunga pun banyak
terlihat di aneka korporasi mulai dari pemerintahan hingga swasta.
Karena itu ia optimistis saat mendirikan
perusahaannya PT Taraporter Indonesia (Tar A Porter) pada tahun 2010 lalu. Ia melayani
pesanan rangkaian bunga untuk pernikahan, momen khusus, parcel, bunga papan
dengan proporsi target 80 persen pasar korporasi dan 20 persen pasar retail. “Omsetnya
sekarang sudah mencapai ratusan setiap bulan,” kata dia.
Usaha merangkai bunga segar menurutnya cukup
menguntungkan karena pasarnya selalu ada. Meski tak benar-benar mengungkapkan
jumlah pendapatannya, Rosita berujar ia masih leluasa memperoleh margin
keuntungan sekitar 20-30 persen.
Cikal bakal Tar A Porter sendiri sudah pernah ia
“lahirkan” pada tahun 2003 dengan merogoh kocek Rp 250 ribu dari kocek suami,
Wibawa Prasetyawan. “Uang Rp 250 ribu itu saya dapat dari gaji suami yang waktu
itu Masyaallah ya namanya kita kan baru freshgraduate kerja,” kata dia.
Saat itu, Rosita yang hamil tua sedang mengandung
anak keduanya dan baru saja mengundurkan diri dari bagian legal di sebuah
konsultan asing. Ia lalu mulai membagikan brosur dan membuat penawaran
penyewaan tanaman hias ke gedung-gedung dan mall di sekitar Sudirman, Jakarta
Selatan. Ternyata banyak perusahaan yang menyewa tanaman hiasnya.
Dua tahun berselang, bisnis yang awalnya fokus pada
penyewaan tanaman hias itu mulai berkembang. “Awalnya tanaman hias saja untuk
gedung, tapi lama-lama gedung nanyain bunga segar juga. Apapun permintaanya,
waktu itu kita selalu ngomong ‘iya bisa!’ mikirnya baru belakangan,” katanya
terbahak.
Permintaan pun berkembang hingga ke pesanan
rangkaian bunga meja, bunga papan, dekorasi pernikahan, bunga ucapan ulang
tahun, orang sakit juga melahirkan. Pada tahun itu ia sudah punya banyak klien
di antaranya Gedung ArthaGraha, BEJ, Gedung Summit Mas. Namun, di saat bisnis
dan asetnyanya sedang menanjak, suaminya mendapat beasiswa pendidikan ke Inggris
memintanya ikut serta.
Tak sempat mengembangkan manajemen usaha, ia
terpaksa menjual bisnisnya ke klien karena tak ada yang bisa melanjutkan. Saat
kembali ke tanah air tahun dua tahun kemudian, ia tak langsung bisa melanjutkan
bisnis karena masih ikut suaminya yang dinas ke Semarang, Bali dan Surabaya.
Tahun 2010, kala magang notaris, anak keempat dari lima bersaudara ini mulai
gelisah dan ingin wirausaha kembali.
“Saya telpon klien lama karena masih keep in touch
jadi teman dan bilang ‘kok pengen lagi ya, ternyata mereka mendukung dan dua
hari kemudian mereka order,” kata dia. Meski mengaku saat itu masih belum siap,
ia akhirnya memberanikan diri, apalagi saat itu kontrak pesanan pertamanya
terbilang besar, Rp 15 juta untuk sebulan.
Pesanan demi pesanan pun bergulir. Rosita yang sudah
mengetahui jaringan bisnis ini pun mulai menekuninya dengan serius dan mulai
membangun manajemen agar bisnisnya bisa stabil. “Saya mempersiapkan diri karena
sudah merasakan pahitnya ketika kerjaan ini harus saya tinggalin tanpa ada yang
ngurusin,” kata dia.
Selama setahun ia fokus membangun teamwork, SOP,
manajemen dan sistem usahanya. Ia menyasar segmen pasar kalangan menengah atas
dan membanderol rangkaian bunga segarnya dengan harga bervariasi mulai Rp 200
ribu hingga Rp 2 juta. Ia juga membuat portpouri untuk memanfaatkan limbah
bunga layu dan menyulapnya jadi souvenir cantik.
Untuk bunga segarnya Rosita mengambil langsung dari
para petani di daerah Bandung, Ambarawa, Malang. Ia juga mengimpor beberapa
varian mawar, lily dan tulip dari berbagai Belanda dan Casablanca. Berbisnis
rangkaian bunga segar, kata Rosita tidak terlalu punya kendala berarti kecuali
masalah kelayuan. “Layunya bisa dalam waktu seminggu tapi kita ada strategi
untuk itu sehingga tidak terlalu tinggi lossnya,” kata dia.
**
Duplikasi Ke Seluruh Nusantara
Teknik pemasaran yang dilakukan notaris lulusan
Universitas Airlangga ini terbilang unik. Tak hanya mengandalkan toko offline,
ia juga memanfaatkan media online serta menjalin kerja sama dengan retailer
modern seperti Indomaret, meski saat ini masih sebatas di kawasan Jabodetabek.
bisa diantar ke rumah. Respon
pasar sangat bagus dan kita mendesainnya cukup elegan dan tidak kelihatan
murah,” kata dia. Demi menjaring pasar yang lebih luas ke seluruh nusantara, ia
mulai belajar untuk duplikasi usaha.
Setahun beroperasi Rosita mulai mengarahkan usahanya
jadi sistem kemitraan. Saat itu, ia diundang Kementerian Perdagangan untuk
roadshow business opportunity di Bandung. Sistem waralaba ini masih terbilang
baru untuk bidang bisnis rangkaian bunga segar. “Akhirnya kita mencanangkan
diri sebagai Business Opportunity dan nantinya franchise bunga pertama di
Indonesia,” kata dia.
Sistem kemitraan ditawarkan dengan nilai investasi
bervariasi minimal Rp 25 juta. Dengan investasi itu, mitra sudah mendapat
training, alat-alat bahan baku, dan marketing tools. “Dengan target achievement
Rp 15 juta sebulan, BEPnya bisa 4 bulan,” ujar dia.
