Kamis, 23 Januari 2014

Aku Bocah Petualang di Kampung Tanpa Listrik Itu.


Dulu sekali, aku masih sempat mencicipi hidup di kampung yang belum mengenal listrik. Namanya Hutanamora Dolok, satu desa di Silaen, Tapanuli. Sebenarnya di lapo (kedai – di wilayah yang jalannya sudah di aspal) memang sudah ada listrik tapi ia tak sampai di tempatku, padahal jaraknya hanya sekitar 1-2 km dari Lapo.

Masa itu, aku tak punya radio atau televisi yang mungkin sudah jadi sumber hiburanmu sehari-hari ketika hidup di kota. Lalu, di sekolah di kampung pun aku jarang bersentuhan dengan buku-buku cerita seperti Bobo yang mungkin sudah jadi langganan di rumahmu. Ya, seingatku tak ada buku cerita bagi kami anak-anak sekolah di sana.

Baik rumahku atau rumah tenggga jarang sekali ada yang punya buku di rak-rak seperti lazim di kota-kota. Buku dan televise serta radio, adalah kemewahan. Karena itu, kalau ada kiriman buku bergambar dari abangku yang saat itu sekolah di Pematang Siantar, aku girang bukan main.

Orang-orang tua di kampung halamanku saat itu memang masih belum menomorsatukan pendidikan. Mungkin bagi mereka itu penting, tapi keadaan sosial ekonomi berkata lain. Perhatian mereka masih tersita memikirkan  bagaimana caranya bercocok tanam agar benih padi yang disebar di sawah itu bisa tumbuh, lalu berbuah sehingga kami bisa makan nasi sehari-hari.

Jadi, sebagai kanak-kanak kampung, hiburanku adalah bermain dengan kerbauku. Naik ke atas punggungnya lalu menungganginya lincah pulang dari padang saat petang. Kau tahu teman, rasanya sangat menyenangkan ada di punggung kerbau-kerbau itu apalagi kalau ia berlari di tengah rintik hujan. “Hiyaatt,” kataku lantang menggiringnya pulang ke kandang.

Saat di padang penggembalaan, sambil menjaga kerbau yang tengah merumput, aku juga suka memanjat pohon. Pohon apa saja, yang bercabang, aku pasti bisa panjat. Kau bisa bayangkan rasanya saat berada di puncak. Ada kepuasaan setiap kali bisa naik ke dahannya yang paling tinggi lalu memandang ke sekitar. Dahannya yang paling ujung itu biasanya bergoyang saat ditiup angin. Lalu tubuh kecilku pun ikut digoyang ke sana kemari. Wuih..

Kesukaanku dulu memanjat pohon alpukat, mangga, dan jambu biji. Kalau ada buahnya yang kebetulan matang, aku dan teman-teman makan di atas pohon, lalu membuang kulitnya ke teman di bawah. Haha. Tapi aku enggak pernah berani panjat pohon beringin yang dahannya banyak dan daunnya sangat lebat itu. Hehehe.

Sebagai anak petani aku juga bahagia tiap kali masa panen tiba. Orang tua kami yang sibuk bekerja. Aku dan teman temanku lebih senang bermain di tengah-tengah tumpukan jerami usai musim panen. Membuat alat musik tiup sederhana dari jerami, lalu meniupnya bersahut-sahutan nyaring. Sesekali kami tidur-tiduran di tumpukan jerami itu, lalu pulang dengan badan yang gagal dan bentol merah.

Aku juga suka membuat  poprice (ah entah benar entah enggak istilahnya ini) yang mirip seperti popcorn. Ini sebenarnya kutemukan secara tak sengaja. Waktu itu orang tuaku membakar sekam hasil padi sisa penggilingan beras di halaman depan rumah. Saat memperhatikan abu pembakaran itu aku melihat beberapa butir padi yang meletup. Saat dicoba hasil letupannya lumayan enak. Iseng-iseng aku mengambil padi-padi ibuku, lalu membakarnya. Hahahaha.

