Halo, selamat malam? Apa kabar? Aku senang. Seminggu terakhir pada pekan pertama
Desember lalu, adalah hari-hari yang paling membahagiakan menurutku. Kenapa? Karena pada beberapa hari itu, aku punya kesempatan mengenalmu.
Hari Senin, kita bertemu sejak pukul 10 hingga pukul 4 subuh
hari Selasa. Mengobrol sepanjang waktu. Tertawa bersama. Awalnya duduk berhadap-hadapan saat masih berdua, lalu ganti posisi menjadi duduk bersisian ketika dua temanmu yang lain datang. Kita bertukar cerita. Berbagi impian.
Kau menyemangatiku untuk mengambil S2 atau setidaknya meneruskan mimpi-mimpi
yang dulu ada dan kini sedang redup.
Kau menceritakan beberapa bagian yang sangat penting dalam
hidupmu, termasuk soal keluarga dan almarhum abang serta tentang orang tua dan adikmu
yang pada akhirnya membuatmu nekat melanjutkan sekolah dan bertekad ingin lanjut
sampai S3. Aku memuji tekad dan semangatmu dan mengatakan, mungkin kau kelak
akan menjadi BJ Habibie kedua yang dibanggakan bangsa ini. Tampaknya kau tak terlalu suka kukatakan demikian, tapi potensimu sangat besar.
Lalu pada hari Jumat, kita bertemu mulai pukul 2 sore hingga
pukul 2 dini hari. Lagi-lagi bercerita ditemani beberapa cangkir kopi di kedai kopi Giyanti. Kemudian kita pindah ke Taman
Suropati, ke rumah makan Sunda di Jalan Cikini, lalu di MCD dan Burger King di
Pasar Festival. Kita sharing cerita, tawa dan juga pandangan tentang
hidup, musik, masa depan, serta pernikahan.
Entah mengapa, obrolan kita hari itu sedikit serius. Tapi
tidak apa, aku masih menikmatinya. Hal yang sudah jarang kulakukan di tengah
kehidupan dan rasa yang kian dangkal
selama empat tahun terakhir di Jakarta. Dulu aku senang melakukannya bersama
sahabat-sahabat yang sudah kukenal akrab.
Dini hari kita berpisah. Aku dan temanku mengantarkanmu
sampai ke kosan salah satu teman yang kau tumpangi selama beberapa hari di Jakarta.
Sewaktu di jalan pulang itulah timbul sedikit penyesalan karena aku tidak mengucapkan selamat
tinggal. Aku juga bahkan lupa bilang terimakasih.
Kemudian, di hari Sabtu, aku merasa belum mengucapkan terimakasih
dan goodbye secara pantas sehingga kuputuskan untuk kembali menemuimu. Pukul 5 sore, aku datang
ke acara perayaan Advent alumni kampusmu di salah satu gereja di bilangan Sudirman. Ku bawa dua bungkus kopi yang kau sukai dari Giyanti serta buku bacaan
yang ingin kuhadiahkan kepadamu. Just a simple gift untuk merayakan hati yang senang. (Tapi belakangan ku
pikir-pikir sepertinya kartu ucapan terimakasih yang kuselipkan, agak terlalu
lebay ya? Haha.. Entahlah)
Hari terakhir itu kita tidak sempat berbicang banyak.
Padahal sebenarnya aku ingin sekadar menyalam dan memelukmu, sambil ucapkan
perpisahan. Tetapi hal itu tidak bisa kulakukan sebab saat di gereja, fansmu
amat sangat banyak. Aku tahu mereka juga butuh perhatianmu, maka aku pun
memilih langsung pulang.
Kau bilang kau sangat senang dan berterimakasih atas pemberian yang sederhana itu. Sebenarnya nilainya itu tidak seberapa. Tapi aku pun memberikannya
dengan senang hati tanpa harapan untuk dibalas kembali. Aku senang kau mau menerimanya.
Ohya, perlu kutekankan kepada dirimu, terutama kepada diriku
sendiri. Sejujurnya aku sangat berbahagia. Entah mengapa. Rasa-rasanya aku
seperti bertemu teman lama yang sudah sangat kukenal. Kita bisa langsung akrab.
Bahkan menghabiskan waktu berjam-jam berdua tanpa canggung.
Diam-diam aku juga bangga mengenalmu. Ya, orang sepertimu
sekarang sudah mulai langka. Pria yang tanggap, penuh insiatif. Kau juga luwes dan berpikiran terbuka. Tak sungkan menyapa orang-orang, sekalipun itu hanya supir
taksi atau Kopaja yang kita tumpangi. Membantunya sebisamu memperbaiki pintu
bus yang sedang nyangkut.
Setiap kali berjalan di trotoar, aku
perhatikan kau juga selalu berusaha untuk melindungi dengan cara mengambil posisi di
sebelah kananku agar aku tidak terserempet kendaraan. Ketika hendak menyeberang jalan, kau mengambil posisi sebagai
penuntun agar aku tidak tertabrak. Saat hendak naik ke taksi pun, kau
menyempatkan membukakan pintunya.
Hei, sadarkah kau, hal-hal sederhana itu sungguh menghangatkan
hati. Aku juga memperhatikanmu saat memungut kucing liar di taman Suropati lalu
mengelus-ngelus kucing itu di pangkuanmu sambil bercerita tentang musik
klasik, biola, serta piano yang ingin kau pelajari.
Diam-diam aku berbisik lirih di hatiku, betapa beruntungnya
kucing itu. Betapa beruntungnya orang-orang yang ada di dekatmu. Semua pasti
merasa aman, nyaman, bahagia. Kau adalah pria yang penuh kasih sayang.
Dari banyak pria yang menjadi temanku selama ini, kau terasa unik dan berbeda. Memang ada yang pintar main musik, ada yang pandai saat
bicara tentang filsafat, ada yang pintar fotografi, ada yang senang membaca dan diskusi tentang banyak buku, ada yang asik jadi teman ngobrol sambil mengopi ataupun bir.
Tapi, bagaimana ya. Untuk menjelaskan perbedaannya, bolehlah
ya aku meminjam analogi yang kau sampaikan waktu jalan kaki dari Giyanti menuju
Taman Suropati.
Jika semua hal menarik yang kusebutkan itu diibaratkan
bumbu dalam masakan Indonesia pada
umumnya. Hanya ada satu atau dua “rasa” yang menonjol, misalnya ya pintar saja
tetapi tidak terlalu peka atau tidak menunjukkan sikap bertanggungjawab.
Sementara kau adalah racikan masakan Italia yang dibuat
dengan hati. Kau penuh dengan hal-hal positif itu yang keseluruhannya dapat terasa
saat dicicipi. Komplit.
Kau itu berbeda dan sudah jarang ditemukan dalam peradaban,
ya setidaknya dalam lingkunganku sekarang.
Itu sebabnya kehadiranmu kemarin sangat berkesan. Hanya
beberapa jam yang kita habiskan bersama di Jakarta. Tetapi itu sudah cukuplah. Paling
tidak, akan ada yang kuingat kelak. Bahwa jelang usiaku yang ke-27, aku pernah
bahagia karena bertemu orang sepertimu.
Pria (yang entah bagaimana tiba-tiba berkacamata – kau bilang ingin menyamar sebab kau
merahasiakan kedatanganmu ke Ibukota) yang pintar, asik diajak berbincang
banyak hal, jago main musik, rendah hati, tidak sombong, tidak mengejar materi,
matang, bertanggungjawab.
Aku juga sedikit bertanya-tanya mengapa kau mau menghabiskan
waktumu berjam-jam denganku. Padahal, dari ratusan temanmu yang ada di Jakarta,
aku yakin ada banyak sekali teman dekatmu yang juga ingin bersama-samamu.
Sebaliknya, aku juga heran mengapa aku juga rela-rela saja
meluangkan waktu denganmu hingga dini hari dan subuh. Mungkin karena aku
senang sepertinya. Semoga kau pun karena alasan yang sama dan bukan karena
terpaksa. Hehe.
Dengan semua kebaikan hatimu, kehangatan dan semangat
positif yang kudapatkan darimu, maka aku merasa wajib membalasnya. Itu sebabnya
aku dengan sangat ringan hati, tanpa beban, ingin menghadiahkanmu sesuatu.
Buku itu kupilih sebagai makanan rohani,
sedangkan kopi itu untuk jasmani. Kau bilang kau lebih suka membaca buku model Chicken Soup for The Soul. Namun, kemarin aku
tidak memberikan buku kesukaanmu itu sebab aku tidak tahu yang mana yang
telah atau belum kau baca. Aku tidak terlalu yakin kau menyenangi buku yang kupilih, makanya sejak awal kutekankan, kau dapat memberikannya kepada orang lain jika memang tidak terlalu suka.
Sekali lagi kusampaikan, aku memberikannya dengan penuh
sukacita. Jadi jangan berpikir aku mengharapkan atau menuntutmu memberikan timbal
balik.
Saat ini aku sedang belajar untuk mencintai dalam artian
yang lebih luas. Aku sedang belajar untuk menebarkan kasih sayang ke sekitarku
seperti yang kau lakukan, tanpa harus berharap untuk bisa memiliki mereka yang
dicintai.
Mencintai tidak harus menggenggam sekuat mungkin. Justru,
katanya, upaya untuk mencintai juga harus dibareng dengan kesediaan melepaskan.
Aku juga sedang belajar untuk melepaskan kelekatan kepada
pribadi atau sesuatu dan belajar untuk merasa cukup. Belajar memberi tanpa
mengharapkan kembali. Memang ini sulit. Sebab pada dasarnya kedagingan itu
tidak pernah merasa cukup dan selalu ingin lebih.
Padamu pun demikian. Aku berharap kau bisa berbahagia dalam
tiap langkah yang menjadi pilihanmu, apapun itu. Hidup adalah petualangan, maka
selamat menikmati petualanganmu.
Jika kelak di masa depan, kita bisa bertemu lagi, aku akan
sangat mensyukurinya. Sebaliknya, jika ternyata tidak digariskan demikian, aku
akan belajar untuk tidak bersusah hati karenanya.
Kita memang membuat janji untuk bertemu dua tahun lagi di
salah satu negara, tetapi semua janji dan harapan kita hanya bisa terkabul jika
memang Tuhan dan semesta alam mendukungnya.
Suratku sudah terlalu panjang, sepertinya. Sebelum kau
terlalu bosan dan menahan kantukmu demi membacanya, baiklah kuakhiri sampai di
sini saja.
Terimakasih telah pernah memberikan waktumu.
See you when i see you.