Kini Tar A Porter sudah menggandeng 11 mitra. Selain
di Jakarta, outlet Tar A Porter sudah tersebar di berbagai wilayah seperti
Tangerang, Yogyakarta, Palembang, Kalimantan dan Surabaya. “Banyak sih
permintaan tapi saya tidak mau panen mitra, saya cukup hati-hati karena saya
mau sustain maka perlu tahu bagaimana karakter mitra kita.”
Ropesta Sitorus
(Tulisan ini sudah pernah terbit di Hariandetik.com)
Anomali Filantropi Witoko
“I will go back to my country, I will learn. I am not 'catastrophe', I am filantropi.”
Beberapa bulan lalu nama Filantropi
Witoko, 24 tahun, mendadak menjadi ngetop. Wanita yang sudah
bersentuhan dengan dunia modelling sejak usia 15 tahun ini ramai
dibicarakan karena dia jadi satu-satunya perwakilan Indonesia yang
berjuang di Asia's Next Top Model. Di kancah reality show tingkat
Asia itu, selama sekitar 3 bulan, ia memperoleh segudang ilmu.
Sayangnya langkahnya harus terhenti di episode keempat.
Selama acara itu berlangsung, ada masa
Filant mendapat pujian dan juga kritik yang pedas. Di episode kedua,
misalnya, ia sempat menangis karena dikritik habis-habisan saat
pemotretan berkelompok dengan menggunakan busana Prada. Namun, pada
episode ketiga, ia mendapat pujian karena memberikan peningkatan
signifikan dalam tema foto zodiak Cina.
Filant tereliminasi saat berfoto dalam
tema seksi. “I think i'm too afraif to become too sexy,” katanya
di hadapan juri. Namun rupanya impiannya memenangkan kompetisi itu
harus terhenti. Tapi ia tak mau larut dalam sedih. “I don't think
that i'm just an ordinary next door girl anymore. You will see that I
will not just stop here, I will go back to my country, I will learn.
I am not 'catastrophe', I am filantropi,” katanya optimis di akhir
acara.
Jalan yang ditempuh Filant sekarang
ternyata sangat jauh dari angan-angannya, menikah muda lalu menimang
bayi mungil. Wanita tomboy berdarah campuran Cina, Jawa dan Dayak ini
malah siap dengan resolusi barunya. Bahkan, ia rela mengambil sekolah
khusus untuk menimba ilmu baru. Langkah apa gerangan yang
disiapkannya?
Mengenakan jaket jeans warna biru dan
celana senada, ia tampak santai saat ditemui di Magnum Cafe , Grand
Indonesia Sabtu (29/12) lalu. Saat itu ia menyempatkan waktu di
sela-sela hangout bersama teman-teman sebayanya yang datang membawa
keluarganya masing-masing. Dengan rambut sebahu yang dibiarkan
tergerai, Filan penuh antusias membagi cerita kepada Ropesta Sitorus
dan Mercy Raya dari Detik sambil sesekali menyeruput minuman Lychee
Iced Tea kesukaannya.
Semakin
Percaya Diri
Bagaimana kabar setelah pulang dari Asia's Next Top
Model?
Pengalamannya sih bisa lebih banyak karena kita jadi tahu
standar di luar itu kayak gimana, karena di Singapura dan Hongkong itu kan
lebih kayak base-nya Asia.Yang paling berkesan sih buat aku pas foto sama Akih
Hakan di episode ke tiga, tentang Zodiak. Awalnya aku belum tahu dia itu siapa
tapi pas aku ke sini teman aku bilang, “iya lo itu kemarin foto sama Akif Hakan.
“ Bisa dibilang dia salah satu fotografer hebat di dunia. Dia orang Turkey dan
pernah foto sama Vogue.
Jadi satu-satunya wakil Indonesia sempat minder enggak?
Setahu aku kayaknya ada banyak model sih awalnya tapi pas
semi final itu yang aku tahu ada 3 orang dari Indonesia ya. Minder sih enggak,
ketika datang, pikiran pertamaku “oke, i'm gonna win this”.
Apa kendalanya saat itu?
Mungkin lebih pada bahasa kali ya. Kalau ngomong aku bisa
tapi kita di sini kan enggak biasa ngomong setiap hari kan. Contohnya kalau
kita sudah biasa tinggal di Jakarta terus harus ke Jawa lagi dan ngomong bahasa
Jawa halus, itu kan pasti ada terasa kagoknya. Itu terasa beberapa hari di awal
sebelum ketemu jurinya. Tapi bukan berarti jadi banyak diam sih, tetap ngobrol.
Modal percaya diri saja. Ya udah salah-salah deh. Ha.ha.ha.
Lalu kecewa enggak saat harus tereliminasi secepat ini?
Sebenarnya gini, bagi aku menang gak menang itu urusan nomor
dua sih, karena setelah dari sana, jalannya jadi lebih kebuka banget. Walaupun
aku di sana cuma sebentar, tapi link itu kebuka dan banyak tawaran yang
masuk. Jadi tidak ada yang kusesalin sih. Ketika aku balik ke sini aku merasa
lebih percaya diri. Kalau dulu masih yang ragu-ragu, sekarang jadi lebih matang
dan lebih tahu apa yang diingini.
Setelah acara itu ada gak kekuranganmu yang akhirnya
ingin diperbaiki?
Ada soal eksplorasi gerak dan gesture. Kalau di sini kan
kita lebih banyak majalahnya yang cantik doang dan saat foto beberapa kali
jepret sudah dapat lalu ganti baju. Kalau di sana itu enggak cukup, harus yang
lebih banyak gerak gitu. Satu baju 10 menit, jadi itu harus ganti-ganti gaya
karena kameranya kan tetap on. Itu yang aku harus perbaiki.
Kamu menganggap itu sangat perlu?
Mungkin memang terdengar simple, tapi kalau dalam modelling
itu krusial banget loh. Enggak mungkin misalnya nanti ada foto majalah untuk
fashion spread 6 halaman kan enggak mungkin gayanya itu-itu doang. Aku memang
lebih banyak di catwalk yang lebih menekankan pada cara jalan, aura yang
dikeluarin dan dan ekspresi. Tapi sebanyak-banyaknya di catwalk, pekerjaan di
foto sih tetap banyak.
Apa pengalaman yang paling menyedihkan saat di sana?
Paling pas di episode dua itu kali ya. Aku orangnya keras
banget sama diri sendiri. Bahkan ketika aku pernah pingsan di JFW 2009, aku
menangis bukan karena malu atau bagaimana tapi karena aku marah banget sama
diri sendiri. Dan hal itu kejadian lagi pas di episode dua. I knew that I
can do this, tapi karena aku enggak bisa, jadinya marah sama diri sendiri.
I'm blaming my self. Aku keras banget.
Tawaran apa saja?
Aku dapat tawaran untuk modelling di Singapura dan di
sini juga. Kemarin sempat bolak-balik. Tapi untuk mulai tahun ini aku ingin
lebih banyak di dalam negeri kali ya.
Segala sesuatunya kan ada proses dan seperti yang aku bilang di twitter
bahwa eliminasi saya itu bukan artinya semua selesai. Tapi itu adalah suatu
permulaan sebagai batu lompatan. Bahkan aku ketika ketemu Tyra Banks dia juga
bilang, “Jangan terlalu berharap dari acara ini, karena ini hanyalah sebagai
batu lompatan kalian.”
Tak berniat untuk go internasional sekalian?
Jujur, untuk modelling saya sudah cukup sangat puas karena
udah 15 tahun di sini. Apa lagi sih yang mau di mau. Bahkan desain-desain kayak
Alberta Feretti, Jean Paul Gautier, Valentino, itu kan banyak untuk di
Indonesia dan aku sudah jalan. Terus apalagi? Di sana gitu-gitu juga. Dari dulu
aku sudah show untuk desainer-desainer seperti Denny Wirawan, Oscar Lawalata,
Raden Sirait, Anne Avantie, Barli Asmara, Alberta Feretti, Jean Paul Gautier,
Valentino. Juga untuk brand-brand di acara Jakarta Fashion Week, Indonesia
Fashion Week, Jakarta Fashion & Food Festival. Mungkin sekarang yang lebih
kebuka itu lebih pada bigger step-nya sih. Tapi tetap modelling
enggak akan aku tinggalkan.
Dikira Pembantu
Hingga Dikata-katain.
Apa rasanya ketemu sama juri yang juga model senior
seperti Nadya Hutagalung?
Apa ya, di sini juga sudah sering ketemu sama artis juga.
Nadya, oke she'e pretty, beautiful, gorgeus, ya sudah. Ketemu Tyra Banks juga
lebih kayak ketemu serior.
Siapa idolamu dalam dunia modelling?
Enggak ada sih, tapi aku selalu tetap nonton fashion tv.
Kita tahu perkembangan terbaru dari dunia model. Enggak bisa dipungkiri yang
namanya model itu penampilan penting lo, juga cara jalan dan keseluruhannya.
Ketika melihat dan observe di televisi itu, kita juga belajar.
Role modelmu siapa?
Enggak ada. Karena begini, model itu yang penting karakter.
Kayak cara jalan Dominique, Laura Muljadi, Karenina, Tracey Trinita bahkan Ria
Juwita sekalipun enggak bisa sama. Ambil contoh, Ria Juwita ngajarin aku sama
Dominique, tapi cara jalan kami beda total meskipun gurunya sama. Karena yang
namanya karakter. Jadi aku lebih ngelihat kepribadian orang gitu, bagaimana dia
melebur dengan baju karya desainer itu sendiri.
Sejauh ini karir di model lancar dan mulus?
Enggak mulus juga sih. Jadi model itu berat banget.
Cacian-cacian itu pasti ada. Pertama kali aku jadi model gitu aku dikirain
pembantu. Pas aku datang itu, make-up artisnya itu bilang “Oh kamu model ya,
saya kira kamu pembantu.” Jadi i've been through a lot sih, dan tidak
ada yang ku sesali karena dengan begitu aku jadi kuat.
Kapan tepatnya mulai jatuh cinta sama dunia modelling?
Justru setelah balik dari sana (Singapura). Aku baru
benar-benar meyakini bahwa memang jalannya gue di sini. Tapi bukan berarti
selama ini setengah hati ya karena aku pasti dengan totalitas menjalani apa
yang di depanku. Hanya saja, ketika itu belum ada perasaan, bahwa ini hidupku
dan jalan yang ditakdirkan untukku. Ketika balik dari sana baru sadar, “oke,
jadi gue di sini toh”. Selama ini masih proses pencarian sih.
Apa kata-kata kritik yang ngena banget?
Aku menanggapi semuanya secara profesional sih, karena di
dunia modelling kalau kita ambil perasaan, aduh, sudah berhenti dari
entah kapan kali dan sudah sakit hati kayak apaan. Gini, kita harus pintar sih
untuk tahu mana yang kita jadikan kritik yang membangun atau kita lewatin saja.
Maksudnya?
Jadi ketika aku balik dari sana, wow, orang ngata-ngatainnya
gila-gilaan banget. Orang-orang yang enggak ngerti dunia fashion juga terus
ngomentarin yang kurang bagus. Ada orang yang nge-twit ke aku gitu, dia bilang
banyak hal. Awalnya kucuekin. Tapi mungkin karena aku lagi capek banget,
akhirnya aku bilang gini “Oke, kalau anda merasa lebih bagus dari saya, anda
silahkan menggantikan saya di acara itu. Saya tidak keberatan, try my shoes.”
Besok paginya dia minta maaf. Karena memang kayak pemain bola deh, kita
sorakin. Coba kalau kita yang lari-lari gitu ngejar bola, belum tentu bisa,
kan? Ha.ha.ha. Karena memang kita lebih mudah men-judge dibanding
melakukan sendiri.
Jadi beban gak bawa nama Indonesia?