Bahagiaku yang lain adalah bebas mandi di sungai yang airnya mengalir. Di kampung kami menyebutnya bondar. Sebenarnya ini adalah sungai irigasi di areal persawahan. Ya, kau tau, kadang-kadang kami melihat sesuatu berwarna kuning yang hanyut dari hulu. Wuuu.. jika sedang musim, sungai-sungai itu juga penuh pacet dan lintah. Kalau sudah begini aku ogah nyemplung , karena sampai sekarang aku masih suka ngeri dengan kedua binatang itu. Jadi alternatifnya adalah mandi di pancuran. Segar.

Di sawah, sesekali aku ikut bapak panen ikan mas di kolam. Hanya saja aku sering merasa geli karena ikan yang lincah itu selalu berhasil lolos dari genggaman tanganku yang mungil. Jadilah aku lebih asik menikmati berlompatan di lumpurnya mencoba memerangkap ikan dengan jari-jariku.

Kesenangangku lainnya adalah mencari harimonting (buah tumbuhan khas wilayah gunung yang manis) atau mengintip sotul (aku gak tahu apa bahasa Indonesia buah ini), mangga (alias embacang), nangka dan durian yang baru jatuh dari pohonnya di sekitar rumah. Tak ada yang lebih menggembirakan saat pergi ke wilayah perbukitan lalu memetik harimonting, buah-buah yang mirip blueberry itu, menampungnya di saku-saku baju dan celana.

Ah ya, di padang-padang itu, aku sempat ikut-ikutan ide gila teman-temanku yang lebih tua. Waktu itu aku suka sekali menangkap capung dan  kupu-kupu. Kupu-kupu di padang biasanya berukuran agak kecil tapi warnanya cerah dan cantik. Suatu kali temanku bilang, kupu-kupu itu menghisap sari-sari tanaman yang manis-manis lalu menampungnya jadi madu.

Entah siapa yang mengajariku cara membedah kupu-kupu itu pada mulanya. lalu mencicipkan madunya yang manis. Ah, lalu aku mulai suka membedah kupu-kupu yang bisa kutangkap. Lalu memakan madunya. Manis. (tapi sekarang ku sadari itu sadis – jangan diikuti ya)

Sesekali, saat kami mulai lapar pada sore hari, kami juga kerap membakar singkong di ladang dan memakannya panas-panas. Hmm.. nikmat sekali. Dari mana singkongnya? Tentunya dari ladang orang yang ada di dekat padang rumput itu. Mencuri? Ya, bisa dibilang demikian. Tapi yang mengambilnya adalah kakak –kakak yang usianya lebih tua dari aku lho. Soalnya waktu itu aku masih berusia 6-7 tahun.

Nah, sudah kuceritakan padamu bagaimana aku hidup di alam bebas kampungku nun jauh di Tapanuli, kan? Begitulah petualanganku ketika masih menghabiskan waktu di kampung hingga aku berusia 8 tahun. (Sejak usia 8,5 tahun, aku 'merantau' ke Pematang Siantar).

Aku tidak ingat pernah main-main boneka Barbie atau boneka teddy bear sepertimu. Ya, tidak ada juga les piano klasik, atau biola, ataupun les ballet yang menurutmu keren tiada tara itu. Pun tidak ada fasilitas les segudang mata pelajaran mulai matematika hingga sejuta bahasa asing yang membuatmu cas cis cus.

Kita memang berbeda. Tapi tak apa. Justru kesenangan-kesenangan masa kanak-kanak itu hingga kini masih tetap bisa membuatku senang penuh syukur. Bersahabat dengan bumi dan belajar dari alam.

Warung Buncit, 6-9-2013 --> 23 Januari 2014
 

2 komentar:

  1. Pengalaman menarik, Pes.. jadi ingat kampung halaman.

    BalasHapus
  2. Haha.. makasih telah singgah bang.. masih banyak sekali kenangan selama di kampung, mungkin kalau ditulis semua mungkin bisa jadi buku kali ya..
    sama kayak kisah Hinalang di blog abang.. :)

    BalasHapus