Minggu, 02 Februari 2014

Si Mata Elang

Tanpa babibu, dia langsung mendaratkan badannya di bangku samping kananku. Ku toleh dia sekilas, konsentrasiku langsung buyar. Glek! Halaman kosong di layar komputer jinjing itu mendadak sukar ku isi. Aku tak percaya. Padahal tadinya rancangannya sudah ada di kepalaku.

Tapi kehadirannya membuatku susah berpikir. Yang ada kemudian aku bolak balik menulis beberapa kata yang langsung ku hapus. Berulang-ulang seperti itu.  Dan itu karena kehadiran makhluk di sampingku itu.

Sungguh tak kuduga dia ada di sini sekarang. Ku sapa dia. Parahnya suaraku tiba-tiba lenyap, mungkin hanya trdengar seperti jangkrik terjepit. Huh! Semoga dia tidak menyadari. Dari ekor mataku, ku tau dia sesekali mencuri lihat, hingga tak sengaja kami bertemu pandang. Tapi dasar, dia bertingkah seolah tak sedang terjadi apa-apa, biasa saja. Tak taukah dia sudah buat aku tak karuan...

Akhirnya kuputuskan menyapanya,sekedar bertanya satu dua hal. Sebenarnya aku hanya ingin mencairkan kebekuan suasana. Hey! Aku malah melihat lagi sorot mata tajamnya yang beberapa waktu lalu...

"Ngapain liatin aku segitunya?" gerutuku dalam hati.

Dagdigdug juga pas nyadar sepasang mata elang miliknya masih menatapku lekat-lekat. "Apa yang salah ya?" pikirku sedikit panik. Refleks, aku menunduk memperhatikan adakah yang salah, mungkin di baju, atau di ujung kaki. Semua normal. Hmm.

Pemilik sorot mata itu masih menyasarku tajam. Bukan kebetulan, dan bukan untuk pertama kalinya kudapati tatapannya itu. Seperti ingin menikam tepat ke jantung. Dan srrr.. Sasarannya tak meleset.

Jantungku berdetak tak normal, saat aku harus mengalihkan wajahku karena kalah beradu pandang sekian lama. Heran! Maunya dia apa sih? Kuacuhkan mata elangnya.

Aku duduk di lantai membaur dengan pria-pria yang  selalu mengepulkan asap rokok. Meski tak suka karena aku selalu kebagian asapnya, menyimak obrolan mereka selalu asik. Mengembangkan pikiran tentang warna warni intrik di balik kasus-kasus politik.

Dan tebak apa yg terjadi kemudian. Si mata elang mendekat. Oh tidak.. Aku berpura-pura acuh, meski ekor mataku menangkap gerak tubuhnya. Ia tersenyum. Sial. Aku salah tingkah....

***

Kejadiannya kembali terulang lagi. De javu. Tapi kali ini sedikit berbeda.

Aku melihat ada kursi kosong yang diapit oleh dua pria yang salah satu di antaranya sudah kukenal, teman sekantor. Ku langsung duduk, karena aku ingin bicara dengan si teman itu. Hanya koordinasi isu dan berita apa yang 'seksi' saja.

Nah, lelaki di sebelah menggeliat di balik koran yang ia buka lebar-lebar hingga menutupi wajahnya. Saat dia membalik halaman koran nasional itu, tersibaklah wajahnya. Astaga. Hampir saja jantungku melompat gak karuan.

Itu si mata elang. Ada di sampingku. Busyett.

Sedikit sesal hinggap karena mengambil bangku itu. Dan aku sedang tak siap dengan senyum yang (ehemm) manis (atau dimanis2in ;P).

Tanpa buang waktu, aku beranjak pindah posisi ke deretan bangku di area komputer yang ada di press room. Baru sekejap ku membuka layar komputer, seseorang datang. Caranya berdehem, aku tau pasti siapa.

Dia lagi. Kali ini, entah siapa yang memulai kami saling melempar senyum. Di area ini hanya ada aku dan si mata elang. Apa dia mengikutiku tadi? Ah, terserahlah.

Tak sadar kami sudah terlibat dalam obrolan. Hangat. Kadang ia tertawa renyah. Hmm. Tiba-tiba beberapa wanita datang....

Pembicaraan mereka bikin telingaku mendadak gatal. "penuh kepalsuan," bisikku tertahan. Gadis-gadis itu berhaha-hihi dan bergosip sambil sesekali memamerkan itu-ini miliknya.

Aduh. Aku muak. Sesekali mereka menggoda makhluk bermata elang di sampingku. Yang digoda cuek. Tak senyum pun tak marah. Aneh. Mati rasakah ia?

Sepertinya lama-lama ia tak tahan juga. Dicabutnya telepon pintarnya dari charger dan berlalu. Hmm. Cekikikan dan suara palsu gadis-gadis itu pun mulai mereda, kemudian benar-benar lenyap. Ternyata mereka memilih 'gelar tikar'nya di mall sebelah gedung ini. Syukurlah, pikirku.
**

Kusibukkan kembali menatap layar komputer di depanku menyelesaikan berita yang hampir deadline. Lagu-lagu lawas tak putus-putusnya menemani. Iseng kulirik jam digital di pojok kanan monitorku, 19.19.

Ya ampun! Seharian aku belum makan. Kulihat sekitar, sepi. Hanya beberapa wartwan pria duduk bergerombol tak jauh dariku. Hmm..