Enggak sih, ketika di sana aku bertanding sebagai pribadi
aku sendiri. Kalau bawa nama negara belum pernah. hahaha.
Banyak yang komentar Anda kurang merasa seksi atau kurang
percaya diri?
Ah tentang itu, iya, mungkin aku merasa kurang nyaman dengan
model cowok itu kali ya. Jadi mungkin ketika itu enggak all out ya kali
ya. Dulu aku pernah syuting sama artis cowok pemain layar lebar, Oka Antara dan
ada adegan di mana dia meluk aku. Dan aku fine-fine aja. Jadi itu lebih
situasional aja sih, waktu itu agak enggak nyaman.
Soal dunia model, ada sikut-sikutan enggak?
Enggak sih, asalkan kitanya enggak kurang ajar dan enggak
cari masalah. Kalaupun ada semacam senior atau gap dengan junior itu zaman dulu
banget sih. Sekarang model-model baru pun rata-rata sopan sih. Aku tipe orang
yang gak cari masalah, jadi orang pun segan dong. Kecuali kalau kitanya pun
belagu.
Bagaimana Anda memandang soal glamoritas dalam dunia
model?
Itu tergantung kita temanan ama siapa sih. Ada beberapa yang memang glamor banget, ada yang biasa aja. Kalau saya termasuk yang biasa aja. Kalau kelancaran karir tergantung hubungan kita sama klien, enggak ada hubungannya dengan mereka. Jadi ngapain mesti ambil pusing.
Alasan bahwa itu penting untuk jaga eksistensi?
Penampilan memang penting, tapi bukan berarti harus yang bermerek. Bahkan desainer-desainer luar negeri itu selalu bilang gini “you can buy clothes but you can't buy style”. Itu yang kutanamin ke aku sih, aku enggak harus beli barang branded tapi I have my own style. Saya enggak ada yang bermerek. Sayang duitnya, musti nabung 10 tahun - 15 tahun, itu juga enggak kebeli. Kalau dia bisa beli itu ya silahkan, kalau aku lebih baik duitnya dipake untuk liburan buat ke Bali atau ke Gili. Ha.ha.ha.
Itu tergantung kita temanan ama siapa sih. Ada beberapa yang memang glamor banget, ada yang biasa aja. Kalau saya termasuk yang biasa aja. Kalau kelancaran karir tergantung hubungan kita sama klien, enggak ada hubungannya dengan mereka. Jadi ngapain mesti ambil pusing.
Alasan bahwa itu penting untuk jaga eksistensi?
Penampilan memang penting, tapi bukan berarti harus yang bermerek. Bahkan desainer-desainer luar negeri itu selalu bilang gini “you can buy clothes but you can't buy style”. Itu yang kutanamin ke aku sih, aku enggak harus beli barang branded tapi I have my own style. Saya enggak ada yang bermerek. Sayang duitnya, musti nabung 10 tahun - 15 tahun, itu juga enggak kebeli. Kalau dia bisa beli itu ya silahkan, kalau aku lebih baik duitnya dipake untuk liburan buat ke Bali atau ke Gili. Ha.ha.ha.
Tak Berbakat
Akademis dan Suka Berantem
Filant lahir sebagai anak kedua dari empat bersaudara
yang semuanaya adalah wanita. Namun, hanya Filant yang tomboy, sedangkan
saudaranya lebih mirip karakter ibunya, Lestari Sarino (50) yang memang mantan
model dan presenter televisi. Melihat tingkah polah anaknya, Edy Witoko (54)
yang mantan atlet volly nasional pun mulai resah dan memasukkan sang putri ke
dalam sekolah modelling. Tapi bukannya mulus, Filant pun sempat menentang meski
akhirnya luluh.
Filant saat kecil itu seperti apa?
Aku itu orangnya tomboy, enggak tahu cara berpakaian.
Temanku pun sama cowok semua. Waktu kecil suka yang lompat sana, lompat sini,
kejedot, jatuh, pulang-pulang berdarah. Ha.ha.ha. Kalau mau turun dari ranjang
itu berdiri dulu di sisinya terus lompat dan lari. Pokoknya lincah banget.
Waktu SD aku juga suka berantem sama anak cowok. Ha.ha.ha.
Nah, bagaimana bisa jadi model?
Jadi karena terlalu tomboy gitu, orang tua nyuruh
sekolah modelling. Awalnya aku enggak mau, toh siapa yang mau jadi
model? Orangtua bilang “Oh enggak apa yang penting kamu tahu bagaimana cara
berpakaian dan bagaimana jadi seorang wanita. Itu yang paling penting.”
Lalu?
Ya, akhirnya aku masuk sekolah modelling di John
Casablancas di Jakarta. Pihak sekolah melihat aku punya potensi dan dikontrak
di sana. Karena masih muda banget, itu aku masih foto-fotonya di Gadis,
Sweetseventeen. Seiring berjalannya waktu, jadinya tomboynya itu berkurang.
Kayak gini, aku lebih feminin, tapi enggak cewek-cewek banget juga, tetap
tomboy. he.he.he
Kalau saat sekolah, termasuk tipe yang gigih?
Ah enggak. Bukan karena malas, tapi memang kekuatannya
enggak di sana kali ya. Aku terbulang
anak yang baik-baik saja sih, tapi memang akademiknya kurang begitu bagus,
enggak ada juara. Kekuatan aku di analisis makanya psikologi lebih cocok karena
itu kan semuanya analisis daripada teori. Kan ada orang yang pintar di math
atau bidang lain. Dulu aku masuknya di IPA karena aku suka kimia dan hapalan
itu benar-benar enggak deh.
Jadi bakatmu dalam bidang apa?
Bakat aku tidak di bidang akademis tapi dalam art.
Waktu SD aku masuk sanggar dan ikut lomba gambar di Jepang. Untuk kegiatan
ekstrakurikuler aku pilih paduan suara waktu SD, waktu SMA sempat masuk eskul
lukis tapi enggak pernah masuk. Ha. ha. ha.
Lalu kenapa menekuninya?
