Sabtu, 13 Februari 2016

Kucing Abu-abu yang Menunggu di Depan Pintu


Kucing itu mengintip dari celah daun pintu yang kubiarkan terbuka sedikit. Kedua kaki depannya ditekuknya, lalu dia duduk di depan pintu. Tak dinampakkannya seluruh badannya padaku. Hanya kaki dan sebagian kepalanya yang terlihat dari posisiku yang sedang duduk bersandar di dinding, 50 cm dari pintu.

Huss, kataku mengusirnya. Kupikir dia akan takut pada suara manusia. Tapi kucing abu-abu itu bergeming. Dia tetap duduk. Kugoyangkan daun pintu dan berlagak mengusirnya,  kucing itu masih tetap diam. Hanya matanya yang dipicingkannya sedikit. 

Sudahlah, pikirku. Mungkin dia tertarik karena mencium aroma cumi-cumi yang jadi santap siangku. Sambil makan, aku perhatikan raut wajah kucing itu. Dia seperti menunggu. Polahnya tetap tenang, tanpa berusaha memaksa masuk ke kamar. Dia seperti cukup optimistis bahwa aku akan merelakan sejumput makananku baginya.

Tapi pikiranku melayang-layang. Aku sebenarnya tidak terlalu suka kucing. Stigma yang melekat bahwa kucing itu suka mencuri. Dan aku sangat benci pada pencuri. Kucing itu juga manja. Senang sekali dia bermanja-manja. Kucing juga arogan. Yah, setidaknya itu yang kulihat dari beberapa kucing peliharaan ibuku.

Meski tidak terlalu suka, bukan berarti benci. Ya setidaknya, setiap kali pulang kampung aku menyempatkan memberi makan kucing-kucing ibuku. Membiarkan mereka berkeliaran di dalam rumah. Hanya pada malam hari kucing tersebut tidak diperbolehkan menginap di ruang tamu.

Dari kucing-kucing ibu di kampung, pikiranku kembali ke kucing abu-abu, tamu tak diundang di depan rumahku. Terjadilah percakapan monolog di dalam pikirakanku.

“Barangkali dia sedang lapar. Baiklah kuberikan dia sedikit cumi-cumi ini.”

“Kalau kau memberikan sekali, dia akan ketagihan. Dia akan datang dan datang lagi, lalu kau akan dibuat repot.”

“Ya belum tentu juga, toh aku juga jarang makan siang di rumah.”

“Mungkin bukan siang, tapi bisa pagi atau malam. Kan kucing-kucing liar banyak sekali di rumah ini. Satu kau beri sekarang, besok yang lain akan datang.”

“Jadi kalau begitu, apa yang harus kulakukan. Aku kasihan. Mungkin dia punya anak yang harus disusui. Mungkin dia sedang hamil. Atau dia mungkin belum makan apa-apa seharian?”

“Makan sajalah dulu. Kucing itu manja. Kau kan pernah dengar kata orang-orang tua dahulu, mereka melarang bayinya terlalu sering digendong, sebab kalau dia jadi manja akan menyusahkan. Kau dengar juga kan, jika pengemis di jalanan kau berikan uang sekali, mereka akan semakin manja dan tidak berpikir untuk berusaha.”

“Loh, kenapa jadi merembet ke mana-mana. Kucing ya kucing, pengemis ya pengemis. Itu berbeda. Aku memang lebih sering menolak memberikan uang dan lebih memilih memberikan makanan. Jika mereka bekerja atau katakanlah menjual sesuatu, lebih baik membeli dagangannya. Itu akan membuat mereka lebih merasa punya harga diri dan semaki termotivasi.”

“Nah itu kamu tahu. Lagi pula, memangnya masih cukup lauk dan nasimu untuk kau berikan? Kau kan tadi ingin menyisakannya untuk makan malam untuk menghemat pengeluaranmu.”

“Kucing tentu berbeda dengan manusia. Lagipula, aku tak tahu benarkah pemikiran yang kupegang selama ini? Kenapa kita harus berpikir kalau memberi akan membuat manja dan semakin menyusahkan? Kenapa harus menahan menyisihkan sedikit hanya karena mengkhawatirkan masa depan?”

“Maksudmu bagaimana?”

“Iya, aku mempertanyakan kenapa aku harus mendengarkanmu saat ini. Hal-hal yang kau sebut itu sering menghambatku setiap kali aku merasa tergerak akan sesuatu.”

“Oke, kalau begitu, lakukanlah apa yang kau mau. Apa yang akan kau perbuat?”

Kucing abu-abu itu masih duduk di depan pintu. Tak berani dia masuk, mungkin dia sadar ia hanyalah tamu tak diundang.

Aku melihat nasi di piringku. Ternyata sudah mau habis. Tapi masih ada sisa cumi-cumi beberapa potong lagi. Sayur kangkung juga masih ada. Ku sendok sedikit nasi putih dari ricecooker. Memang nasi yang ku masak kubatasi untuk makan siang dan malam. Kutinggalkan secukupnya untuk jatah makan malamku.

Semua lauk dan sayur yang masih tersisa kuaduk di piring. Nanti masih bisa beli lauk malam, pikirku. Kupotong-potong cuminya agar lebih mudah dimakan. Sambil mencampurkannya kulirik ke pintu. Ternyata kucing abu-abu sudah tidak terlihat di sana.

Aku tak tau siapa namanya, jadi kupanggil saja dia meong. Meong-meong, kataku agak kencang.
Tak ada tanda-tanda si kucing akan kembali. Ku cari ke tangga, tidak ada. Ku cari ke balkon, juga tidak di sana. Dia tidak ada di bawah jemuran. Tak ada di garasi di lantai 1. Tak ada di lorong-lorong kamar. Aku mendadak lesu. Terbersit sedikit penyesalan.

“Kenapa terlalu lama aku mendengarkan pikiran daripada bertindak spontan?” 


Warung Buncit. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar