***Hai pemalas, berapa
lama lagi engkau berbaring? Bilakah engkau akan bangun dari tidurmu? “Tidur
sebentar lagi, mengantuk sebentar lagi, melipat tangan sebentar lagi, untuk
tinggal berbaring.” Maka datanglah kemiskinan kepadamu seperti seorang
penyerbu, dan kekurangan seperti orang yang bersenjata.***
Dari atas mimbar di podium, sebuah suara baritone
menggelegar. Pemilik suara, Pendeta Parulian Silitonga sedang membaca kutipan
ayat dari Amsal 6:9-12. Aku langsung mendesis, sedikit menggigil. Bukan karena
suara sang pendeta yang meledak-ledak memenuhi ruang gereja HKBP Tebet yang
sore itu hanya terisi separuh saja. Tapi, kutipan ayat itu sungguh-sungguh
menyentil pribadiku.
Sudah berkali-kali aku bertekad membuang kemalasan dalam
diriku. Kebiasaan burukku yang suka menunda-nunda. Sayangnya aku tak pernah
lulus. Bahkan, Minggu sore sebelum ibadah, aku masih sempat membawa uneg-uneg
itu. Aku merasa sepekan itu telah terbuang tanpa banyak hal bermakna. “Ya
Tuhan, ampuni aku yang masih belum bisa memutuskan ikatan dengan rasa malas,”
doaku sebelum beribadah.
Makanya, begitu Pendeta mengajak membuka ayat itu, astaga,
seperti langsung dapat jawaban dariNya. Tema kothbah sore itu sebenarnya
tentang “Tuhan Membenci Ketidakadilan” dengan bahan dari Amos 8:4-7. Demi
menjabarkan tentang kemiskinan, pak Pendeta bilang ada tiga faktor penyebab
kemiskinan yakni kemalasan, alasan sistemik dan alasan faktor alam.
Pada penjelasan faktor yang pertama, pak Pendeta mengajak
membuka ayat di atas. DIA dengan tegas bilang kemalasan akan mendatangkan
kemiskinan. Kehadirannya pun laksana seorang penyerbu, tanpa ketokan di pintu maupun
kata-kata salam. Ia datang seperti pasukan bersenjata, mengepung dari segala
arah.
Amangtahe.
Bagaimana aku tak gemetar membaca ayat ini. Aku sudah lama memberangus musuh
lamaku, kemalasan. Kadang kala ia memang bisa tersingkirkan, tapi dalam banyak
kala ia muncul kembali. Aku miris dengan hari-hariku yang banyak terbuang
percuma. Aku membenci diriku karena lebih senang bermalas-malasan di rumah
daripada melakukan hal bermanfaat.
Satu contoh, Sabtu 3 Agustus lalu, aku dan seorang teman berniat
berangkat ke UI di Depok dan daftar kursus bahasa asing. Rencana ini sebenarnya
salah satu target yang ingin kulakukan sejak Januari silam. Namun, dua kali aku
kalah cepat, saat mendaftar, pendaftarannya sudah ditutup. Padahal pendaftaran
hanya dibuka sekali tiga bulan. Sabtu kemarin, terulang lagi. Kami kesiangan,
dan tiba tepat sebelum gedung akan dikunci karena sudah lewat waktu. Ckckck.
Kami diminta datang lagi dua minggu kemudian karena
pendaftaran tutup sepekan saat Lebaran. Memang, kelas baru akan mulai pada
September, waktu kami masih longgar. Tapi, sore itu perjalanan kami jadi tak
berguna. “Ini yang kata orang tua, kalau kesiangan rejekinya akan hilang,” kata
temanku itu.
Aku miris. Kesal rasanya pada diri sendiri. Bagaimana tidak,
kami sebenarnya sudah bangun dari pagi tapi memilih santai-santai dulu,
malas-malasan dulu. Kalau lagi malas, aku bisa betah tidur-tiduran, golar goler
seharian. Niat untuk olahraga setiap pagi, atau mulai aktif di kegiatan sosial,
atau kursus pun tinggal angan. Jangankan itu, niatan untuk menghabiskan
buku-buku bacaan atau belajar TOEFL secara mandiri pun tak pernah tuntas ku
lakukan padahal aktivitasnya toh dalam rumah.
Persoalannya, saat diserang malas seperti itu, ada perang
batin. Aku ingin bergerak, tapi kutunda. Begitulah. Sering aku kalah. Aku
stress. Tapi itu tak mengubah keadaaan. Strategiku agaknya kurang tepat. Lihatlah, sudah bulan delapan tahun 2013. Tapi
masih banyak resolusiku, yang bahkan dimulai pun belum. Menyedihkan. Semua
karena kemalasan.
Ya, aku tahu. Tulisan sampah ini seperti membuka aibku
sendiri, bukan? Tapi tak apalah. Aku sedang mencoba jujur pada diriku sendiri. Mungkin
dengan begitu jiwaku yang malang ini akan lebih tersadarkan. Masih ingat
pepatah yang bilang “Musuh terbesar dan terberat itu bukanlah orang lain, tapi
diri sendiri.” Aku mengalaminya.
Padahal siapa yang malas sama saja dengan mengundang
kemiskinan datang menyerbu alias menggali kubur sendiri. Tuhan membenci dan tak pernah suka dengan pemalas.
Warung Buncit, 11
Agustus 2013.
hahaha.. mulai dari hati ^^ danbiasakans elama 21 hari .. pastii berubah koq kebiasaannya
BalasHapusIyes. kebiasaan itu pada dasarnya sesuatu yang bisa diubah ya..
BalasHapus