Tiap orang kan ada jalannya masing-masing sih dan PR-nya
kita untuk mencari dan menjalani yang mana. Kayak misalnya aku, aku memang suka
gambar tapi itu hanya sebagai hobby, kalau ditekuni juga mungkin belum tentu
jalan aku di sana seperti memang orang yang sejak muda jalannya diarahkan untuk
ke sana.
Ke psikologi dorongan siapa?
Psikologi itu panggilan. Aku kepengen nolong anak-anak dan
remaja. Ketika remaja itu kan masa-masa labil dan peranan tv serta media kurang
menunjang. Jadi mereka cenderung lebih cepat dewasa di banding umurnya. Mereka
mungkin perlu pengarahan.
Ingin buka praktek psikolog atau jadi pengajar?
Dua-duanya kali ya. Mungkin itu karena namaku juga ya.
Filantropi itu artinya kepedulian dan cinta kasih terhadap sesama manusia. Dari
dulu lebih ada perasaan peduli terhadap sesama manusia itu tinggi banget.
Karakter Filant itu aslinya bagaimana?
Keras kepala. Kalau lagi bete, terus ada orang ribet aku
bisa marah dan jadi berantam karena aku paling kesal sama orang yang ribet.
Hal apa yang paling pantang menyalahi prinsipmu?
Mungkin karena aku belajar psikologi, jadi tidak boleh
memaksakan prinsip yang aku punya, bahkan itu agama atau personal. Jadi ketika
seseorang berbeda aku akan menghargai dan aku tidak akan memaksakan prinsip
aku. Ketika aku punya pacar beda agama, oke, aku tidak masalah untuk menikah
beda agama. Tetapi jangan pernah meminta aku untuk pindah agama dan aku pun
sebaliknya.
Impian Menikah
Muda
Apakah jadi model memang cita-citamu dulu?
Sejak SMA hingga tamat kuliah, aku pengennya itu cuman
menikah muda, punya anak, buka praktik psikologi dan punya butik. I'm a
simple person I only have a simple life. Enggak ada pernah terpikir akan
jadi seperti ini. Bahkan ini teman-teman aku semua sudah pada punya bayi semua
kan. Mereka semua ngomongin masalah ASI, masalah bayi dan segala macam. Rasanya
gimana gitu, dulu masih bareng banget, omongannya nyambung, sekarang malah lucu
jadinya. Tapi namanya itu rencana Tuhan ya, kita enggak ada yang tahu ya, kita
juga enggak bisa menolak kan. Jadi cuma bisa disyukurin dan dijalanin dengan
maksimal.
Apa yang dilihat dari menikah muda, kok kepikiran?
Apa ya? Emang enggak ada yang mikir gitu ya. Oke, aku just
like menikah, having a cute baby.
Sharing the love itu sih, sama suami sayang-sayangan berdua, sama anak juga,
aku suka anak-anak.
Tapi kan tidak semua pernikahan seindah itu..
Iya memang tidak semua seindah itu, pasti ada tantangannya.
Maybe because i'm simple, sih. I just wanna married young and then have a baby.
Sekarang i'm 24 dan enggak punya pacar. Ha.ha.ha.
Kecewa gak karena mimpi itu belum kesampaian?
Aku memang enggak jadi menikah muda, tapi aku punya jalan
karir yang besar sekarang ini bahkan jauh lebih besar dari yang pernah
kubayangin sebelumnya. Tapi tetap enggak bisa dibohongin bahwa sebagai manusia,
apalagi saat berkumpul dengan teman-teman, ada perasaan, 'yah sayang ya”. Tapi,
bukan kecewa sih ya.
Bersyukur “diceburin” ke dunia model?
Iya, jelas banget. Tidak ada yang kusesali dalam hidup.
Sekali kita menyesal itu artinya kita tidak bersyukur, maka hal-hal negatif
akan datang.
Dua Kepribadian
Jika sedang ada kesempatan, Filant sangat suka berkunjung ke dua tempat favoritnya, Bali dan Gili. Di sana, dia bebas melakukan hobbynya, tanning. “Tipe kulit aku itu susah hitam tapi cepat banget baliknya, aku baru dua minggu lalu lo ke Bali tapi ini kulitnya udah balik,”kata dia sambil memperlihatkan sisa kulitnya yang tan di bagian pundak kirinya. Ternyata, seperti kebanyakan orang, Filant juga tidak menyukai beberapa bagian tubuhnya. Bahkan ia juga menyimpan dua sisi anomali yang tak banyak orang ketahui.
Kamu suka tanning saat sebagian besar orang justru suka memutihkan kulit..
Itu selera sih dan kita enggak bisa maksain. Bagi aku kulit tan itu lebih sehat dan seksi dan aku ngerasa seksi kalau kulitnya lagi tan. Kalau putih itu kesannya pucat banget.
Suka merawat tubuh dan dandan?
Aku enggak terlalu. Kalau perawatan paling cuma kayak mandi. Aku suka scrub tapi di rumah. Soalnya enggak betah di salon paling untuk creaambath saja itu pun suka bosanan dan cepat bete.
Aku enggak terlalu. Kalau perawatan paling cuma kayak mandi. Aku suka scrub tapi di rumah. Soalnya enggak betah di salon paling untuk creaambath saja itu pun suka bosanan dan cepat bete.
Bagian tubuh mana yang terseksi?
Mata. Aku suka bermain dengan sorotan mataku sih seperti flirting.
Karena ketika berhadapan dengan seseorang kan kita melihat matanya, nah
menurutku itu bagian yang penting.
Senang dong saat difoto?
Enggak. Aku paling dibenci difoto. Bahkan sampai sekarang,
kalau orang nawarin foto gue enggak mau difoto. I think I have like two
personality, one is the real me and the one that really love the fashion
industri.
Semacam anomali ya?
Aku yang asli ya ini yang sekarang, I don't like to be in the picture. It's
like in beetween. I have a feminine site but I also cowok banget. Tapi
ketika aku jadi si Filant yang jadi si model itu bisa-bisa, “oh udah selesai
(fotonya), lagi dong”. Ha. ha. ha. It's kind a weird.
