Kucing itu mengintip dari celah daun pintu yang kubiarkan terbuka sedikit. Kedua kaki depannya ditekuknya, lalu dia duduk di depan pintu. Tak dinampakkannya seluruh badannya padaku. Hanya kaki dan sebagian kepalanya yang terlihat dari posisiku yang sedang duduk bersandar di dinding, 50 cm dari pintu.
Huss, kataku mengusirnya. Kupikir dia akan takut pada suara
manusia. Tapi kucing abu-abu itu bergeming. Dia tetap duduk. Kugoyangkan daun
pintu dan berlagak mengusirnya, kucing
itu masih tetap diam. Hanya matanya yang dipicingkannya sedikit.
Sudahlah, pikirku. Mungkin dia tertarik karena mencium aroma
cumi-cumi yang jadi santap siangku. Sambil makan, aku perhatikan raut wajah
kucing itu. Dia seperti menunggu. Polahnya tetap tenang, tanpa berusaha memaksa
masuk ke kamar. Dia seperti cukup optimistis bahwa aku akan merelakan sejumput
makananku baginya.
Tapi pikiranku melayang-layang. Aku sebenarnya tidak terlalu
suka kucing. Stigma yang melekat bahwa kucing itu suka mencuri. Dan aku sangat
benci pada pencuri. Kucing itu juga manja. Senang sekali dia bermanja-manja.
Kucing juga arogan. Yah, setidaknya itu yang kulihat dari beberapa kucing
peliharaan ibuku.
Meski tidak terlalu suka, bukan berarti benci. Ya
setidaknya, setiap kali pulang kampung aku menyempatkan memberi makan
kucing-kucing ibuku. Membiarkan mereka berkeliaran di dalam rumah. Hanya pada
malam hari kucing tersebut tidak diperbolehkan menginap di ruang tamu.
Dari kucing-kucing ibu di kampung, pikiranku kembali ke
kucing abu-abu, tamu tak diundang di depan rumahku. Terjadilah percakapan
monolog di dalam pikirakanku.
“Barangkali dia sedang lapar. Baiklah kuberikan dia sedikit
cumi-cumi ini.”
“Kalau kau memberikan sekali, dia akan ketagihan. Dia akan
datang dan datang lagi, lalu kau akan dibuat repot.”
“Ya belum tentu juga, toh aku juga jarang makan siang di
rumah.”
“Mungkin bukan siang, tapi bisa pagi atau malam. Kan
kucing-kucing liar banyak sekali di rumah ini. Satu kau beri sekarang, besok
yang lain akan datang.”
“Jadi kalau begitu, apa yang harus kulakukan. Aku kasihan.
Mungkin dia punya anak yang harus disusui. Mungkin dia sedang hamil. Atau dia
mungkin belum makan apa-apa seharian?”
“Makan sajalah dulu. Kucing itu manja. Kau kan pernah dengar
kata orang-orang tua dahulu, mereka melarang bayinya terlalu sering digendong,
sebab kalau dia jadi manja akan menyusahkan. Kau dengar juga kan, jika pengemis
di jalanan kau berikan uang sekali, mereka akan semakin manja dan tidak
berpikir untuk berusaha.”
“Loh, kenapa jadi merembet ke mana-mana. Kucing ya kucing,
pengemis ya pengemis. Itu berbeda. Aku memang lebih sering menolak memberikan
uang dan lebih memilih memberikan makanan. Jika mereka bekerja atau katakanlah
menjual sesuatu, lebih baik membeli dagangannya. Itu akan membuat mereka lebih
merasa punya harga diri dan semaki termotivasi.”
“Nah itu kamu tahu. Lagi pula, memangnya masih cukup lauk
dan nasimu untuk kau berikan? Kau kan tadi ingin menyisakannya untuk makan
malam untuk menghemat pengeluaranmu.”
“Kucing tentu berbeda dengan manusia. Lagipula, aku tak tahu
benarkah pemikiran yang kupegang selama ini? Kenapa kita harus berpikir kalau
memberi akan membuat manja dan semakin menyusahkan? Kenapa harus menahan
menyisihkan sedikit hanya karena mengkhawatirkan masa depan?”
“Maksudmu bagaimana?”
“Iya, aku mempertanyakan kenapa aku harus mendengarkanmu
saat ini. Hal-hal yang kau sebut itu sering menghambatku setiap kali aku merasa
tergerak akan sesuatu.”
“Oke, kalau begitu, lakukanlah apa yang kau mau. Apa yang
akan kau perbuat?”
Kucing abu-abu itu masih duduk di depan pintu. Tak berani
dia masuk, mungkin dia sadar ia hanyalah tamu tak diundang.
Aku melihat nasi di piringku. Ternyata sudah mau habis. Tapi
masih ada sisa cumi-cumi beberapa potong lagi. Sayur kangkung juga masih ada.
Ku sendok sedikit nasi putih dari ricecooker. Memang nasi yang ku masak
kubatasi untuk makan siang dan malam. Kutinggalkan secukupnya untuk jatah makan
malamku.
Semua lauk dan sayur yang masih tersisa kuaduk di piring.
Nanti masih bisa beli lauk malam, pikirku. Kupotong-potong cuminya agar lebih
mudah dimakan. Sambil mencampurkannya kulirik ke pintu. Ternyata kucing abu-abu
sudah tidak terlihat di sana.
Aku tak tau siapa namanya, jadi kupanggil saja dia meong.
Meong-meong, kataku agak kencang.
Tak ada tanda-tanda si kucing akan kembali. Ku cari ke
tangga, tidak ada. Ku cari ke balkon, juga tidak di sana. Dia tidak ada di
bawah jemuran. Tak ada di garasi di lantai 1. Tak ada di lorong-lorong kamar.
Aku mendadak lesu. Terbersit sedikit penyesalan.
“Kenapa terlalu lama aku mendengarkan pikiran daripada
bertindak spontan?”
Warung Buncit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar