Minggu, 20 Oktober 2013

Edisi Patah Hati


Malam ini aku akhirnya melihat sendiri satu hal yang selama ini aku takutkan. Ini bukan cerita tentang  hantu. Ini hanya berkaitan dengan kekhawatiranku akan suatu hal yang menyangkut seseorang. 

Seseorang itu sempat kukenal saat aku mengambil mata kuliah Fotografi Jurnalistik di USU. Di kelas 3 sks itu, aku berkenalan. Seiring jalannya aktivitas perkuliahan, dia semakin kukenal. Di dalam kelas, saat pameran fotografi, pun melalui media sosial, kadang-kadang kami bertukar cerita.

Suatu kali dia memujiku. Mungkin tepatnya memotivasiku. Dia bilang aku berbakat dalam bidang fotografi, khususnya fotografi jurnalistik dan memintaku untuk menekuninya. Dia yakin aku punya potensi bagus dan hanya perlu diasah. Dunia yang dulu sempat amat kusukai dan menelan sebagian waktuku saat kuliah.

Begitulah. Aku menyukai cara dia memotivasiku. Tak hanya secara lisan. Dia juga menjadi memberi motivasi lewat aksi nyata dengan menunjukkan hasil-hasil karyanya yang tembus ke dunia internasional. Aku pun punya interest khusus ke dia, dan dunia baru yang diajarkannya padaku.

Memang perhatian itu tak dalam. Komunikasi kami pun tak terlalu intens. Tapi ada momen di mana kadang aku merasa akrab. Sehingga lambat laun, aku mempunyai gambaran khusus tentang dia, tentu saja hanya dalam benakku. Gambaran yang kureka berdasarkan pengakuan dia.

Jalannya waktu menggariskan aku merantau. Aku meninggalkan Medan. Tempat yang sebenarnya ingin kuakrabi, tapi peluang menarikku ke Jakarta. Lama kami tak bertukar kabar. Sejak meninggalkan bangku kuliah pada 2010 silam.

Hingga terjadilah yang kutakutkan itu. Aku mendengar dia sudah menambatkan hati. Yang menyesakkan, seseorang memberitahukan bahwa dia sudah berubah haluan.

Entahlah. Aku tak berhak mencampuri urusan yang satu itu. Sebab itu urusannya dengan Tuhan. Itu hanya cara dia meyakini Tuhan. Aku tak kunjung menemukan bukti. Maka kusimpan saja tanya dalam hati, tak pernah berani kuungkap.

Namun tadi, tiga tahun setelah kami tak berjumpa, aku menemukan sepotong fakta dalam gambar, lagi-lagi dari media sosial. Tak kupercaya bahwa itu dia. Sebab kenyataan yang terpampang itu memang sesuai dengan yang kutakutkan. Dia menikah dalam upacara yang berbeda.

Fakta itu ternyata telah terjadi pada pertengahan 2010 lalu, setahun sebelum aku hijrah dari Medan. Kenapa aku telat menyadari kenyataan bahwa dia telah berbeda dengan gambaran yang dia akui dulu?

Tapi ya sudahlah. Aku pun tak berhak mencampuri segala urusan dia. Segala keputusan yang telah dia ambil kuharap tak mengubah pandangan dan kagumku pada dia. Ya, memang tak perlu. Biarlah dia bahagia dengan pilihannya. Semoga.

Warung Buncit, 21 Oktober 2013

2 komentar: