|
Ibu B'rani berjalan sendiri. foto by: Image Dynamics |
Wanita itu bernama Ibu Brani. Di tengah perang yang sarat
dengan mesiu, kelaparan, daging yang sudah berbelatung serta bau kematian, dia
justru mencium peluang bisnis. Dia mengambil untung dari tengah perpecahan yang
terjadi di negaranya tanpa memedulikan kehancuran dan kebobrokan yang terjadi.
Ibu Brani menarik gerobak berisi barang-barang dagangan lalu
hidup berkelana bersama ketiga anaknya. Sikapnya dingin. Malah ia berharap
perang tak pernah berakhir dan menyumpahi perdamaian yang menurutnya merugikan
usahanya.
Tak peduli siapa lawan dan kawan, ia gampang memihak siapa
saja pemenang perang. Baginya persoalan itu semudah mengganti bendera di
gerobaknya. Seperti namanya, ia juga tak pernah gentar menghadapi tentara. Tapi
saat dua putranya Elip dan Keju Swiss direkrut menjadi tentara, Ibu Brani mulai
bimbang.
|
Ibu B'rani bersama ketiga anaknya - Foto by: Image Dynamics |
Namun sisi kemanusiaannya sebagai ibu yang tak berdaya
tampak jelas ketika Keju Swiss ditangkap musuh dan hampir di dor di depan
matanya. Dia dilema betul antara memilih ambisi pribadi dan terpaksa tidak
mengakui Keju Swiss sebagai anak demi menyelamatkan dirinya. Namun tragis
baginya, dua putranya dan Katrin, putrinya yang tuna wicara, akhirnya tewas
karena perang.
Itulah lakon teater Koma bertajuk ‘Ibu’
yang berlatar belakang perang di wilayah Eropa selama 30 tahunan pada abad 17.
Karya dramawan Jerman BErtolt Brecht (1898-1956) ini aslinya berjudul Mutter
Courage und ihre Kinder (Mother Courage and Her Children).
Nano Riantiarno, sutradara sekaligus pemilik Teater Koma
menyadurnya kembali dan mengadaptasinya menjadi rasa Indonesia. Percampuran
Jerman dan Indonesia disajikan lewat kostum, lagu, juga ornament seperti padi,
tebu, terong, bawang, cabe, ketela, ubi kayu yang ada di pentas. Selain itu
istilah dan nama pemain yang juga disesuaikan dengan lidah Indonesia.
Kisah perang berbau agama di Eropa itu memang bisa dibilang
jauh dari Nusantara, dari segi waktu pun dari segi masalah. Namun persoalan
perang ini ditarik menjadi perang yang bisa terjadi di mana pun, terutama yang
menyangkut kekuasaan. Penonton diajak merenungkan apakah memang ada yang
benar-benar meraih untung dalam perang?
|
Foto by: Image Dynamics |
Dalam konteks kekinian, lakon ini diarahkan pada pemilu 2014
yang menurut Nano, juga termasuk ‘perang’ dalam bentuk berbeda. Maka “Ibu” tak
lagi sekedar ibu biologis tapi dipersonifikasikan dalam makna yang lebih luas,
bisa menjadi Negara dengan rakyatnya. “Siapakah Ibu kita sekarang ini??? ini
pertanyaan yang sungguh serius, kata Nano.
**
Jumat (1 Nov) kemarin, atas kebaikan hati temanku, Imaniuri,
aku bisa menonton lakon berjudul “Ibu’. Aku kegirangan dan langsung meluncur ke
TIM begitu dapat BBM konfirmasi dari dia. Tak pedulilah aku harus menonton
sendirian dan kenyataan terpaksa pulang pukul 12 malam. Yang penting aku
terhibur dan bisa melihat pertunjukan idola.
|
Foto by: Image Dynamics |
Ini adalah ketiga kalinya aku menonton Teater Koma. Pertama
kali Sie Jin Kwie di Negeri Sihir (2012), Sampek Engtay (Maret 2013). Di luar
itu, aku juga beruntung bisa menikmati pementasan Gandamayu (Teater
Garasi-2012), dan Sang Kuriang (Paduan Suara Parahyangan diangkat dari naskah
musikal karya alm. Utuy Tatang Sontani – Feb 2013).
Sebagai orang yang masih baru terhitung jari menonton
teater, aku tak bisa memberikan banyak kritik, selain rasa senang dan takjub
saja menyaksikan Teater Koma. Aku tak akan menganalisanya dari segi seni dan
tetek bengeknya. Sebab aku masih sangat awam dalam hal itu. Yang dapat
kukatakan aku selalu terkesima setiap kali pulang menonton pertunjukan mereka.
Aku puas dengan akting, dengan musik dan lagunya, dengan tata cahaya panggung
dan keserasian gerak pemainnya.
Kelompok Teater yang genap berusia 37 tahun pada Maret 2014,
seakan sudah memberikan jaminan di balik namanya. Karya pertunjukan mereka
selalu berkualitas. Soal akting dalam lakon Ibu, Sari Madjid memang top.
Bayangkan, naskah dia sebagai Ibu Brani mencakup 80 halaman dari total 100
halaman naskah drama dua babak itu.
J
Belum lagi belasan lagu lainnya yang harus dia hapal lirik dan nadanya. Tapi
pemain kawakan seperti Rita Matu Mona, Budi Ros, Dorias PRibadi, Alex
Fatahillah, Daisy Lantang, Supartono JW juga tampil maksimal.
|
Sari Madjid - Foto by: Image Dynamics |
Oh ya, satu lagi aku juga suka dengan narasi dan lagunya
yang sarat makna. Teater Koma memang dikenal suka menyelipkan kritik-kritik
pedas di dalam dialognya. Tapi penonton juga sering dibuat terpingkal oleh
dialog atau aksi yang jenaka. Kalau minat, lekaslah ke TIM, Jakarta. Pentas
karya ke 131 Teater Koma ini masih berlangsung setiap hari hingga 17 November :)
Warung Buncit, 15 November 2013