Ada enggak bagian tubuh yang gak disukai?
I don't really like my ass because it's too big to me. Sebenarnya sejauh ini fine-fine saja sih, tapi aku enggak terlalu suka saja.
Cara mengakalinya?
Apa ya, udah dari sananya mau gimana. Paling dari sisi pakaian saja. Aku gak bisa pakai legging doang sama kemeja gitu. Pertama itu bukan seleraku, kedua aku enggak nyaman, dan kalaupun aku nyaman, pinggul sama pantat aku gede banget, jadi kesannya jorok banget, maksudnya seronok.
Aku lebih suka pakai jeans, lebih nyaman sih, kalau ojekan juga oke. Kalau rok atau gaun itu kalau kawinan doang.
Ohya, apa resolusi tahun ini?
Mengembangkan karir. Kalau sekolah lagi ada niat tapi nanti. Jadi karir, sekolah lalu nikah. Masa pengen nikahnya sudah lewat.
Usia berapa rencana mau nikah?
Saya cari pacar dulu ya, nanti kalau ketemu saya bilangin. I
don't know sih, aku juga sekarang lagi gak mau cari pacar.
Tipe cowok ideal?
Saya biasanya Indonesia Timur sih, biasanya saya pacaran
sama Ambon, Manado, NTT karena seksi menurut saya. Cuman sekarang ini enggak
tahulah. Masih pengen total, kayaknya nanggung kalau udaah kesini tapi karirnya
enggak lanjut.
Kabarnya sekarang lagi dekat dengan Denny Sumargo?
Buset! Bukan. Dia (Denny) hanya teman. Aku kan sudah bilang
aku tomboy, temanku banyak cowok. Kalaupun ada teman wanita, sudah pada
hamil dan punya anak semua.
Oh, tidak benar ya?
Orang suka salah mengira aku banyak cowoknya. Sebenanrya
enggak, karena aku anak tomboy dan kalau sama cewek kan ribet, misalnya mau
ngajak ketemuan dandan dulu. Kalau ama cowok lebih simpel.
Dulu banyak pacar?
Enggak. Dulu aku jelek banget kali even sekarang juga
jelek banget.
Bukannya dulu bunga desa ya?
Di banding bunga desa, lebih cocok lalat desa kali iya.
Soalnya kerjaannya ngerecokin orang pacaran, Teman-teman lagi sama pacarnya
gitu, gua ngapain kek yang penting ikut. Ha.ha.ha. Dulu cinta-cinta
monyet kali ya, tapi baru serius pacaran itu pas 2008. Aku orangnya bosanan,
tapi kalau udah sayang I can do everything for him.
Kepincut Dunia
Akting
Filantropi terbilang berani. Saat langkahnya sebagai
model sedang cemerlang, ia justru mengaku ingin mencoba bidang baru, main film
layar lebar. Keputusan yang bisa membuat orang mengerutkan kening. Tapi Filant
sudah mantap. “Walaupun aku misalnya tahun ini melebarkan karir ke dunia
akting, bukan berarti aku cuman di sini doang. Aku punya impian yang jauh lebih
besar, dan itu dimulai dari sekarang,” kata dia. Selama ini ia kerap mendapat
tawaran main film yang terpaksa ia abaikan karena padatnya jadwal show. Meski
tak akan meninggalkan modelling, tahun ini ia akan menyisihkan waktu untuk
akting. “Yang kucari adalah tantangan!”
Lalu apa rencana untuk karir?
Aku punya plan tersendiri, dan aku memang belum bisa ngomong
sekarang. Saat ini, jujur aku lagi pengen banget ke layar lebar, jadi pengen
nyoba banget.
Anda ingin bermain dalam film yang bagaimana?
Yang jelas bukan tentang cinta-cintaan. Aku pengen bermain
dalam thriller tapi bukan setan-setan, lebih yang berbau psikologis. Berikutnya
pengen yang komedi. Tapi intinya sih karena ini masih baru banget sih, jadi aku
enggak mau terlalu picky.
Lawan main yang paling ingin?
Siapa ya, siapa aja boleh sih. Ha.ha.ha. Tapi aku pengen
banget sih sama yang sutradaranya Riri Riza, Rudy Sujarwo, Nia Dinata.
Suka nonton film inddonesia?
Cuma yang karya-karya mereka. Aku enggak suka nonton film
yang horor yang setan-setan itu, sumpah aku takut banget. Tapi aku suka kayak
pembunuhan dan misteri, jadi thrillernya negangin secara psikologis.
Belajar akting sendiri atau ada gurunya?
Aku sudah daftar kelas di Jim Academy mulai Januari ini. Aku
pengen all out sih. Kalau ngelihat artis-artis di Hollywood, mereka itu
benar-benar ngambil kelas akting, bahkan sekelas Nicole Kidman.
Ingin mencari popularitas?
No! Cape lagi kalau ngomongin popularitas itu.
Misalnya yang nge-twitt banyak, satu enggak dibalas yang lain marah.
Jadi popularitas itu capek lagi, enggak ada privacy sama sekali.
Bukannya nanti kalau sudah masuk ke dunia entertainment
ada risiko popularitas itu?
Iya, segala sesuatunya itu akan ada harga yang harus
dibayar. Aku enggak suka jadi public figur tapi mau enggak mau harus
siap. Jadi banyak hal yang aku harus pelajarin membagi antara personal
dengan yang bukan. Sulit banget sih memang, tapi saya itu pengen ketika jalan
tidak ada orang yang ngenalin. Ha.ha.ha.
Tulisan ini telah terbit di rubrik EMPAT MATA Hariandetik.com
Selasa, 24 Februari 2015
5 Buku Terakhir Paling Melekat
Bisa membaca buku bagi saya adalah kemewahan yang patut disyukuri. Saya termasuk orang yang doyan melahap buku. Biasanya di sela-sela aktifitas saya, atau di tengah perjalanan dari dan menuju tempat kerja, saya sering menyempatkan membaca. Sayang akhir-akhir ini kebiasaan baik itu jarang saya lakukan karena kesibukan yang padat.