Ragu antara beli makan atau pulang, kuputuskan untuk keluar beli makan. Kurogoh dompet butut dari ransel, tiba2 pintu terbuka, seseorang masuk. Tepat saat aku menemukan dompet di antara kertas yang berceceran di ransel hitamku, wajahnya nongol. Dengan senyum merekah ia menyapa.

“Belum pulang?” sapanya.

“Masih ada beberapa yang mau diurus, sekalian mau nunggu konfirmasi dari juru bicara juga,” jawabku panjang lebar.

“Oh, oke.. hmm.. terus ini mau kemana?”

“Nih lagi mau makan warung sebelah, lapar banget.”

“Oh, sama. aku juga laper, bareng yukk!”

Jadilah kami melenggang masuk ke warung kaki lima, makan pecel lele. Ah, sebenarnya rasanya biasa saja, tapi karena makan bersama makhluk pemilik mata elang ini, rasanya jadi tak biasa.

Sambil makan, kami punya banyak waktu untuk cerita. Aku sih tetap lebih tertarik untuk membicarakan seputar dunia pekerjaan. Tapi dia malah banyak menyentuh ranah-ranah personalku. Siapa aku, latar belakangku, sampai kenapa aku memilih profesiku sekarang.

Fiuhh.. aku tak nyaman. Untung ia segera membaca bahasa tubuhku. Kami ganti topik cerita. Tak terasa waktu bergulir cepat. Kemudian, aku teringat layar computer yang masih ku standby-kan.

Setting cerita selanjutnya berlanjut ke ruangan komputer. Sambil sesekali bertukar cerita, aku melanjutkan tulisanku. Sialnya, jalannya ide semakin ngadat. Sumbat mampus. Bosan. Kututup layar komputerku. Kutatap ia yang masih asik dengan main game di komputernya.

“Udahan?” tanyanya.

“Aku suntuk nih, nge-blank…”

“Hmm.. ,” ia menghentikan permainannya dan fokus melihatku.

Tiba-tiba telepon genggamnya berdering. Tanpa mematikan speakernya, ia meladeni orang di seberang telepon. Suara seorang perempuan. Aku tak nyaman. Apalagi, lama-lama isi pembicaraannya mengarah ke hal-hal pribadi.

“Iya, kamu lupa ya..?” kata si gadis.

“Lupa apanya?”

“Lupa janji kamu mau nemuin aku,” kata si gadis. Nada suaranya tertahan, antara memelas dan kecewa.

“Wah, iya nih, aku sibuk banget, jadi gak ingat kamu,” katanya.

Aku menebak-nebak jalan cerita pembicaraan mereka. Ohh.. aku mengerti alurnya. Gerah telingaku. Lagian ngapain juga ia tidak mematikan speakernya? Kanapa ia sengaja memamerkan kemesraannya. Hmm…

Dasar misterius. Ku tinggal ia dengan si gadis di ujung telepon. Aku mengisi botol air minumku. Saat kembali, ia sudah meletakkan teleponnya di atas meja. Wajahnya masam. Ah, sudahlah, aku tak harus tau kan?

“Aku pulang dulu ya,” kataku.

“Sebentar,” kata dia sambil menatapku sesaat. Dimatikannya mesin computer itu.

Kemudian setelah beberes kami pulang. Beriringan, hanya sampai beberapa meter saja. Sampai di gerbang, ia bilang sesuatu. Sayangnya, suaranya menguap. Hilang ditelan suara Kopaja yang lewat dengan bising knalpotnya bisa memekakkan telinga. Apa dibilangnya tadi ya?

Sepertinya ia menyebut sesuatu tentang si gadis tadi. Pacarkah, atau mantan pacar? Atau penggemar? Aku tak begitu yakin. Melihatku acuh, ia diam. Tak berusaha memperjelas. Raut wajahnya berbeda. Mana sorot mata tajam itu? Biasanya selalu ada binar penuh gairah yang misterius di kedalamannya.

Kulihat ia berusaha menarik bibirnya membentuk segaris senyum.

“Makasih ya buat hari ini, untung ada kamu. Tadi aku senang banget,” katanya.

“Memangnya aku buat apa?”

“Iya tadi kamu sumbangin inspirasi yang besar buatku. Senang deh ada kamu.”

Upsss.. apakah itu pujian? Haruskah aku senang? “Aku tidak buat apa-apa deh,” kataku.

“Ada, kamu buat aku bahagia hari ini. Senang deh melihatmu. Sudah berkali-kali aku perhatiin kamu, baru kali ini ada waktu buat ngobrol.”

“Ohh.. itu biasa aja mas, gampang lah itu. Saya kan gak eksklusif amat," pasti wajahku saat itu sudah berubah jadi merah jambu.

“Kata siapa? Sering aku coba nyamperin kamu, tapi selalunya gak dapat kesempatan.”

Aku tersipu. JAdi dia udah sering coba nyamperin. Jadi selama ini dia pelototin mau ngajak ngobrol. ‘Ahh, cara kamu terlalu aneh sih, padahal aku juga pengen ngobrol lho,’ kataku, tapi tentu saja tidak kubilang langsung, hanya dalam hati. Roda Kopaja berputar, melaju,  membawa tubuhku yang sedang senyum-senyum sendiri, menjauh dari dia. Sial. Kami belum sempat bertukar nomor telepon.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar