Minggu, 20 Oktober 2013

Tuhan Tak Pernah Suka Pemalas


***Hai pemalas, berapa lama lagi engkau berbaring? Bilakah engkau akan bangun dari tidurmu? “Tidur sebentar lagi, mengantuk sebentar lagi, melipat tangan sebentar lagi, untuk tinggal berbaring.” Maka datanglah kemiskinan kepadamu seperti seorang penyerbu, dan kekurangan seperti orang yang bersenjata.***

Dari atas mimbar di podium, sebuah suara baritone menggelegar. Pemilik suara, Pendeta Parulian Silitonga sedang membaca kutipan ayat dari Amsal 6:9-12. Aku langsung mendesis, sedikit menggigil. Bukan karena suara sang pendeta yang meledak-ledak memenuhi ruang gereja HKBP Tebet yang sore itu hanya terisi separuh saja. Tapi, kutipan ayat itu sungguh-sungguh menyentil pribadiku. 

Sudah berkali-kali aku bertekad membuang kemalasan dalam diriku. Kebiasaan burukku yang suka menunda-nunda. Sayangnya aku tak pernah lulus. Bahkan, Minggu sore sebelum ibadah, aku masih sempat membawa uneg-uneg itu. Aku merasa sepekan itu telah terbuang tanpa banyak hal bermakna. “Ya Tuhan, ampuni aku yang masih belum bisa memutuskan ikatan dengan rasa malas,” doaku sebelum beribadah.

Makanya, begitu Pendeta mengajak membuka ayat itu, astaga, seperti langsung dapat jawaban dariNya. Tema kothbah sore itu sebenarnya tentang “Tuhan Membenci Ketidakadilan” dengan bahan dari Amos 8:4-7. Demi menjabarkan tentang kemiskinan, pak Pendeta bilang ada tiga faktor penyebab kemiskinan yakni kemalasan, alasan sistemik dan alasan faktor alam.

Pada penjelasan faktor yang pertama, pak Pendeta mengajak membuka ayat di atas. DIA dengan tegas bilang kemalasan akan mendatangkan kemiskinan. Kehadirannya pun laksana seorang penyerbu, tanpa ketokan di pintu maupun kata-kata salam. Ia datang seperti pasukan bersenjata, mengepung dari segala arah.

Amangtahe. Bagaimana aku tak gemetar membaca ayat ini. Aku sudah lama memberangus musuh lamaku, kemalasan. Kadang kala ia memang bisa tersingkirkan, tapi dalam banyak kala ia muncul kembali. Aku miris dengan hari-hariku yang banyak terbuang percuma. Aku membenci diriku karena lebih senang bermalas-malasan di rumah daripada melakukan hal bermanfaat.

Satu contoh, Sabtu 3 Agustus lalu, aku dan seorang teman berniat berangkat ke UI di Depok dan daftar kursus bahasa asing. Rencana ini sebenarnya salah satu target yang ingin kulakukan sejak Januari silam. Namun, dua kali aku kalah cepat, saat mendaftar, pendaftarannya sudah ditutup. Padahal pendaftaran hanya dibuka sekali tiga bulan. Sabtu kemarin, terulang lagi. Kami kesiangan, dan tiba tepat sebelum gedung akan dikunci karena sudah lewat waktu. Ckckck.

Kami diminta datang lagi dua minggu kemudian karena pendaftaran tutup sepekan saat Lebaran. Memang, kelas baru akan mulai pada September, waktu kami masih longgar. Tapi, sore itu perjalanan kami jadi tak berguna. “Ini yang kata orang tua, kalau kesiangan rejekinya akan hilang,” kata temanku itu.

Aku miris. Kesal rasanya pada diri sendiri. Bagaimana tidak, kami sebenarnya sudah bangun dari pagi tapi memilih santai-santai dulu, malas-malasan dulu. Kalau lagi malas, aku bisa betah tidur-tiduran, golar goler seharian. Niat untuk olahraga setiap pagi, atau mulai aktif di kegiatan sosial, atau kursus pun tinggal angan. Jangankan itu, niatan untuk menghabiskan buku-buku bacaan atau belajar TOEFL secara mandiri pun tak pernah tuntas ku lakukan padahal aktivitasnya toh dalam rumah.

Persoalannya, saat diserang malas seperti itu, ada perang batin. Aku ingin bergerak, tapi kutunda. Begitulah. Sering aku kalah. Aku stress. Tapi itu tak mengubah keadaaan. Strategiku agaknya kurang tepat.  Lihatlah, sudah bulan delapan tahun 2013. Tapi masih banyak resolusiku, yang bahkan dimulai pun belum. Menyedihkan. Semua karena kemalasan.

Ya, aku tahu. Tulisan sampah ini seperti membuka aibku sendiri, bukan? Tapi tak apalah. Aku sedang mencoba jujur pada diriku sendiri. Mungkin dengan begitu jiwaku yang malang ini akan lebih tersadarkan. Masih ingat pepatah yang bilang “Musuh terbesar dan terberat itu bukanlah orang lain, tapi diri sendiri.” Aku mengalaminya.

Padahal siapa yang malas sama saja dengan mengundang kemiskinan datang menyerbu alias menggali kubur sendiri. Tuhan membenci dan tak pernah suka dengan pemalas.

Warung Buncit, 11 Agustus 2013. 

*hanya catatan pribadi, tulisan lama yang dibuang sayang. 

2 komentar:

  1. hahaha.. mulai dari hati ^^ danbiasakans elama 21 hari .. pastii berubah koq kebiasaannya

    BalasHapus
  2. Iyes. kebiasaan itu pada dasarnya sesuatu yang bisa diubah ya..

    BalasHapus