Bicara buku, saya ingin menuliskan tentang lima judul buku yang menjadi sumber inspirasi saya. Buku itu saya jabarkan dari mulai yang terakhir selesai saya baca.
Pertama, Memang Jodoh karya Marah Rusli. Buku ini adalah novel terakhir dari penulis Siti Nurbaya. Bisa dibilang ini adalah semi autobiografi Marah Rusli, tentang kisah cintanya yang sangat menyentuh. Karya Sastra ini termasuk karya klasik yang pernah “hilang” dari ranah sastra Indonesia.
Mengetahui buku ini sudah dibuat lebih dari 50 tahun yang lalu tapi baru diterbitkan sekarang, memancing rasa penasaran saya. Marah Rusli ternyata berwasiat agar bukunya harus dipendam, baru boleh diterbitkan jika semua orang yang terlibat dalam buku meninggal dunia.
Lewat buku setebal 535 halaman ini Marah Rusli menyajikan romansa lampau tentang kisah cintanya. Kisah itu tak biasa dan bukan cinta yang datar tapi terbalut dalam isu sosial yang jadi latar belakangnya. Pembaca diajak menyelami pikiran pribadi tokoh penulis soal kemerdekaan individual lewat konflik asmaranya yang terbentur kungkungan adat Minang.
Buku Kedua, Titik Nol, karya Agustinus Wibowo. Buku ini diberi subjudul “Makna Sebuah Perjalanan”. Dengan tebal 552 halaman, Agustisnus seperti menyajikan sebuah jurnal kehidupannya yang dia sebut laksana seorang musafir.
Penulis perjalananan (travel writer) ini menyajikan cerita yang komplit dengan teknik bertutur yang unik. Dia menarik garis waktu antara masa kini dan masa lalu, di mana dia membawa pembaca dalam alur maju mundur.
Agustinus menyajikan kehidupannya yang menantang. Tentang bagaimana dia sebagai salah satu lulusan terbaik sekolah ternama di Tiongkok tapi kemudian memutuskan menjadi pejalan. Dia bahkan tak memakai ijazahnya untuk melamar pekerjaan dan malah berkelana menjauh dari kemapanan yang ditawarkan dunia.
Menarik mengikuti kehidupan Agustinus yang sangat menghargai kemerdekaan individual. Dia berkelana kemana kebebasan membawanya dan bertahan hidup dengan cara menjadi penulis lepas di berbagai media di negara yang dia singgahi. Memang tak semua semudah yang dibayangkan.
Kadang penyesalan juga timbul tatkala dia mengingat orang tua dan kampung halaman serta semua yang dia sengaja lepaskan. Pepatah yang pas menggambarkan kondisi itu adalah “mengharapkan guruh di langit, air tempayan ditumpahkan”. Tapi Agustinus mengajarkan untuk tidak menyesal atas pilihan yang sudah dibuat, bahwa hidup adalah perjuangan untuk mencari sebuah makna.
Buku Ketiga, Habibie&Ainun, karya Bacharuddin Jusuf Habibie. Saya mendapat buku ini tatkala menghadiri premiere film berjudul sama yang diangkat dari novel karya Presiden Ketiga RI itu, di Studio XXI Epicentrum, Jakarta Selatan, 8 Januari 2013. Dalam acara nonton bareng Habibie kali itu, saya sangat terpukau dengan kisah cintanya yang diperankan Bunga Citra Lestari dan Reza R.
Begitu terpesonanya saya, sampai di rumah saya langsung melahap habis buku setebal 323 halaman itu. Kemudian setahun berlalu, saya kembali membaca buku yang kisah cinta Habibie&Ainun beberapa waktu lalu. Sensasinya masih sama.
Saya seperti ditarik ke dalam dunia Habibie, merasakan suka duka kisah cintanya dengan Ainun. Lebih menarik lagi menyadari pengakuannya bahwa buku ini ditulisnya sebagai terapi tatkala diliputi dukacita mendalam setelah kematian sang istri.
Fakta bahwa menulis bisa menyembuhkan, dan bagaimana mereka menjaga api cintanya tetap menyala selama 48 tahun, membuat bukunya ini sangat cocok dibaca kawula muda. Belajar tentang resep spiritual bagi bangunan rumah tangga yang kokoh adalah poin penting yang bisa digali dari pengalaman Habibie Ainun.
Buku Keempat, Meretas Jurnalisme Pinggiran, karya keroyokan rekan-rekan penulis yang merupakan wartawan di Medan. Buku terbitan Yayasan Kippas dan Acted ini dihadiahkan oleh salah satu penulisnya--yang sama sekali belum pernah saya temui-- yang juga wartawan Harian Analisa, Dedy Hutajulu.
Isinya berupa kumpulan Feature Pemilu 2014 dipotret dari kacamata para jurnalis. Lokasi yang diprotret tentunya Sumatera Utara, termasuk di Medan dan kota-kota kecil, tentang bagaimana hiruk pikuk Pesta Demokrasi di wilayah yang jauh dari Ibukota Negara itu.
Beberapa bagian sudah saya baca, seperti tentang peliknya kehidupan masyarakat penganut kepercayaan Parmalim di Sumatera Utara. Parmalim adalah agama orang Batak sebelum Islam dan Kristen menyentuh wilayah sekitar Danau Toba. Tapi hingga kini, meski sudah diakui sebagai salah satu aliran kepercayaan, penganut Parmalim masih sulit mendapatkan hak-hak sipilnya.
Kelima, buku yang sering menemani hari-hari saya adalah Studio d A1, sebuah buku paket belajar Bahasa Jerman. Buku ini buku wajib di Goethe Institut, tempat di mana hampir setahun terakhir saya menimba ilmu secara informal.
Saya berminat untuk mempelajari Bahasa baru selain untuk hobby juga untuk menambah keterampilan pribadi saya. Sebab di era sekarang, apalagi menyongsong masa perdagangan bebas, tentunya sangatlah penting untuk mempunyai skill tambahan, terutama dalam soal komunikasi.
