Matahari siang pada suatu Selasa di bulan Mei tahun lalu, bersinar amat terik. Waktu itu aku sedang di jalan menuju Kementerian Pekerjaan Umum. Tiba di lokasi, aku tak langsung masuk ke ruang wartawan. Rasa haus yang amat membawa kakiku melangkah ke arah kampus Al Azhar yang terletak di bagian belakang kantor Kementerian PU.
Aku ingat, membayangkan bisa meneguk segarnya es kelapa muda
yang pernah kubeli sebulan lalu dari salah satu pedagang di sana. Aku sangat
suka es kelapa racikannya saat itu. Rasa asam dan manis dari jeruk bercampur
sempurna dengan kesegaran air kelapa. Daging buah kelapanya pun terasa empuk
dan manis di lidah. Ah, pasti dahagaku akan langsung lenyap.
Tak jauh dari gerbang kecil PU, yang kusebut gerbang tikus –
karena hanya dibuka tak sampai 50 cm – itu, sebenarnya sudah ada penjual kelapa
muda. Tapi aku tak singgah. Aku memilih untuk berjalan sedikit lebih jauh
menuju gerobak yang pernah ku singgahi dulu. Enggak terlalu jauh memang. Sekitar
20 meter saja.
Aku berhenti di sebuah gerobak es kelapa yang diapit oleh
gerobak penjual gorengan, gerobak ketoprak dan gerobak mi ayam. “Bang, es
kelapa satu ya, pakai jeruk,” kataku pada si abang penjual.
Lalu dia bergerak. Aku mulai merasa janggal. Responnya
lamban, tidak seperti yang pertama kali saat aku datang, penjualnya lincah. Sambil
menunggu aku mengecek BB. Sekedar mengintip email dan BBM yang masuk.
Pas kulirik lagi, si abang ternyata menuangkan sirup kental
berwarna merah muda. Olala.. “bang, enggak pakai sirup, tapi pakai jeruk,”
kataku cepat.
“Loh, pakai jeruk tho. Kalau pakai sirop enaknya campur
susu, jangan pakai jeruk, tapi tergantung selera sih,” kata si abang yang saat
itu berkaos merah.
“Bang, aku tadi pesannya pakai jeruk, bukan pakai sirop,”
kataku.
“Ya tergantung selera sih mba, kalau pakai sirop rasa
jeruknya enggak terasa,” ujar dia lagi.
Oh tidak! Sekonyong-konyong aku maju lalu teriak di
telinganya. “Bang kalau udah budek jangan nyolot dong!” *tapi tentu saja itu
hanya halusinasiku. Nyatanya aku hanya
manyun dan melotot sebal saja karena terlalu lelah dan malas menghabiskan
energi lagi.
Mulailah dia meracik minumanku. Entah apa rasanya sirop
merah dicampur air jeruk dan air kelapa.
Aku pun ogah menyuruh dia untuk membuang sirop yang sudah
dia tuang. Soalnya aku ingat cerita temanku tentang pengalaman temannya saat
jadi pelayan di suatu resto. Jadi kalau ada pembeli yang terlalu rewel,
biasanya mereka akan melakukan sesuatu pada makanan / minuman yang dipesan.
*you know what I mean kan?
Kuterima saja saat dia sodorin segelas es kelapa berwarna
pink. Lalu kutanya. “Bang, ini penjualnya ganti-ganti ya?”.
“Iya mba, soalnya orang enggak tahan. Kerjanya capek mba,”
katanya sambil memonyongkan bibir.
Bah.. Capek katanya. Sudahlah, aku tak minat berdebat. Ku
seruput saja minumanku yang entah berasa apa, tanpa gairah, semata-mata demi
membasahi kerongkongan saja. Aku terlanjur kesal tak mendapatkan es kelapa muda
campur jeruk yang segar itu.
***
Pengalamanku kemarin barangkali juga pernah kau alami,
kawan. Tak jarang kita sangat ingin makan, minum, atau berkunjung ke suatu
tempat karena teringat memory lama. Namun, saat kita datang untuk kedua
kalinya, yang kita terima itu ternyata jauh dari bayangan. Coba fikirkan.
Sebenarnya apa yang membuat itu?
Oke, pada kasusku, faktornya sangat gamblang, karena orang
yang jual memang sudah berbeda. Tapi, coba deh, orang yang jual sama, yang
dijual sama, namun rasanya beda. Tak senikmat yang dibayangkan.
Nah, apakah ini
terjadi karena lidahnya yang sudah berubah? Atau standar kita yang memang sudah
berubah?
Atau memang seperti kata seorang teman, “Yang namanya mantan
sering kali lebih enak saat di dalam kenangan saja”. Ya, bisa jadi.
Warung Buncit, 29 Januari 2014
Mantan itu seperti jajanan jaman SD dulu, enak dibayangkan, tapi pas dimakan biasa ajah. - bunda femi
BalasHapusB-)