===
Bicara buku, saya ingin menuliskan tentang lima judul buku yang menjadi sumber inspirasi saya. Buku itu saya jabarkan dari mulai yang terakhir selesai saya baca.
Pertama, Memang Jodoh karya Marah Rusli. Buku ini adalah novel terakhir dari penulis Siti Nurbaya. Bisa dibilang ini adalah semi autobiografi Marah Rusli, tentang kisah cintanya yang sangat menyentuh. Karya Sastra ini termasuk karya klasik yang pernah “hilang” dari ranah sastra Indonesia.
Mengetahui buku ini sudah dibuat lebih dari 50 tahun yang lalu tapi baru diterbitkan sekarang, memancing rasa penasaran saya. Marah Rusli ternyata berwasiat agar bukunya harus dipendam, baru boleh diterbitkan jika semua orang yang terlibat dalam buku meninggal dunia.
Lewat buku setebal 535 halaman ini Marah Rusli menyajikan romansa lampau tentang kisah cintanya. Kisah itu tak biasa dan bukan cinta yang datar tapi terbalut dalam isu sosial yang jadi latar belakangnya. Pembaca diajak menyelami pikiran pribadi tokoh penulis soal kemerdekaan individual lewat konflik asmaranya yang terbentur kungkungan adat Minang.
Buku Kedua, Titik Nol, karya Agustinus Wibowo. Buku ini diberi subjudul “Makna Sebuah Perjalanan”. Dengan tebal 552 halaman, Agustisnus seperti menyajikan sebuah jurnal kehidupannya yang dia sebut laksana seorang musafir.
Penulis perjalananan (travel writer) ini menyajikan cerita yang komplit dengan teknik bertutur yang unik. Dia menarik garis waktu antara masa kini dan masa lalu, di mana dia membawa pembaca dalam alur maju mundur.
Agustinus menyajikan kehidupannya yang menantang. Tentang bagaimana dia sebagai salah satu lulusan terbaik sekolah ternama di Tiongkok tapi kemudian memutuskan menjadi pejalan. Dia bahkan tak memakai ijazahnya untuk melamar pekerjaan dan malah berkelana menjauh dari kemapanan yang ditawarkan dunia.
Menarik mengikuti kehidupan Agustinus yang sangat menghargai kemerdekaan individual. Dia berkelana kemana kebebasan membawanya dan bertahan hidup dengan cara menjadi penulis lepas di berbagai media di negara yang dia singgahi. Memang tak semua semudah yang dibayangkan.
Kadang penyesalan juga timbul tatkala dia mengingat orang tua dan kampung halaman serta semua yang dia sengaja lepaskan. Pepatah yang pas menggambarkan kondisi itu adalah “mengharapkan guruh di langit, air tempayan ditumpahkan”. Tapi Agustinus mengajarkan untuk tidak menyesal atas pilihan yang sudah dibuat, bahwa hidup adalah perjuangan untuk mencari sebuah makna.
Buku Ketiga, Habibie&Ainun, karya Bacharuddin Jusuf Habibie. Saya mendapat buku ini tatkala menghadiri premiere film berjudul sama yang diangkat dari novel karya Presiden Ketiga RI itu, di Studio XXI Epicentrum, Jakarta Selatan, 8 Januari 2013. Dalam acara nonton bareng Habibie kali itu, saya sangat terpukau dengan kisah cintanya yang diperankan Bunga Citra Lestari dan Reza R.
Begitu terpesonanya saya, sampai di rumah saya langsung melahap habis buku setebal 323 halaman itu. Kemudian setahun berlalu, saya kembali membaca buku yang kisah cinta Habibie&Ainun beberapa waktu lalu. Sensasinya masih sama.
Saya seperti ditarik ke dalam dunia Habibie, merasakan suka duka kisah cintanya dengan Ainun. Lebih menarik lagi menyadari pengakuannya bahwa buku ini ditulisnya sebagai terapi tatkala diliputi dukacita mendalam setelah kematian sang istri.
Fakta bahwa menulis bisa menyembuhkan, dan bagaimana mereka menjaga api cintanya tetap menyala selama 48 tahun, membuat bukunya ini sangat cocok dibaca kawula muda. Belajar tentang resep spiritual bagi bangunan rumah tangga yang kokoh adalah poin penting yang bisa digali dari pengalaman Habibie Ainun.
Buku Keempat, Meretas Jurnalisme Pinggiran, karya keroyokan rekan-rekan penulis yang merupakan wartawan di Medan. Buku terbitan Yayasan Kippas dan Acted ini dihadiahkan oleh salah satu penulisnya--yang sama sekali belum pernah saya temui-- yang juga wartawan Harian Analisa, Dedy Hutajulu.
Isinya berupa kumpulan Feature Pemilu 2014 dipotret dari kacamata para jurnalis. Lokasi yang diprotret tentunya Sumatera Utara, termasuk di Medan dan kota-kota kecil, tentang bagaimana hiruk pikuk Pesta Demokrasi di wilayah yang jauh dari Ibukota Negara itu.
Beberapa bagian sudah saya baca, seperti tentang peliknya kehidupan masyarakat penganut kepercayaan Parmalim di Sumatera Utara. Parmalim adalah agama orang Batak sebelum Islam dan Kristen menyentuh wilayah sekitar Danau Toba. Tapi hingga kini, meski sudah diakui sebagai salah satu aliran kepercayaan, penganut Parmalim masih sulit mendapatkan hak-hak sipilnya.
Kelima, buku yang sering menemani hari-hari saya adalah Studio d A1, sebuah buku paket belajar Bahasa Jerman. Buku ini buku wajib di Goethe Institut, tempat di mana hampir setahun terakhir saya menimba ilmu secara informal.
Saya berminat untuk mempelajari Bahasa baru selain untuk hobby juga untuk menambah keterampilan pribadi saya. Sebab di era sekarang, apalagi menyongsong masa perdagangan bebas, tentunya sangatlah penting untuk mempunyai skill tambahan, terutama dalam soal komunikasi.
===
Langganan:
Postingan (Atom)